8. Rindu Ayah

1783 Kata
Senyuman manis terus terkembang di bibir Zayn. Ini sudah menit kesepuluh dia menghabiskan waktu untuk memperhatikan Irene yang tengah sibuk berinteraksi dengan seorang anak kecil. Pandangannya juga tak luput pada dua orang bodyguard suruhannya yang ia minta untuk menjaga Irene. "Lihat mereka berdua Al, wajah Bryan dan Hans lucu sekali." Zayn terkekeh sambil menunjuk dua orang yang dimaksud. Albert pun tak kuasa menahan tawanya. Membayangkan dua pria bertubuh kekar yang terbiasa menggunakan ototnya dalam bekerja, sedang dikerjai oleh istri majikannya itu. Bryan terus memegangi payungnya, berdiri di belakang Irene dengan wajah masam sementara Hans setia menggenggam sesuatu di tangannya yang Albert perkirakan adalah kotak es krim. "Mereka mau saja dikerjai Irene," sambung Zayn. "Mana berani mereka menolak perintah Nyonya, Tuan." "Sudah cukup bermainnya, Al. Hubungi mereka, suruh secepatnya kembali ke mobil!" titah Zayn. "Kenapa tidak Tuan sendiri saja yang menghubungi Nyonya Muda?" "Sejak kapan kau berani membantah perintahku, Al!" "Ma ... maafkan saya, Tuan." Albert segera mengeluarkan benda pipih nan canggih miliknya dari dalam saku jasnya. "Suruh mereka mengantar Irene ke sini, baru setelahnya mereka bisa kembali," lanjut Zayn. "Baik, Tuan." Albert melaksanakan perintah Zayn. Terbukti, tak lama setelah dia mengamankan ponselnya, Irene dan dua pengawalnya terlihat mendekati mobil Zayn yang sengaja diparkir tak begitu jauh dari lokasi. Irene pun masuk ke dalam mobil setelah Albert membukakan pintu untuknya. "Wajahmu merah begitu, apa kau sejak tadi panas-panasan di luar?" Irene mengerucutkan bibirnya. "Kamu lama sekali, bertemu klien sudah seperti menunggu wanita melahirkan saja," gerutu Irene sambil menyeka butiran keringat yang merembes di pelipisnya. "Namanya juga membahas proyek, tentu saja membutuhkan waktu yang lama." "Kita akan kemana, Tuan?" Pertanyaan Albert menghentikan perdebatan kecil keduanya. "Langsung pulang ke villa saja," balas Zayn singkat. "Baik, Tuan." "Hm, kau sudah menyuruh mereka untuk pulang kan?" "Sesuai perintah Tuan." Albert menyahut tanpa mengalihkan perhatiannya dari kemudi. Hening. Tak ada lagi obrolan di sana. Irene memilih menikmati pemandangan indah yang bisa ia lihat di sepanjang jalan. "Apa yang kau dapatkan dari mengelilingi toko?" Irene menoleh begitu mendengar pertanyaan Zayn. "Tak ada," jawabnya sambil menggeleng. "Ada banyak barang bagus di sana, masa kau tidak membeli satupun?" tanya Zayn, heran. Lagi-lagi Irene menggeleng. "Bagaimana dengan hasil hasil pertemuanmu dengan klien tadi?" Irene balik bertanya. "Berjalan lancar. Kami sudah mencapai kesepakatan bersama dan rencananya proyek pembangunan akan segera dimulai dalam waktu dekat." "Syukurlah." Irene kembali menatap jendela. Kebisuan yang kembali melanda membuatnya mengingat kenangan saat bersama ayahnya. 'Aku belum sempat mengunjungi Ayah lagi, semoga nanti sepulangnya dari sini aku bisa menjenguk Ayah.' "Ren ... Irene ...," Lamunan Irene buyar seketika mendengar Zayn terus memanggilnya. "Ada apa?" tanya gadis itu. "Kita sudah sampai," balas Zayn. Irene mengedarkan pandangannya. Benar saja, dia kini berada di tempat yang sama dengan tempat saat pertama dia membuka matanya pagi ini. "Cepatlah pergi ganti baju, setelahnya kita akan pergi lagi," kata Zayn. Tanpa menjawab, Irene terus melangkahkan kakinya menuju kamar. Mendadak teringat akan ayahnya, membuat mood Irene memburuk. Namun, saat dia hendak memasuki ruangan utama, Irene melihat Bryan dan Hans yang telah sampai terlebih dulu, sedang menikmati secangkir kopi di sana. "Zayn," panggilnya. "Ada apa?" "Boleh aku meminta uang?" "Kan aku sudah memberimu kartu kredit yang bisa kau pergunakan setiap saat." "Ini kartunya, Tuan." Albert menyodorkan benda tersebut pada Zayn. "Kenapa tidak digunakan? Memang kau butuh uang untuk apa?" Zayn menatap lekat wajah istrinya. "Nanti saja aku jelaskan, sekarang beri aku lima ratus ribu." Irene menadahkan tangannya. Tak mau ambil pusing, Zayn merogoh saku celananya. Segera dia ambil lima lembar uang kertas pecahan seratus ribuan dan menyerahkannya pada Irene. Zayn diam saja saat Irene memberikan uang tersebut pada Bryan dan berlalu dari sana begitu istrinya mengucapkan terima kasih. Sesampainya di kamar, Irene segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri sementara Zayn memilih duduk di balkon sambil mengecek pekerjaannya. Tak banyak melakukan kegiatan membuat Irene kembali mengingat ayahnya. Gadis itu pun naik ke atas tempat tidur. Dengan angan yang terus mengembara pada beberapa waktu silam. Air matanya mulai berjatuhan. Tak banyak kenangan yang dia miliki bersama Maxim saat ayahnya itu masih hidup. Kini, hanya beberapa potret yang sengaja dia abadikan dalam ponselnya yang bisa dia lakukan demi mengobati rasa rindunya pada sosok itu. Lama tak melihat sosok istri yang baru dinikahinya selama beberapa hari ini, membuat Zayn penasaran. Pria itu menutup laptopnya kemudian mengayunkan kakinya menuju kamar. Zayn tersenyum lega saat melihat Irene tengah meringkuk di atas kasur. Perlahan di dekati gadis itu, diambilnya sulur yang menutupi wajah cantik Irene. "Apa yang membuatnya menangis?" Zayn bermonolog saat melihat wajah Irene basah. Zayn meraih ponsel yang masih berada dalam genggaman Irene. "Akan membutuhkan waktu cukup lama untuk mengobati rasa sakit akibat ditinggal pergi oleh seorang ayah," bisiknya lirih saat melihat potret Maxim yang terlihat gagah mengenakan setelan kerjanya, tengah tersenyum ke arah kamera. Zayn meletakkan ponsel Irene di atas nakas, menyelimuti tubuh mungil tersebut kemudian ikut membaringkan tubuhnya di samping Irene. *** Irene sedang berada di sebuah taman yang sangat luas. Taman yang dipenuhi dengan bunga dan juga pohon buah-buahan di sana. Irene yang merasa lelah setelah berkeliling taman tersebut, sempat memetik buah anggur hijau yang tumbuh subur di sana. Setelah di rasa cukup, Irene membawa buah tersebut menuju sebuah bangku. Semilir angin yang berhembus sepoi-sepoi membuat rambut panjangnya berkibar. Mentari bersinar cerah akan tetapi sinarnya masih cukup hangat untuk dinikmati kala itu. "Di mana Zayn? Kenapa lama sekali?" gumamnya sambil menikmati butiran buah yang sangat menggiurkan itu. Biji buah anggur tersebut berserakan di atas rerumputan yang menghampar, Irene berhasil memindahkan satu tangkai buah tersebut ke dalam perutnya. Kini Irene merasa dahaga, rasa manis dari anggur membuat rasa hausnya semakin menjadi. Namun, di tempat itu di mana dia bisa mendapatkan air? Irene berniat meninggalkan bangkunya saat tiba-tiba seseorang memberinya wadah berisi cairan bening nan dingin. Tanpa pikir panjang, Irene segera meraih benda tersebut dan mulai menuntaskan dahaganya. Irene meletakkan wadah air tersebut begitu isinya tandas. "Ayah ...," Irene tertegun saat menyadari jika orang yang telah memberinya minum adalah Maxim, ayahnya. Maxim tersenyum, dibelainya rambut Irene dengan penuh kasih sayang. "Ini benar Ayah?" Irene meraih jemari Maxim. "Kau pikir siapa?" Maxim balik bertanya. "Ayah, aku sangat merindukanmu!" Irene menghambur ke dalam pelukan Maxim. Gadis itu tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya yang membuncah. "Ayah jauh lebih merindukanmu," lirih Maxim. Mereka larut dalam tangis. Maxim tak henti-hentinya menggumam, meminta Irene untuk menghentikan tangisnya, tapi nyatanya air mata Irene malah makin deras membanjiri wajah cantiknya. "Ayah, apa Ayah baik-baik saja?" tanya Irene di tengah isakannya. "Seperti yang kau lihat. Kau sendiri bagaimana? Sepertinya Zayn memperlakukanmu dengan baik, badanmu terlihat lebih berisi sekarang," balas Maxim. "Ayah mengataiku gendut?" Irene melepaskan pelukannya, menatap tajam Maxim. "Bukan begitu," sanggah Maxim. "Kau terlihat lebih sehat dan segar. Ayah memang tidak salah memilihkan suami untukmu." Mata Irene membulat mendengar penuturan Maxim. "Ayah, boleh aku bertanya sesuatu?" "Tentu saja." "Kenapa Ayah memintaku menikahi Zayn?" tanya Irene spontan. "Belum saatnya kau tahu. Jalani saja apa yang sudah menjadi jalan takdirmu. Jadilah istri yang baik untuk Zayn," pesan Maxim. "Tapi aku penasaran. Ayah ...," "Akan tiba saatnya nanti dan kau akan mengetahui segalanya." pria tua itu membelai puncak kepala Irene. "Mau ikut jalan-jalan dengan Ayah?" tanyanya. "Tentu saja, tapi sambil kita jalan-jalan tolong Ayah kasih bocoran ya! Ayah bisa membuatku mati penasaran," bujuk Irene. Maxim terkekeh menanggapi ucapan putrinya. Mereka pun berjalan dengan kaki telanjang, menyusuri hamparan rumput yang tergelar bagai permadani berwarna hijau. Sepanjang jalan Irene terus mengapit lengan Maxim dan menyandarkan kepalanya di bahu pria itu. "Ketahuilah, selalu ada jalan di setiap permasalahan hidup yang kamu alami. Tetaplah berada di sisi Zayn, apapun yang terjadi," nasehat Maxim pada Irene. "Iya Ayah, tenang saja. Zayn sudah menjadi suamiku jadi mana mungkin aku meninggalkannya." "Ayah yakin, kamu bisa melewati semua ini," sahut Maxim. Keduanya terus berjalan menyusuri jalanan setapak. Setelah melalui jalan yang landai, kini ayah dan anak itu perlu sedikit mendaki lembah kecil yang akan membawa mereka menuju sebuah danau. Irene menajamkan pendengarannya saat menangkap suara seseorang meminta pertolongan. Gadis itu terperanjat karena begitu ia sampai di danau, Irene melihat Zayn hampir tenggelam di tengah danau. Reflek, Irene berlari menuju tepi danau. Dia harus menyelamatkan Zayn sebelum semuanya terlambat. Maxim tersenyum getir melihat Irene meringis saat kaki telanjang gadis itu menginjak kerikil tajam. Namun, Irene terus berlari. Dia sama sekali tidak memperdulikan luka di telapak kakinya yang meninggalkan jejak darah di sepanjang jalan. Baginya, menyelamatkan Zayn adalah hal terpenting yang harus dia lakukan saat ini. "Zayn," panggilnya begitu sudah tidak ada jarak di antara mereka. "Tolong aku, tolong aku Irene," pintanya memelas sambil melambaikan tangannya. Hanya kepala dan tangan Zayn saja yang masih bisa terlihat karena air danau telah menutup tubuh Zayn hingga sebatas leher. "Kau adalah kunci. Hanya dirimu satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan Zayn," ucap Maxim yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Irene. Tanpa pikir panjang Irene segera menceburkan dirinya ke dalam kubangan air raksasa tersebut. Irene begitu kepayahan. Kedalaman air di danau tersebut membuatnya kesulitan menjangkau suaminya. Namun, gadis itu tidak putus asa. Irene terus berusaha menyelami danau tersebut demi bisa menyelamatkan nyawa Zayn. Maxim masih berdiri di tepi danau, melihat apa yang bisa dilakukan oleh seorang gadis seperti Irene. Setelah hampir lima belas menit berkubang dalam kolam raksasa tersebut, akhirnya Irene berhasil membawa tubuh Zayn menuju tepi danau. Derita belum berakhir sampai di situ karena Irene masih harus berjuang mengangkat Zayn ke daratan dan mengembalikan kesadaran pria itu. "Bangun Zayn!" panggilnya sambil sesekali memberikan nafas bantuan pada Zayn. Irene juga terus menekan d**a Zayn, mencoba mengeluarkan air yang memasuki rongga paru-parunya. "Tolong! Tolong suamiku!" teriak Irene meminta bantuan. Aneh, tidak ada satu orang pun yang mendekat padahal Irene sudah berteriak sangat keras. Lagi, Irene terus berteriak meminta pertolongan. Irene menatap nanar ke sekeliling. Entah kemana perginya Maxim, kenapa ayahnya menghilang di saat dia membutuhkan bantuan? Irene terus menjerit, berharap dengan begitu bantuan akan segera datang. Gadis itu kembali menyapu pandang ke seluruh penjuru arah. Matanya berbinar saat melihat sosok wanita yang sangat dikenalnya, sedang berdiri melipat tangan di depan d**a. Detik berikutnya sorot mata yang penuh binar harapan tadi pupus begitu melihat tatapan membunuh dari wanita itu. "Tidak! Jangan! Aku mohon, tolong suamiku, jangan sakiti dia aku mohon!" jeritan Irene begitu memilukan. "Irene, bangun! Irene ...," Zayn berusaha membangunkan Irene. "Tolong, jangan sakiti suamiku. Aku mohon!" Irene terus menggapaikan tangannya. "Irene, bangunlah." Zayn meraih kedua tangan Irene dan menggenggamnya. Tubuh Irene tersentak bersamaan dengan kesadarannya yang telah kembali sepenuhnya. "Zayn, kau tidak apa-apa?" tanyanya dengan nafas memburu. Matanya sibuk memeriksa setiap bagian tubuh Zayn. "Aku baik-baik saja. Sepertinya kau baru saja mengalami mimpi buruk," sahut Zayn. "Syukurlah, hanya mimpi." Irene masih berusaha mengatur nafasnya. Zayn memberikan segelas air untuk Irene. Meraih tisu untuk menyeka keringat di dahi gadis itu. Bukan hanya dahinya saja, peluh juga membanjiri sekujur tubuh Irene. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN