4. First Kiss

1361 Kata
Irene tertegun. Sesekali disentuhnya wajah ayu yang telah berpoles make up itu. Di depan kaca Irene terus menatap pantulan dirinya. Sulit dipercaya, gadis itu terlihat begitu cantik. Tubuh semampainya telah dibalut dengan gaun berwarna putih, gaun pengantin tanpa lengan dengan model ball gown yang dipenuhi butiran Swarovski dan ditambah dengan aksen ekor yang menjuntai panjang. Irene menghirup nafas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan, begitu seterusnya. Disekanya cairan yang menggenang di matanya, dengan tisu. Hari ini adalah hari pernikahannya, hari yang paling bersejarah bagi setiap wanita yang hendak memulai kehidupan baru. Ada kesedihan yang menghinggapi gadis itu, bagaimana tidak? Hari bersejarah yang seharusnya adalah menjadi hari bahagianya, kini ia harus melewatinya sendiri tanpa kehadiran keluarga tercinta. Irene benar-benar hidup sebatang kara. Paginya, saat fajar menyingsing gadis itu datang ke pemakaman ayahnya dengan ditemani Zayn, bermaksud untuk meminta restu. Kembali terlintas di benak Irene saat Zayn duduk di depan pusara ayahnya, pria itu terlihat begitu khusuk menyampaikan beberapa patah kata yang isinya cukup membuat hati Irene berdesir. "Sayang." Irene menoleh saat seseorang memanggilnya, lamunannya buyar seketika. "Nyonya," sahut Irene. "Hei, berapa kali aku bilang? Panggil aku Mommy. Kau akan menikah dengan putraku, itu berarti kau juga adalah anakku. Jadi mulai saat ini kau harus memanggil aku dengan sebutan Mommy. Kau mengerti," jelas Hera seraya mendekati Irene. Irene mengangguk. "Hei, jangan menangis! Ini hari bahagiamu. Aku tahu kau sangat sedih tapi kau tidak boleh memperlihatkan air matamu di depan orang lain. Apa kata tamu yang hadir nanti jika melihatmu seperti ini, Sayang? Mereka akan berpikir kau terpaksa menjalani pernikahan ini." Hera menangkup kedua pipi Irene kemudian mendaratkan sebuah kecupan ringan di kening gadis itu. "Maafkan saya, Nyonya," cicit Irene. "Ish, Mom! Bukan nyonya," tegas Hera. "Ya Mom, maaf." "Ya sudah, biar Mommy panggil penata riasmu untuk memasangkan wedding veilnya ya. Upacara pernikahan akan segera dimulai." Setelah mendapatkan sedikit sentuhan dan memastikan penampilan Irene telah sempurna, Hera pun membimbing gadis itu menuju tempat pernikahan. Tepat di depan red carpet yang tergelar memanjang, Vernon tengah berdiri dan bersiap mengapit Irene untuk memberikannya pada Zayn yang sudah menanti di sisi yang berbeda. Hera memberikan tangan Irene pada Vernon yang di sambut dengan hangat. "Tetaplah tersenyum seperti ini, dengan begini kecantikanmu terlihat jauh lebih bersinar," bisik Hera sesaat sebelum dia menyerahkan Irene pada Vernon. "Iya, Mom." "Kau sudah siap?" tanya Vernon, menyadari tangan Irene bergetar hebat. "Jangan gugup, di sini kaulah ratunya. Kau cukup tersenyum dan terus menatap ke depan. Lihatlah! Pangeranmu itu sudah menunggumu sejak tadi." pria tua itu menyelipkan sedikit candaan. "Kakek." Vernon menghentikan kakinya begitu dia merasakan Irene menarik lengannya. "Ada apa, Nak?" "Jangan terlalu cepat jalannya ya, Irene gugup," pinta gadis itu. "Siap, Tuan putri. Kita berjalan sekarang?" Irene mengangguk, gadis itu menampilkan senyum terbaiknya demi menutupi perasaannya yang berkecamuk dalam hati. Irene sangat gugup. Tinggal hitungan menit lagi maka statusnya akan berganti. Dari sisi yang berbeda, terlihat Zayn berdiri gagah memakai jas pengantin. Pria itu terus menatap lurus ke depan, tepat ke arah mempelai wanitanya. 'Apapun yang terjadi, aku berjanji akan selalu menjaga dan melindungi putrimu, Paman. Semoga saja cinta akan datang dengan seiring berjalannya waktu karena aku yakin, wasiat paman merupakan bagian dari rencana Tuhan untukku.' Zayn mengepalkan tangannya. Bukan karena marah, melainkan karena pria itu merasa sangat gugup. Dilihatnya Irene dan juga kakeknya berjalan semakin mendekat. Langkah Irene lamban tapi pasti, menyusuri karpet merah bertaburkan bunga di atasnya. Vernon berdehem. Kakek tua yang jenaka itu sempat menggoda cucunya yang tengah menatap Irene tanpa berkedip. "Jika kau masih berdiam diri maka jangan salahkan Kakek jika nanti Kakek yang akan menggantikan posisimu," goda Vernon. Tangannya masih menggamit lengan Irene. "Memang siapa yang mau dengan lelaki tua seperti Kakek," sahut Zayn balas menggoda kakeknya. "Anak ini memang keterlaluan," gumam Vernon. Vernon memberikan tangan Irene kepada cucunya kemudian pria tua itu segera menyingkir dari sana. Acara berjalan lancar sesuai dengan rencana. Setelah masing-masing mempelai mengucapkan janji suci pernikahan, kini keduanya telah resmi menjadi sepasang suami-isteri. Masing-masing mempelai pun telah melingkarkan cincin pengikat di jari manis tangan kiri mereka. Tinggallah acara yang paling dinantikan oleh para hadirin yang datang, apalagi jika bukan wedding kiss. Seluruh tamu bersorak meminta adegan itu dipercepat. Irene meremas jemarinya dengan kuat. 'Bagaimana ini? Jelas-jelas kami menikah karena sebuah wasiat dan sama sekali tidak didasari dengan adanya cinta. Bagaimana jika Zayn ....' Suasana makin riuh. Banyak tamu bersorak, menyuarakan untuk pasangan pengantin baru itu segera melakukan wedding kiss, sementara beberapa tamu pria ada juga yang bersiul. Membuat Irene makin tak karuan saja. Perlahan Zayn mendekat, dia melingkarkan tangannya di pinggang ramping Irene membuat tubuh gadis yang telah berganti status itu menegang. Jarak keduanya cukup dekat hingga Irene dapat mencium wangi mint yang menguar dari mulut pria itu. "Maafkan aku, sepertinya kita harus melakukan ini atau jika tidak, mereka akan terus memojokkan kita berdua," bisik Zayn. Irene memejamkan matanya dan itu cukup menjadi jawaban. Mendapatkan lampu hijau, Zayn tak ingin membuang kesempatan. Dengan cepat pria itu membenamkan bibirnya pada bibir tipis Irene. Kecupan ringan yang murni hanya sebatas dua buah bibir yang saling menempel, lebih seperti ucapan perkenalan. Cukup lama dua bibir itu saling bersentuhan hingga akhirnya bibir Zayn mulai bergerak. Zayn pun tak mengerti sebenarnya apa yang terjadi dengan dirinya hingga dia merasa tergerak untuk melakukan lebih. Perlahan dihisapnya bibir ranum Irene yang manis layaknya buah cheri. Merasakan tidak ada perlawanan sama sekali dari Irene membuat Zayn gemas. Pria itu kemudian menggigit kecil bibir bagian bawah Irene, membuat gadis itu terbelalak. Irene meremas jas yang dikenakan Zayn. Dia mulai tak bisa mengendalikan diri saat lidah Zayn mulai menyapu setiap rongga mulutnya. Ada gelenyar aneh yang Irene rasakan. Ini adalah kali pertama gadis itu berciuman dan ciuman itu berhasil Irene persembahkan untuk pria yang kini telah resmi menjadi suaminya. *** Irene berjalan cepat menuju kamarnya, kamar Zayn lebih tepatnya. Ingin rasanya Irene segera melepaskan segala sesuatu yang melekat ditubuhnya. Seharian memakai gaun pengantin yang terasa berat, belum lagi dia yang masih harus berdiri memakai sepatu berhak tinggi sepanjang acara berlangsung, benar-benar melelahkan. Setibanya di kamar, Irene langsung menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Ia melepas sepatunya dan melemparkannya asal. 'Sepatu itu bentuknya saja yang indah, mirip seperti sepatu kaca Cinderella akan tetapi siapa yang menyangka dengan memakainya malah membuatku tersiksa.' Irene memijat betisnya. "Kakimu sakit?" Irene menoleh saat mendengar suara bariton yang menggema di kamar tersebut. Zayn baru saja masuk, pria itu berjalan dengan jas yang terlampir di siku tangan kirinya. "Aku belum pernah memakai sepatu dengan hak setinggi ini sebelumnya," jawabnya tanpa menghentikan pijatan di betisnya. "Mau aku bantu pijatkan?" tawar Zayn. "Tidak perlu, Tuan." "Tuan?" gumam Zayn tak suka. "Ya, Tuan," ulang Irene. "Aku tidak sedang menikahi seorang pembantu, kau adalah istriku jadi apa pantas kau memanggilku demikian?" "Lalu aku harus memanggilmu dengan sebutan apa?" Irene terlihat bingung. "Kau bisa memanggil namaku." "Tidak! Jarak usia diantara kita cukup jauh, tidak sopan jika aku memanggil namamu langsung," kilah Irene. "Terserah." "Bagaimana jika aku memanggilku Kakak?" cetus Irene. "Tidak! Kau bukan adikku!" "Jadi aku harus memanggilmu apa?" "Kau pikirkan saja sendiri, aku mau mandi." Pria itu kemudian masuk ke dalam kamar mandi. "Asal jangan memanggilku dengan sebutan Tuan atau Kakak!" tegas Zayn sebelum pria itu menutup pintu. Tiga puluh menit kemudian. Zayn sudah duduk di atas ranjang dengan memangku komputer lipatnya. Sebenarnya pekerjaan yang sempat tertunda selama beberapa hari ini sudah ditangani oleh Albert tapi rasanya dia perlu mengecek ulang untuk memastikan semuanya berjalan dengan lancar. Gemericik air dari dalam kamar mandi sudah tidak terdengar lagi, menandakan jika Irene telah selesai dengan ritual mandinya. Zayn mengalihkan pandangannya begitu mendengar derit pintu kamar mandi yang terbuka. Irene keluar dengan memakai bathrobe dan handuk kecil untuk mengeringkan rambutnya. "Tuan belum tidur?" Irene duduk di depan meja riasnya. "Tuan lagi," cicit Zayn jengah. "Setelah aktifitas seharian ini yang begitu menguras tenaga, tidakkah kamu mengantuk?" tanya Irene mengalihkan pembicaraan. "Tidak, bukankah ini adalah malam pertama kita jadi untuk apa aku tidur lebih awal? Ada banyak hal yang harus aku kerjakan," balas Zayn. Irene menghentikan aktifitasnya sejenak, tangannya yang sejak tadi dia gunakan untuk mengoles perawatan wajah malamnya itu masih menggantung di udara. Seketika tubuh gadis itu membeku, bulu kuduknya meremang. 'Apakah dia akan memintaku untuk melakukan ritual suci malam pertama, saat ini juga?' Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN