9. Cinta beda kasta

1439 Kata
Irene masih berdiri di depan wastafel. Berulang kali dia membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap hal tersebut bisa mengembalikan kesadarannya, sepenuhnya. Apa yang baru saja dialaminya seolah benar-benar nyata. Detik dimana Zayn yang hampir meregang nyawa akibat tenggelam, juga kejadian di danau dalam mimpinya, itu semua terasa nyata dan sangat mengerikan. Namun, ada sesuatu yang aneh di sini. Dalam kehidupan nyata, Irene sama sekali tidak bisa berenang, lalu bagaimana ceritanya dia bisa menyelamatkan Zayn? "Irene? Kenapa lama sekali di dalam? Kau baik-baik saja," tegur Zayn di depan pintu kamar mandi. "Ya, aku segera keluar." Irene membuang tisu bekas ke dalam tempat sampah. Gadis itu membuka pintu dan mendapati Zayn sedang berdiri di sana. "Kau sakit?" tanya Zayn yang melihat wajah pias Irene. Gadis itu menggeleng pelan seraya melangkah menuju tempat tidurnya. "Sebaiknya kau makan dulu!" titah Zayn. "Kau melewatkan makan siangmu, aku tidak mau kau sakit." "Aku baik-baik saja," balas Irene singkat. Dia pun segera menaiki kasurnya. "Kau belum makan siang. Lihatlah! Hari sudah sore." Irene tak menghiraukan ucapan Zayn dan lebih memilih membungkus rapat tubuhnya dengan selimut. Zayn pun mengambil posisi yang sama seperti Irene, satu tangannya menumpu kepalanya. Perlahan, tangan kirinya mulai bergerak untuk membelai puncak kepala Irene. "Apa yang terjadi? Apa yang membuatmu seperti orang ketakutan begini? Kau bisa menceritakannya padaku!" Sunyi. Irene masih bertahan dengan posisinya menghadap tembok. Sesekali bahunya naik turun dengan nafas tersengal, Zayn tahu, Irene sedang menangis. "Apa aku telah melakukan kesalahan? Kau marah karena aku meninggalkanmu dan malah mengurusi pekerjaan?" cecar Zayn. Irene masih membisu. Tak kuasa membuka mulutnya sekedar menjawab pertanyaan Zayn. Tak tahan didiamkan Irene, Zayn reflek mendekap tubuh mungil yang saat ini sedang memunggunginya. "Maafkan aku," cicitnya. "Baru beberapa hari menjadi suamimu saja aku sudah membuatmu menangis. Aku merasa gagal menjalankan tugasku sebagai seorang suami," imbuh Zayn putus asa. Detik berikutnya, Zayn terperangah dengan apa yang dilakukan Irene padanya. Gadis itu membalikkan tubuhnya, lalu membalas pelukan Zayn dengan erat. Zayn bahkan dapat merasakan hangat nafas Irene yang menembus pori-pori kulit lehernya dan itu membuat bulu kuduk Zayn meremang. "Kau tidak bersalah jadi berhentilah menyalahkan dirimu sendiri," lirih Irene. "Katakan! Apa yang membuatmu menangis?" "Aku hanya ...," "Hanya apa?" Zayn makin mengeratkan pelukannya. "Aku hanya rindu Ayah." "Hanya itu?" tanya Zayn memastikan. Irene menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. "Lain kali jika ada sesuatu, bicaralah padaku!" "Ya." suara Irene hampir tenggelam karena wajahnya masih menghimpit d**a Zayn. "Janji?" "Ya, janji." "Kita akan ke makam Paman setelah kita pulang." 'Terkadang dia bisa bersikap hangat, tapi di situasi berbeda dia akan menjadi sangat dingin. Sepertinya aku masih harus belajar untuk memahami sifatnya.' batin Irene. *** Zayn melajukan kereta besinya melintasi jalanan yang cukup lengang. Setelah drama tangisan Irene di kamar tadi berakhir, Zayn memutuskan untuk mengajak gadis itu makan malam. Irene tampak tak nyaman memakai gaunnya. Gaun berwarna hitam tanpa lengan yang mengekspos pundaknya, panjangnya juga di atas lutut. Sedari tadi gadis itu terus menggumam kesal. Gaun seperti itu sama sekali bukan style-nya, tapi Zayn bersikukuh memintanya memakai gaun itu. "Apa masih jauh?" tanya Irene. "Sebentar lagi sampai. Duduklah dengan tenang, kau sangat cantik dengan gaun itu jadi ...," "Aku tidak terbiasa memakai pakaian terbuka seperti ini, Zayn. Kurang bahan, kurang jahitan, seperti tidak memakai baju," sungut Irene. "Tapi aku suka melihatmu seperti ini, kau terlihat sangat cantik," puji Zayn. "Jadi kau lebih suka melihat aku memamerkan tubuhku yang seksi ini pada orang lain?" tanya Irene seraya menggerakkan tubuhnya. Andai saja dia sedang tidak berada di dalam mobil, Irene pasti akan berlenggak-lenggok bak model. "Tidak boleh! Kau hanya boleh memakai pakaian seperti ini jika di depanku atau saat sedang bersamaku. Selain itu, tidak akan kuberi izin!" tegas Zayn. 'Ternyata selain dewasa, bijaksana, dingin dan keras kepala, Zayn memiliki sifat posesif juga,' gerutu Irene dalam hati. "Kenapa diam?" Zayn menyoroti wajah istrinya. "Tidak ada." Melihat Irene mengerucutkan bibirnya membuat Zayn gemas. Hal itu membuatnya mengingat kembali saat pertama kali bibirnya menyentuh bibir ranum Irene. Zayn menggelengkan kepalanya, berusaha menghalau pikiran kotor yang mulai hinggap di otaknya sebelum makin menjadi dan membuatnya menderita karena harus menahan diri. Zayn memarkirkan mobilnya begitu dia sampai di depan sebuah bangunan mewah berlantai dua. Keduanya berjalan beriringan menuju private dining room yang sebelumnya telah direservasi oleh Albert. Irene takjub melihat tata letak ruang yang saat ini ada di depannya. Seumur hidup, baru kali ini dia menginjakkan kakinya di tempat makan mewah seperti ini. Meja yang ditata menghadap jendela kaca, membuat keduanya leluasa melihat pemandangan kota yang mengecil bak miniatur, di bawahnya. Dengan pencahayaan redup dari beberapa lilin yang dinyalakan, makin menambah kesan romantis. Lagi-lagi Zayn mendengus kesal. Seandainya saja keadaannya tidak begini. Bukannya makan malam, yang ada Zayn ingin sekali memakan istrinya saat itu juga. "Makanlah! Aku membelinya untuk kau makan, bukan untuk menjadi objek pemandanganmu saja," kata Zayn. Setelah pelayan pergi dari sana, yang Irene lakukan sejak tadi hanyalah memandangi piring di hadapannya. Piring berisi sepotong daging dengan sesendok saus diatasnya, dilengkapi dengan potongan buncis, wortel dan juga irisan kentang. Irene ragu saat hendak meraih peralatan makannya. Dia pernah melihat bagaimana orang-orang kaya di televisi memakan makanan seperti itu, tapi tetap saja dia gugup. Selama ini dia hanya makan makanan biasa menggunakan sendok dan garpu, malah terkadang langsung memakai tangan. Sudah pasti Irene kaku jika harus menggunakan pisau untuk memotong daging steak. Ingin sekali rasanya mengatakan pada Zayn untuk memesan makanan yang lain saja, tapi Irene sungguh malu. "Nah, makanlah!" Irene tercengang melihat Zayn mengambil piring miliknya dan menggantinya dengan piring milik Zayn. Gadis itu tersenyum senang karena daging steak di depannya telah terpotong-potong dengan sempurna, jadi dia tidak perlu susah-susah memikirkan cara untuk memotongnya dan tinggal memakannya saja. 'Kenapa tidak dari tadi,' gerutu Irene dalam hati. "Kalau ada sesuatu yang tidak bisa kau lakukan, paling tidak tanyakan. Jangan diam saja," beritahu Zayn. "Maaf ...," "Bukan itu yang ingin aku dengar. Aku tahu kau gadis yan cerdas, aku mau kau belajar agar kamu bisa menjalani kehidupanmu yang sekarang ini, dengan baik." Irene meletakkan kembali garpu yang sempat dia pegang seraya menampilkan senyum canggung. Rasa lapar yang sejak siang melandanya, menguap begitu mendengar ucapan Zayn. Mungkin terdengar biasa saja untuk orang lain, tapi tidak untuk gadis itu. Irene tahu jika dirinya salah. Bukannya menanyakan tata cara memakan steak, pada Zayn, dia malah diam saja. Namun, tidak sepantasnya juga Zayn berkata seperti itu. Zayn menangkap sorot kekecewaan yang tergambar jelas di wajah Irene. Sebenarnya dia tidak bermaksud menyakiti hati istrinya, Zayn hanya merasa perlu membimbing Irene agar dia mulai terbiasa dengan kehidupan barunya. Kedepannya akan ada banyak kesempatan yang membuat Zayn harus membawa serta Irene pada acara-acara penting perusahaan. Zayn hanya tidak ingin ada seseorang yang mencemooh kekurangan istrinya mengingat latar belakang Irene sebelum menikah dengannya. 'Baru beberapa saat yang lalu dia membuatku bahagia dengan sikap hangatnya, jika tahu akan begini kejadiannya, lebih baik aku makan di rumah saja. Tidak perlu makan sekalian malah lebih bagus.' Irene kepayahan menelan makanannya, padahal daging berbumbu itu sangatlah lembut dan terasa enak. Entahlah, Irene merasa acara makan malamnya kali ini sama sekali tidak ada enak-enaknya. *** Irene berjalan lesu menuju kamarnya. Ia segera melepas gaun dan menggantinya dengan piyama tidur berbahan satin tanpa lengan dengan tali spaghetti di pundaknya. Setelahnya, Irene menaruh piyama Zayn di atas sofa sementara dia bergegas menaiki ranjang. Menarik selimut hingga menutupi bagian lehernya. "Apa kau marah?" selesai berganti pakaian, Zayn pun mendekati ranjang. Tidak ada jawaban. Irene memejamkan mata, ia tertidur membelakangi Zayn. "Aku harap kau tidak salam paham dengan ucapanku tadi," lanjut Zayn. 'Istri mana yang tidak salah paham jika suaminya mengatakan hal yang tidak enak didengar?' nyatanya Irene hanya bisa memendam kata-katanya dalam hati. "Aku hanya ingin kau belajar, kelak kau akan bertemu dengan banyak orang dari kalangan atas. Aku tidak mau kalau orang sampai ...," Zayn tak kuasa melanjutkan ucapannya, takut akan memperburuk suasana hati Irene. 'Mengetahui latar belakangku yang hanya seorang gadis biasa, anak dari bekas asistenmu. Gadis yang tidak memiliki kemampuan apa-apa yang tidak sebanding dengan gadis-gadis keturunan konglomerat?' Irene menebak kelanjutan kata-kata yang sekiranya akan Zayn lontarkan padanya. Irene meremas kuat selimutnya, butiran bening pun meluncur dengan deras setelah pertahanannya jebol. Zayn yang mengetahui Irene menangis pun merasa bersalah, dia mencoba menenangkan Irene dengan memeluknya, tapi Irene menepis tangan Zayn. 'Aku kira kehidupan seperti Cinderella benar-benar nyata adanya, tapi sepertinya aku salah. Nyatanya kisah seperti itu hanya ada dalam dongeng dan juga n****+ yang sering aku baca karena pada dasarnya minyak dan air tidak mungkin dapat menyatu. Cinta beda kasta seperti ini, hanya akan membuat kami saling menyakiti.' Irene kembali memejamkan matanya bersamaan dengan air mata yang masih menganak sungai, menemani malam ke-tiganya setelah berganti status menjadi seorang istri. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN