7. Seperti bidadari

1383 Kata
Perlahan Irene membuka matanya, bias sinar matahari yang memantul dari jendela membuatnya silau. Irene begitu terkesiap setelah menyadari dirinya sedang berada di tempat yang berbeda dengan tempat sewaktu dia memejamkan matanya tadi. Disingkapnya selimut yang menutupi tubuhnya, kemudian Irene meninggalkan kamar untuk mencari Zayn. "Tuan, eh. Jangan sampai aku memanggilnya begitu atau dia akan melakukan sesuatu yang tidak akan pernah bisa aku bayangkan." Irene bermonolog. "Zayn," panggilnya seraya menyusuri setiap sudut bangunan tersebut. "Aku di sini. Kemarilah!" Mendengar teriakan Zayn membuat Irene mencoba mendekati arah sumber suara. Di balkon, nampak Zayn sedang duduk di kursi dengan memangku laptop. Irene menghela nafas panjang, pria itu memang seolah tak bisa lepas dari benda yang satu itu. Dimanapun, kapanpun, Zayn selalu saja berkutat dengan pekerjaannya. "Kenapa masih berdiri di situ? Kemari!" titah Zayn yang melihat Irene masih betah berdiri di ambang pintu. "Aku hanya memastikan keberadaanmu saja. Aku akan kembali ke kamarku setelahnya aku akan membuatkan sarapan untukmu." Zayn baru saja membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu akan tetapi urung dia lakukan setelah melihat Irene pergi begitu saja. Irene kembali ke dalam kamarnya. Bangunan yang dia tempati itu cukup luas hingga memakan waktu dari balkon Zayn berada tadi, menuju kamarnya. *** "Kau mau sarapan apa? Biar aku buatkan," kata Irene. "Tidak perlu, kita akan sarapan di luar." Zayn memimpin langkah di depan sementara Albert dan Irene mengekor di belakang. Sepanjang jalan Irene terus menggerutu, sejak mereka tiba di tempat itu dini hari, Zayn belum juga memberitahunya sedang dimana mereka sebenarnya. Bertanya pun percuma karena baik Zayn maupun Albert tidak akan menjawab. 'Apa begini sifat aslinya? Terkadang baik, perhatian, tapi mendadak bisa menjadi dingin dan irit bicara. Masa iya aku dilarang menanyakan sesuatu padanya meskipun itu hanya hal kecil. Dasar pria aneh, bisa-bisanya Ayah betah bekerja dengannya sampai bertahun-tahun lamanya.' Brug! "Auw!" pekik Irene sembari memegangi keningnya. Terlalu larut dalam lamunannya membuat Irene tak menyadari jika mereka telah sampai di suatu tempat, jadilah Irene menubruk punggung Zayn. "Kalau jalan itu yang benar. Perhatikan jalan dengan baik, atau kau memang sengaja melakukannya agar bisa mendekati aku?" tanya Zayn sarkas. "Enak saja kalau bicara, memang untuk apa aku melakukannya kalau kita saja sudah tidur di ranjang yang sama? Kau ini ada-ada saja, masih pagi sudah membuat orang kesal," oceh Irene. Albert terkekeh melihat kejadian di depannya, baru pertama kali ini ada orang yang berani menginterupsi Zayn, terlebih dia adalah seorang wanita. 'Karena aku suka sekali melihat ekspresi wajahmu jika sedang marah-marah.' Zayn berusaha menahan tawanya. "Sebaiknya kita segera sarapan karena aku sudah sangat lapar," ucap Zayn datar. 'Dasar!' Irene tak henti-hentinya mengumpat dalam hati. Albert membimbing Zayn dan juga Irene menuju meja makan yang telah di pesan olehnya. Sarapan pagi pun berjalan dengan cepat, baik Irene maupun Zayn makan dengan lahap. "Aku ada pertemuan penting dengan klien, untuk sementara kau bisa pergi berbelanja atau sekedar jalan-jalan di komplek pertokoan yang ada di sini," ujar Zayn membuka suara. "Hm." "Aku akan menghubungimu begitu aku selesai." "Hm." sungguh, rasanya Irene begitu malas menjawab suaminya. "Albert," panggil Zayn. Albert yang memang sedang duduk di meja yang berada tak jauh dari Zayn pun bergegas mendekat. "Ya, Tuan." "Apa kau sudah menyiapkan semuanya?" Zayn bersiap sambil merapikan jasnya. "Sudah Tuan." "Aku pergi dulu," ucap Zayn pada istrinya. "Tunggu!" cegah Irene. "Ada apa lagi?" "Dasimu miring," cetus Irene. Irene mendekati Zayn kemudian tangannya terulur untuk membetulkan letak dasi Zayn. "Semoga berhasil," bisik Irene. "Hm." Zayn segera berlalu dari sana. Pertemuan penting dengan klien akan dimulai dalam sepuluh menit lagi jadi dia harus segera sampai di lokasi. Zayn sangat disiplin dan dia paling tidak suka jika dirinya atau kliennya datang terlambat. Dan, untunglah mereka mengadakan rapat di bangunan yang sama, jadilah Zayn hanya perlu naik lift menuju lantai atas. *** "Apa Paman tidak memiliki pekerjaan selain mengikuti aku?" tanya Irene sinis. Dia begitu kesal karena sejak tadi ada dua orang pria yang dia perkirakan sebagai temannya Albert, terus mengikutinya kemanapun dia pergi. "Karena mengikuti Nyonya memang adalah tugas kami," jawab salah satu dari pria itu. "Astaga, kalian benar-benar membuatku kesal. Aku ini sudah dewasa jadi aku tidak akan tersesat, jadi pergilah dari hadapanku." "Tidak bisa, Nyonya. Kami masih membutuhkan pekerjaan ini dan kalau sampai Tuan Zayn tahu, kami tidak mengikuti Nyonya. Bisa tamat riwayat kami." "Zayn benar-benar keterlaluan. Bisa-bisanya menyuruh orang untuk menguntitku," desis Irene kesal. "Kami bukan penguntit, Nyonya. Kami bodyguard, orang yang khusus diminta oleh Tuan Zayn untuk menjaga Anda." "Menjaga apa? Dari siapa? Memang bahaya apa yang akan datang menimpaku?" Irene yang masih belum mengerti dengan kehidupan barunya tentu saja tidak tahu kenapa Zayn sampai meminta pengawal untuk mengikuti dirinya. "Ya sudahlah, terserah kalian saja," pasrah Irene. Sudah lebih dari tiga jam Irene berjalan-jalan, memasuki satu toko ke toko lainnya. Tak terhitung sudah berapa banyak toko yang dia datangi akan tetapi tidak satu pun barang belanjaan yang berhasil Irene bawa. Pada dasarnya Irene memang tidak suka berbelanja, Irene lebih suka membuat kue, memasak atau melakukan apapun di rumah ketimbang pergi menghabiskan uang tidak jelas. "Aku lelah, Paman. Apa disekitar sini ada taman?" Irene memijit kakinya yang terasa sakit. Untunglah dia memakai flatshoes, bisa dibayangkan akan seperti apa jika dia memakai heels, kakinya mungkin sudah bengkak sekarang. "Ada, Nyonya. Mari ikuti saya." Irene mengikuti pria bertubuh tinggi besar di depannya sementara seorang pria lagi terlihat mengekor di belakangnya. Sesampainya Irene di sebuah taman, pandangannya terus tertuju pada seorang anak kecil yang sedang duduk di tepi jalan. "Paman, apa yang sedang dilakukan anak itu?" tanya Irene. "Ooh, itu. Sepertinya anak itu sedang mencari pelanggan," celetuk pengawal bernama Bryan. Irene memicingkan matanya mengawasi anak kecil itu. Tidak ada sesuatu yang bisa dibeli. Anak kecil itu hanya berdiri sambil memegangi sebuah payung. "Hm, jadi dia itu tukang ojeg payung, Paman?" "Ya, Nyonya." "Panas-panas begini memang ada orang yang akan memakai jasanya?" "Mungkin saja. Orang kan tidak hanya memerlukan payung pada saat hujan." Irene terdiam, membenarkan ucapan Bryan. Gadis itu lantas memutar otak. "Hm, apa Paman membawa uang?" tanya Irene begitu bersemangat. "Ada kartu kredit pemberian Tuan Zayn yang bisa Anda pakai, Nyonya." "No! Bukan itu, aku bilang uang tunai, Paman. Bukan kartu kredit." Irene menggeleng cepat. "Sebentar." Bryan mengambil dompet dari saku belakang celananya. "Berapa yang Anda butuhkan, Nyonya?" Irene terlihat berpikir sejenak. "Bisa, Paman memberiku lima lembar uang ratusan," pinta Irene. Tak butuh waktu lama, Irene sudah menggenggam lima lembar uang kertas yang dimintanya dari Bryan. Irene lantas berjalan mendekati anak kecil yang sedang berjongkok di tepi jalan. Irene melipat bagian bawah roknya dan mengambil posisi sama seperti anak kecil itu. "Adik kecil, siapa namamu?" Yang ditanya pun mendongak, anak kecil itu tertegun memandangi Irene dari atas sampai bawah. Bidadari mana yang datang di siang hari panas terik begini, pikir anak itu. "Aldo. Apa Kakak mau memakai jasaku?" tanya anak kecil bernama Aldo tersebut, girang. "Tentu saja, aku kepanasan jadi aku sangat membutuhkan jasamu." "Baiklah, ayo. Biar aku antar, kemana Kakak ingin pergi?" Aldo bangkit dengan riang. "Ke taman itu!" Irene menunjuk taman yang berada sekitar dua puluh lima meter dari tempatnya berdiri. Gadis itu melihat Aldo seolah kebingungan. "Kenapa? Kau tidak mau mengantar Kakak?" "Jaraknya cukup dekat, kalaupun aku mengantar Kakak akan percuma saja. Kakak sudah berkeringat begitu," cicit Aldo. "Itu sebabnya aku memintamu mengantarku. Cepat buka payungmu sebelum aku jatuh pingsan," gurau Irene. Tanpa berkata lagi, Aldo segera membuka payungnya dan bersiap mengantarkan Irene menuju taman. "Paman Bryan, bolehkah aku meminta tolong pada Paman?" "Tentu saja. Apa yang harus saya lakukan, Nyonya?" Menit berikutnya. Irene terus berjalan berdampingan dengan Aldo sementara Bryan di belakangnya sambil memegang payung. Sejak tadi Bryan terus menggerutu dalam hati, merasa dirinya telah dikerjai oleh istri majikannya itu. 'Yang benar saja, tugasku itu menjagamu Nyonya. Melakukan hal seperti ini tentu saja sangat mencoreng harga diriku.' Bryan mendumel. Hans, rekan seprofesi Bryan pun tak luput dari kelakuan nakal Irene. Gadis itu memintanya untuk membelikan es krim. Ini untuk kali pertama dua orang bodyguard itu melakukan hal absurd diluar tugas aslinya. Bryan dan Hans tetap siaga berdiri di belakang bangku yang tengah diduduki oleh Irene dan Aldo. Mulut keduanya memang terkunci rapat tapi dalam hati mereka masih saja mendumel. Sementara Irene masih asyik berbincang dengan Aldo, sampai-sampai dia tidak tahu jika ternyata saat ini di tempat yang berbeda, ada seorang pria sedang tersenyum memperhatikannya secara diam-diam. 'Putrimu memang seperti bidadari, Paman.' Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN