bc

Marry The CEO For A Will

book_age16+
10.5K
IKUTI
98.7K
BACA
possessive
love after marriage
arranged marriage
arrogant
CEO
bxg
icy
city
secrets
like
intro-logo
Uraian

Sepeninggal ayahnya, Irene dikejutkan dengan wasiat terakhir yang diucapkan oleh Maxim beberapa saat sebelum pria itu menghembuskan nafas terakhirnya.

Zayn Alexander Xavier, pria bermata biru yang memiliki sorot mata tegas akan tetapi meneduhkan bagi siapa saja yang melihatnya. Irene bahkan sama sekali tak mengenal pria itu sebelumnya, hingga keduanya dihadapkan dengan sebuah kenyataan yang membuat mereka terikat dalam sebuah ikatan sakral bernama pernikahan.

Selama menjalani kehidupan menjadi seorang istri, Irene menghadapi banyak kesulitan. Masalah demi masalah datang silih berganti tanpa Irene sadari jika ternyata dia dan juga suaminya tengah dikelilingi oleh orang-orang yang menginginkan kehancuran rumah tangganya.

Mampukah Irene dan Zayn mengungkap rahasia dibalik wasiat terakhir Maxim? Bagaimana akhir kisah perjalanan cinta mereka?

6 November 2020

chap-preview
Pratinjau gratis
1. Wasiat Maxim
Siang itu, hari ke lima belas di bulan Oktober. Langit masih saja murung, belum ada tanda-tanda kalau langit akan menghentikan tangisnya. Hujan terus melanda sejak pagi tadi, gumpalan awan hitam masih berarak dan berlomba untuk menjatuhkan diri menjadi tetesan air. Kilat menyambar disusul dengan guntur yang bersahutan, begitu memekakkan telinga. Seorang gadis terlihat begitu anggun ketika ia melangkahkan kakinya keluar dari sebuah ruangan. Ya, hari ini adalah hari dimana dia menjalani interview. Sudah hampir dua minggu sejak hari kelulusannya, gadis bernama Irene itu sibuk menyambangi satu per satu perusahaan tempatnya menaruh harap agar dia bisa bekerja pada salah satu perusahaan yang dia datangi tersebut. Irene mengeluarkan sebuah payung kecil yang sejak tadi tersimpan rapi dalam tas selempangnya. Gadis itu baru saja hendak melangkahkan kakinya meninggalkan lobby saat tiba-tiba ponsel dalam tasnya berbunyi nyaring. Irene mengernyitkan dahinya manakala melihat nama yang tertera pada layar ponsel. Sebuah nomor asing masuk, nomor yang sama sekali tidak dikenalinya. "Hallo," ucapnya begitu menempelkan benda pipih tersebut di telinganya. "Irene ...." "Ya." "Pergilah ke rumah sakit sekarang!" titah pria di seberang sana. "Apa? Rumah sakit mana? Kenapa aku harus kesana?" tanyanya beruntun. "Ayahmu jatuh sakit." "Mustahil, tadi pagi beliau sehat-sehat saja. Kami bahkan sempat bercanda sebelum Ayah berangkat kerja," tukas Irene. "Jangan membantah, kau tidak punya banyak waktu. Cepatlah kemari!" Klik. Irene mengurungkan niatnya untuk kembali bertanya begitu mendengar seseorang di seberang sana telah memutus sambungan teleponnya secara sepihak. Ia lebih memilih untuk berlari menerjang derasnya hujan, menyusuri trotoar yang sepi demi bisa sampai di halte bus. Di tengah hari saat hujan lebat begini, memang siapa yang mau direpotkan dengan cipratan air, hawa dingin yang menusuk juga gemuruh petir yang menakutkan? Susah payah Irene menjaga payungnya agar tak terbawa angin. Dia mendekap tubuhnya sendiri, berusaha menghalau rasa dingin yang mulai menusuk ke dalam tulangnya. Untunglah dia tak mengalami kesulitan yang berarti karena begitu dirinya menginjakkan kaki di halte, sebuah bus menghampirinya tak lama kemudian. Sesampainya di rumah sakit, Irene segera berlari mengikuti orang yang menjemputnya di lobby rumah sakit tadi, menuju ruang perawatan ayahnya. "Ayah ...." panggilnya begitu memasuki sebuah ruangan bernuansa putih yang kental akan aroma karbol itu. Gadis itu berlari mendekati tempat dimana Maxim, sang ayah tengah terbaring lemah. "Syukurlah kau datang," ucap pria yang sejak tadi duduk di samping bed Maxim. "Kenapa dengan ayahku, Tuan? Apa yang terjadi?" tanya Irene. "Sa ... yang. Nak," ucap Maxim tersendat. Irene bisa melihat ayahnya begitu tersiksa saat ini. Untuk bernapas pun Maxim kepayahan meskipun telah memakai alat bantu pernapasan. "Ayah, apa yang terjadi?" Irene tak sanggup lagi membendung air matanya. Bulir bening itu terus luruh membasahi pipinya. Tangis gadis itu makin pecah ketika melihat pemandangan di hadapannya. Maxim yang tersengal berusaha mengucapkan sesuatu yang seolah tercekat di tenggorokannya, tangannya bergetar mencoba untuk menggapai jemari Irene. Sungguh ... sepanjang perjalanan hidupnya, dia baru pernah melihat pemandangan yang amat menyedihkan. Dimana ia merasa untuk pertama kalinya sejak lima tahun lalu, jantungnya kembali merasakan sakit tak terperi. Seolah jantungnya ditikam belati tak kasat mata yang juga merobek hatinya. "Ayah, jangan bicara apapun! Kondisi Ayah sangat lemah," cegah Irene. Maxim menggeleng pelan. Pria itu berjuang sekuat tenaga demi bisa meraih jemari putrinya dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya sejak tadi ia gunakan untuk menggenggam tangan pria yang duduk disampingnya. "Maafkan Ayah, selama ini Ayah terlalu sibuk bekerja sampai melupakanmu. Ternyata putri kecil Ayah sudah tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik," lirih Maxim hampir tak terdengar. Air mata Irene masih menganak sungai saat dirasakannya tangan sang ayah makin bergetar hebat ketika berusaha menggenggamnya dengan erat. "Irene yang seharusnya meminta maaf," sahut gadis itu seraya mencium tangan Maxim. "Aku bukanlah anak yang baik, aku selalu saja menyusahkan Ayah," sambungnya. "Tidak, jangan pernah berkata begitu. Kau adalah kebanggaan Ayah." Maxim meringis kesakitan, tubuhnya sesekali mengejang menahan sakit yang semakin lama membuatnya tak tahan. Sementara pria yang memakai kemeja warna biru muda itu terus membuang muka ke sembarang arah. Dia tak kuat jika terlalu lama menikmati adegan menyedihkan seperti itu. Matanya sudah memanas sejak dia membawa Maxim ke rumah sakit tadi. "Tuan, bolehkah saya meminta sesuatu dari Anda?" mata sendu berlapis cairan bening itu beralih menatap lelaki yang duduk berdampingan dengan putrinya. "Katakan," cicitnya. Pria itu terus menunduk, berusaha untuk tidak memperlihatkan raut wajah sedihnya. Jemari tangan yang mulai mengeriput itu pun mulai bergerak perlahan. Irene yang masih menangis, menurut saja ketika Maxim meletakkan jemari tangan pria disampingnya lalu menyatukannya dengan tangannya. "Aku titip putriku. Dia gadis yang baik, nikahilah dia. Tolong bahagiakan hidupnya, dia sudah menderita sejak kecil. Aku yakin dia bisa menjadi istri yang baik untukmu." Pria itu hanya mengangguk sambil terus menunduk. Irene bisa mendengar isakan lirih dari pria yang saat ini duduk disampingnya itu. "Tolong penuhi keinginan terakhirku," imbuh Maxim. "Ayah ...." jerit Irene. "Aku memohon padamu sebagai seorang teman sekaligus ayah." "Aku akan melakukannya, percayalah. Aku akan menikahi putrimu sekalipun kau tidak memohon jadi berhentilah memohon. Kumohon, bertahanlah." "Nikahi Irene dan hidupmu akan bahagia." Irene meraung. Gadis itu terus memanggil nama ayahnya. Selesai mengucapkan kalimat tersebut, tangan Maxim terkulai lemas. Irene memeluk tubuh kaku itu dengan derai air mata. "Ikhlaskan dia, ayahmu telah pergi," ucap lembut pria berkemeja biru muda itu seraya mengelus punggung Irene. "Tidak ... tidak mungkin. Tolong jangan berkata seperti itu, Tuan," rengek Irene. "Tenangkan dirimu, kumohon. Paman Maxim telah istirahat dengan tenang." "Diam kataku! Jangan mengucapkan sepatah kata lagi yang bisa membuatku marah!" bentak Irene. Untuk beberapa saat lamanya Irene menangis sambil terus memeluk jenazah ayahnya. Kekacauan terjadi ketika petugas paramedis datang, bermaksud untuk memindahkan Maxim ke ruang jenazah setelah dokter memastikan kematian pria itu. Irene meronta dan berusaha menyingkirkan orang-orang yang memaksanya menjauhkan diri dari tubuh Maxim. Dokter sudah meminta izin sebelumnya akan tetapi Irene berkeras hati mengatakan jika Maxim masih hidup. Gadis itu mempersulit petugas dengan terus menghalangi mereka menjalankan tugasnya. Pria bermata biru terang yang sejak tadi ikut larut dalam kesedihan pun bergerak cepat. Ia melangkah maju dan merengkuh Irene ke dalam dekapannya. "Jangan halangi saya, Tuan. Mereka semua pembohong. Ayahku masih hidup," ucap Irene sambil terus berusaha melepaskan diri. "Kumohon tenanglah, aku juga sedih tapi tolong ... kendalikan dirimu. Paman akan sedih melihatmu melepas kepergiannya dengan cara seperti ini," bujuknya. "Ayah ... ayah ...." Hati pria itu sungguh hancur melihat gadis dalam pelukannya itu terus memanggil ayahnya. Dia mengisyaratkan agar petugas itu segera keluar dan membawa Maxim ke ruang jenazah. Dia tahu, dia paham betul dengan apa yang saat ini sedang dirasakan oleh Irene karena dia sendiri pernah merasakannya ketika dirinya ditinggalkan sang ayah pergi untuk selamanya. Sakit, dia juga merasakan sakit yang teramat sangat karena kini dia harus berjuang sendirian. Orang yang telah mengabdi dan menemaninya menjemput kesuksesan telah berpulang. Beberapa saat kemudian. Pria itu merasa lega karena Irene tak lagi meronta, didengarnya nafas gadis itu mulai beraturan meskipun masih sesenggukan, menandakan Irene telah sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Namun kini kecemasannya bertambah manakala merasakan tubuh Irene merosot. Gadis itu tidak sadarkan diri setelah mengalami kejadian yang membuatnya menguras habis seluruh air matanya. Bersambung ....

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Mrs. Rivera

read
47.1K
bc

The Ensnared by Love

read
105.3K
bc

Dua Cincin CEO

read
232.2K
bc

AHSAN (Terpaksa Menikah)

read
305.7K
bc

Accidentally Married

read
106.0K
bc

CEO Dingin Itu Suamiku

read
152.3K
bc

Dependencia

read
193.9K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook