Irene baru saja selesai mengaplikasikan serangkaian perawatan malam nya, dia lalu meninggalkan meja riasnya dan berjalan menuju pembaringannya. Tempat dimana Zayn sedang duduk memangku laptop.
Berdiri di tepi ranjang, Irene kebingungan. Ragu, satu hal yang pasti mengingat dirinya belum pernah tidur satu ranjang dengan laki-laki selama ini.
"Naiklah! Memang mau sampai kapan kau akan terus berdiri di sana," kata Zayn datar tanpa mengalihkan pandangannya.
Irene tak menjawab namun dia memberanikan diri untuk naik ke atas ranjang. Meletakkan bantalnya sedikit menjauh dari sisi Zayn, dia beruntung kali ini karena kasur yang ditempatinya itu berukuran lebar.
"Aku tidur dulu," pamitnya seraya menarik selimut di bawah kakinya.
"Hm." Zayn berdehem.
Irene berusaha memejamkan matanya, rasa lelah yang menderanya membuatnya ingin segera sampai di alam mimpi.
Sepuluh menit.
Dua puluh menit.
Tiga puluh menit.
Tak terhitung sudah berapa kali Irene merubah posisinya, mencari posisi ternyaman untuk dia bisa tidur dengan nyaman tapi nyatanya gadis itu tak kunjung meninggalkan alam sadarnya.
"Apa aku mengganggu tidurmu?" Zayn menoleh. Dilihatnya Irene yang saat itu memunggunginya.
"Tidak, Tuan ... eh, Kak."
"Huh, tidak ada panggilan lain lagi selain itu? Sudah kubilang aku tak suka kau memanggilku begitu."
"Jadi aku harus memanggilmu apa?"
Irene merasa jengah, sudah tahu dirinya susah tidur sementara Zayn malah mengajaknya berdebat hanya karena masalah sepele.
Ternyata Zayn memiliki sifat keras kepala juga, pikir Irene.
"Panggil namaku, kau tahu namaku kan?"
"Ya baiklah, aku akan berusaha." Irene memutar tubuhnya hingga kini mereka saling berhadapan.
"Berusaha apa?"
"Kau ingin aku memanggil namamu kan?"
Sifat asli Zayn keluar, ternyata dibalik sikapnya yang dewasa dan bijaksana, Zayn juga keras kepala dan pemaksa.
"Good," balas Zayn singkat.
Zayn menutup komputer lipat yang sejak tadi terus dipangkunya lalu menaruhnya di atas nakas. Pria itu kemudian membaringkan tubuhnya setelah menutup sebagian tubuhnya dengan selimut.
Baru saja Zayn memejamkan matanya saat dia merasa tidak nyaman, cahaya lampu yang berpijar membuat matanya silau. Zayn pun mencari remote untuk mematikan lampu secara automatis, dia meraba nakas didekatnya tapi kosong, benda mungil itu tak ada di sana.
Zayn bangkit dengan satu siku yang menjadi tumpuannya. Matanya berbinar manakala menemukan keberadaan benda yang dicarinya itu.
Irene terkesiap saat mendadak Zayn menindih tubuhnya. Kini wajah keduanya sangat dekat, Irene dapat merasakan aroma mint yang menyeruak dari hembusan nafas Zayn. Hidung mereka saling bersentuhan, pun masih dengan tatapan mata saling bertubrukan.
"Kak ...," cicit Irene hampir tak terdengar.
"Apa?" kali ini pandangan Zayn beralih pada bibir tipis berwarna pink yang terlihat sangat menggoda.
Zayn merasakan ada yang meronta di bawah sana. Sekujur tubuhnya memanas saat dadanya dan d**a Irene saling berhimpitan.
"Kak, kau ... mau apa?" Irene tergagap saat melihat Zayn menatapnya seolah hendak menerkamnya. Gadis itu memejamkan mata ketika Zayn semakin memajukan wajahnya.
Zayn kembali menarik tubuhnya begitu tangannya berhasil meraih benda yang dicarinya.
"Mau mengambil ini, memang kau pikir apa yang akan aku lakukan?" menunjukkan benda pipih tersebut pada Irene.
'Ternyata dia mau mengambil remote, aku kira dia benar-benar akan meminta haknya malam ini.' Irene bernafas lega.
Zayn terkekeh geli melihat wajah Irene memerah, gadis itu pasti mengira jika dirinya akan mencium Irene.
"Apa kau pikir aku mau menciummu lagi?"
"Tidak!"
"Lalu kenapa pipimu merah begitu? Kau seperti seorang maling yang tertangkap basah." Zayn gencar menggoda Irene.
"Jangan bicara sembarangan, Kak!" Irene mengelak.
"Aku benar-benar akan mencium bibirmu lagi jika kau terus memanggilku dengan sebutan itu," ancam Zayn.
"Baik, maaf ... Za ... yn," ucap Irene kaku.
"Kau memejamkan mata seolah bersiap menerima sebuah ciuman dariku." Zayn kembali meletakkan remote setelah dia selesai memencet tombolnya.
Suasana kamar yang temaram menciptakan nuansa sendu. Akan berbeda ceritanya jika saja pengantin baru itu saling mencintai. Mungkin, keduanya akan mendaki lembah yang membawa mereka menuju surga dunia.
"Katakan terus terang jika kau memang menginginkannya," goda Zayn lagi.
"Tidak, enak saja." Irene tetap mengelak.
Gadis itu membalikkan tubuhnya, memunggungi Zayn.
"Tidurlah, besok pagi-pagi sekali kita harus berangkat," ujar Zayn.
"Berangkat kemana?" tanya Irene tanpa merubah posisinya.
"Ke luar kota. Kemungkinan kita akan menginap selama tiga hari di sana."
Irene tak lagi bertanya, ia lebih memilih memejamkan matanya karena sejujurnya dia memang sudah sangat lelah.
Begitupun dengan Zayn. Tak butuh waktu lama bagi pria itu untuk masuk ke alam mimpi.
***
Pagi itu terlihat cerah, sinar matahari yang hangat mulai berpendar di ufuk timur. Kicauan burung, kupu-kupu yang hinggap dari satu bunga ke bunga yang lainnya, juga tetesan embun yang menyejukkan, makin menyemarakkan suasana pagi hari.
Vernon berjalan lamban menuju meja makan, pria tua itu kemudian duduk setelah meletakkan tongkatnya di tepi meja.
"Selamat pagi, Kakek," sapa Irene.
"Selamat pagi cucu menantu kesayanganku. Kau bangun pagi sekali? Biasanya pengantin baru itu baru keluar kamar setelah matahari naik."
Vernon tertawa kecil melihat gadis yang baru saja menjadi istri cucunya itu tersipu malu.
"Aku sengaja bangun lebih awal agar aku dapat membuatkan sarapan untuk Kakek dan juga yang lainnya," sahut Irene.
"Jadi kau membuat apa, Nak?"
"Aku sudah memasak nasi goreng, tapi aku bisa membuatkan yang lain jika Kakek tidak ingin memakannya."
"Itu sudah cukup. Sekarang panggil suamimu, Kakek sudah lapar!" titah pria tua itu.
"Baik, Kek."
Irene meninggalkan ruangan tersebut kemudian menaiki anak tangga menuju kamarnya.
Zayn terbangun begitu mendengar alarm yang di setelnya semalam, berbunyi. Menandakan dia harus segera mengakhiri mimpinya dan kembali menjalani aktifitasnya. Dia mengucek matanya seraya mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan ketika dia tak mendapati Irene ada di sampingnya.
Daun pintu terbuka lebar dan muncullah wanita yang memakai rok sebatas lutut berwarna ungu dengan atasan pendek warna abu-abu.
"Kau sudah bangun? Biar aku siapkan air hangat untukmu mandi."
Tanpa menunggu balasan Zayn, Irene bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Menyalakan air di bak mandi lalu menuangkan sabun dengan aroma citrus. Memastikan suhunya pas barulah dia keluar dari sana.
"Cepatlah mandi! Kakek sudah menunggu di bawah," kata Irene.
"Hm."
Irene menggelengkan kepalanya melihat tingkah Zayn. Terkadang pria itu bisa bersikap hangat padanya tapi di sisi lain, ternyata Zayn juga memiliki sisi dingin yang mengalahkan dinginnya kutub utara.
Tak mau ambil pusing, Irene segera memasuki walk in closet, ruang ganti dimana Zayn menyimpan segala sesuatu seperti baju, sepatu, jam tangan dan banyak benda lainnya di sana. Irene mulai menyusuri setiap helai kain yang tergantung rapi. Gadis itu termangu saat menyadari kalau semua barang yang ada di sana jika di uangkan, mungkin jumlahnya mencapai milyaran.
Selama ini bisa dibilang Irene memang hidup pas-pasan akan tetapi dia tidak buta dengan barang-barang bermerk. Lingkungan sekolahnya dulu juga banyak yang berasal dari kalangan bangsawan yang tentu saja sudah akrab dengan barang-barang branded.
Berulangkali Irene mengambil selembar pakaian, tapi lagi-lagi dia kembalikan ketika dirasa pakaian itu tidak cocok untuk Zayn. Mungkin akan lebih memudahkan baginya jika saja dia tahu selera berpakaian Zayn.
Setelah sekian lama memilah akhirnya keputusannya jatuh pada sebuah polo shirt warna maroon, dilengkapi dengan celana panjang berbahan kain warna hitam. Irene juga memilih satu buah jam tangan yang sekiranya pas jika dipadukan dengan baju pilihannya tadi.
Terakhir, Irene membuka lemari bagian bawah, dia juga perlu mengambil pakaian dalam untuk Zayn. Mata Irene membulat penuh manakala dia berhasil menjangkau sebuah celana dalam berwarna hitam yang berukuran cukup besar. Perlahan Irene membuka lipatannya dan ....
"Argh ... ya ampun!" pekiknya sambil melemparkan celana dalam tersebut, begitu saja.
"Ada apa?"
Zayn yang baru saja keluar dari kamar mandi terlihat panik saat mendengar teriakan Irene.
"Ka ... kau sud ... kau sudah selesai?" Irene memungut celana dalam tersebut.
"Kenapa kau berteriak? Ada apa?" Zayn mendekat.
"Tid ... tidak ada apa-apa," dustanya.
Zayn tak percaya begitu saja mendengar ucapan Irene. Ditatapnya lekat wajah cantik gadis itu yang terlihat memerah, dan detik berikutnya Zayn mengetahui apa yang menyebabkan istrinya itu berteriak.
Tawa Zayn meledak saat melihat tubuh Irene yang bergetar sambil memegangi celana dalamnya dengan dua jari, seolah benda itu sangat menjijikkan dan tak ingin dia sentuh.
"Kenapa kau tertawa?" Irene bangun dari posisinya yang sejak tadi berjongkok.
"Apa itu yang membuatmu berteriak ketakutan seperti orang yang baru bertemu hantu?" Zayn menunjuk celana dalam yang masih dipegang Irene.
"Bagaimana kau tahu?" Irene balik bertanya.
"Kau memegangnya seakan itu benda menjijikkan," balas Zayn.
"Bukan begitu, aku hanya kaget saja. Aku baru tahu ternyata celana dalam pria sebesar ini, ukurannya bahkan tiga kali lipat ukuran celana dalamku."
Zayn kembali terbahak mendengar penuturan Irene dengan polosnya.
"Baru lihat celana dalamnya saja sudah menjerit ketakutan begitu, bagaimana jika melihat isinya," goda Zayn. Pria itu tak henti-hentinya mengulum senyum.
Irene merinding, dia tidak menyangka Zayn akan berbicara seperti itu padanya. Secepat kilat dia memberikan pakaian yang telah disiapkannya itu pada Zayn dan pergi meninggalkan Zayn begitu saja.
"Aku tunggu di bawah saja," ucap Irene begitu keluar dari ruangan tersebut.
Sementara Zayn masih belum bisa menghentikan tawanya. Istrinya itu benar-benar polos.
Bersambung ....