3. Membahas Pernikahan

1198 Kata
"Dia sedang menangis di tepi kolam, saya kira ...." Belum sempat Albert melanjutkan ucapannya, Zayn sudah berlari menuju kolam. Pria itu takut jika Irene akan melakukan sesuatu yang dapat membahayakan nyawanya. Zayn baru menghentikan kakinya ketika melihat sosok gadis yang dicarinya itu, ternyata sedang menangis di tepi kolam. Ia memelankan jalannya kemudian memasukkan kakinya ke dalam air setelah sebelumnya ia sempat menggulung celananya. Hawa dingin menjalar ke sekujur tubuhnya ketika kakinya telah masuk dengan sempurna ke dalam kolam. Zayn dapat melihat sisa-sisa air mata pada wajah basah Irene saat gadis itu menoleh padanya. Namun tak berlangsung lama karena Irene segera membuang muka ke sembarang arah. "Jangan ditahan, menangis lah jika memang kau merasa perlu menangis," tutur Zayn yang mendengar isak tangis tertahan dari bibir Irene. Untuk beberapa saat lamanya, Zayn membiarkan Irene menangis. Berharap dengan menangis bisa sedikit mengurangi kesedihan yang dirasakan oleh gadis itu. Meskipun dia paham, tidak akan semudah dan secepat itu melupakan kepergian orang yang sangat kita cintai. "Aku dulu lebih parah darimu," cicit Zayn, membuat Irene kembali menoleh padanya. "Aku mengamuk dan bahkan memukul dokter yang menangani ayahku begitu Daddy dinyatakan meninggal," imbuhnya. Zayn menjeda sejenak ucapannya dan menatap Irene sejenak. "Aku merasa hancur sehancur-hancurnya. Kehilangan Daddy adalah kepedihan terbesar yang pernah aku rasakan. Duniaku seakan runtuh begitu saja dan aku sama sekali tak memiliki semangat hidup. Itu sebabnya aku tahu betul bagaimana perasaanmu." "Ya, kita hampir memiliki kesamaan. Sama-sama merasakan sakit ditinggal pergi untuk selamanya oleh ayah kita. Tapi mungkin ... Anda lebih beruntung dari saya, Tuan." Irene mengusap kasar air mata yang mengalir di pipinya. "Beruntung?" tanya Zayn, tak mengerti. "Ya, Anda dilahirkan dari keluarga berada. Anda memiliki banyak kenangan dan waktu yang berharga dengan keluarga Anda, sementara saya ...," "Jika kau tidak keberatan, kau bisa menceritakan masa kecilmu atau apapun itu, padaku. Aku akan menjadi pendengar yang baik." "Saya dilahirkan di keluarga yang sederhana. Ayah bahkan harus bekerja keras demi bisa menghidupi keluarganya. Tak jarang dia bekerja sampai larut malam dan seringkali tak pulang kerumah." Zayn merasa tertampar ketika mendengar ucapan Irene. Kata-kata seperti itu begitu menohok perasaannya. Dia memang gila kerja dan seringkali lupa waktu, dan ucapan Irene itu secara langsung seolah sedang menyalahkannya. Maxim seringkali harus bekerja keras sekalipun diluar jam kerja normal pada umumnya, demi bisa mengimbangi dirinya. "Saya sama sekali tidak mempermasalahkan pekerjaan Ayah. Hanya saja yang saya sesali, saya tidak memiliki banyak kenangan yang bisa saya ingat," sambung Irene. Zayn berulangkali menganggukkan kepalanya. Dia mengetahui semuanya dengan jelas bagaimana awal mula Maxim menitipkan Irene untuk dirawat oleh neneknya di desa, sepeninggal istrinya. Keduanya pun saling bertukar cerita tentang kehidupan masa lalu mereka masing-masing. Dan, ya ... ini kali pertama Irene mengetahui fakta jika pria yang saat ini ada disampingnya itu ternyata adalah majikan ayahnya. Selama ini Irene hanya tahu jika ayahnya bekerja menjadi asisten CEO ternama negeri ini tapi tak mengetahui jika orang itu adalah Zayn. "Pergilah ke kamarmu, ini masih terlalu pagi untuk berenang," tutur Zayn. Pria itu mengangkat kedua kakinya dari dalam air lalu bersiap masuk ke dalam untuk membersihkan diri. "Tuan," panggil Irene. Zayn pun menoleh. "Terimakasih karena telah menjadi pendengar setia ceritaku yang menyedihkan," lanjutnya. "Satu hal yang perlu kamu ketahui, bahwa tidak semua yang kita inginkan disajikan dengan indah di hadapan kita. Ini bukan tentang cara bertahan di tengah hujan badai, melainkan tentang bagaimana kita bisa menari dibawah derasnya hujan." Zayn melangkahkan kakinya mantap seusai ia mengatakan hal tersebut. Perlahan sebuah lengkungan tipis terbentuk di bibirnya, sebuah lengkungan yang amat tipis yang tidak bisa dilihat oleh orang lain jika tidak diperhatikan dengan seksama. 'Aku yakin kau adalah gadis yang kuat dan cerdas seperti mendiang ayahmu.' Zayn membatin. Sementara di tempat lain, Irene terus menatap kepergian Zayn. Dia terpaku di tempat dengan pikirannya yang mengembara jauh, berusaha mencerna setiap ucapan Zayn padanya, tadi. *** Zayn yang sejak tadi gelisah menunggu Irene di meja makan, begitu terkesima melihat kedatangan gadis itu. Cara berjalannya yang anggun bak angsa, tubuh semampainya terlihat indah dalam balutan mini dress warna maroon. Gaun sepanjang lutut tanpa lengan yang memamerkan bahu indah dan juga kaki jenjangnya. "Nah, ambil!" seru Hera seraya menyodorkan sapu tangan pada putranya. "Untuk apa? Aku bahkan belum makan," sahut Zayn. "Untuk menyeka mulutmu, Mommy perhatikan sejak tadi kau terpaku melihat kedatangan gadis itu. Air liurmu terus menetes dan jika dibiarkan, kemejamu bisa basah, nanti," goda Hera. Reflek Zayn mengusap bibirnya dengan punggung tangannya dan hal itu sontak membuat tawa Hera dan juga Vernon meledak memenuhi ruangan tersebut. "Momm ...." pekik Zayn. Dia sama sekali tak menyangka jika dirinya akan masuk ke dalam jebakan Ibunya. Dan lebih parahnya lagi, sang kakek juga ikut-ikutan mentertawakanya. "Ya, sudah ... sudah ... mari kita lanjutkan ini nanti saja Hera," ucap Vernon pada menantunya. "Sekarang sudah waktunya kita sarapan," imbuhnya. Hera mengangguk. "Kau harus makan yang banyak, Nak. Kemarin kamu tidak makan sama sekali bahkan menolak s**u yang aku buat untukmu." Hera terus mengembangkan senyum pada Irene. "Maaf, Nyonya," cicit Irene. Gadis itu terus menunduk, akibat dari kejadian kemarin yang dilakukan Irene hanyalah menangis dan menangis. Dia sampai tidak menyadari jika wanita yang dia ketahui sebagai ibu dari Zayn itu telah berbaik hati membuatkan s**u untuknya dan dia malah menolaknya. Zayn bisa mengerti jika saat ini Irene merasa sangat canggung. Dia bisa menangkap dari bahasa tubuh gadis itu yang terus saja meremas gaunnya sambil sesekali merubah posisi duduknya. "Ehm." Zayn berdehem. "Irene, aku belum memperkenalkan keluargaku padamu jadi sepertinya ini adalah saat yang tepat. Biar kukenalkan, yang duduk di sampingmu itu ibuku, Mommy Hera dan yang di sebelah Mommy adalah kakekku dari pihak ayah. Namanya Kakek Vernon," beritahu Zayn. Irene membungkuk hormat dengan senyum sedikit kaku. "Maafkan saya Nyonya, Tuan. Saya bersikap kekanak-kanakan kemarin," kata Irene. "Tidak perlu membahas masalah itu, Nak. Siapapun akan bereaksi sama sepertimu jika mengalami hal serupa." Hera meremas lembut jemari Irene. "Aku sama sekali tidak menyangka jika Maxim memiliki putri secantik dirimu," sela Vernon. Irene tersipu malu mendengar pujian dari kakek Zayn. "Anda berlebihan Tuan," sahut Irene merendah. "Tidak. Aku sungguh-sungguh mengatakannya, kau memang sangat cantik." sekali lagi Vernon memuji Irene. Perbincangan mereka pun berakhir. Suasana hangat yang sempat tercipta di sana berubah menjadi hening seketika, hanya bunyi denting sendok dan garpu yang saling beradu dengan piring, yang terdengar. Masih dalam suasana duka, selepas sarapan pagi, keluarga besar Zayn tengah duduk santai sembari menikmati secangkir teh di ruang tengah. "Baguslah kalau begitu, lebih cepat kalian menikah akan lebih baik," ujar Vernon begitu selesai mendengar penjelasan cucunya. "Mommy juga rasanya sudah tidak sabar melihat satu-satunya putra kesayangan Mommy naik ke pelaminan," sela Hera tak kalah hebohnya. Sementara ketiga orang itu tengah sibuk berbincang mengenai pernikahan, Irene terdiam. 'Seaneh inikah hidup? Hanya karena satu kejadian dan itu kemudian merubah semua rencana kehidupan yang telah aku susun dengan rapi. Menikahi seseorang yang bahkan aku belum mengenalnya dengan baik. Seorang CEO dengan kehidupannya yang sangat bertolakbelakang dengan kehidupanku, apakah mungkin aku bisa menjadi istri yang baik untuknya? Ayah ... sungguh aku masih belum mengerti kenapa Ayah menginginkan kami menikah sementara Ayah sendiri tahu tidak ada cinta diantara kami. Ada tembok perbedaan yang sangat tinggi yang memisahkan kami berdua yang jelas-jelas beda kasta, layaknya bumi dan langit. Wanita sepertiku tidak pantas bersanding dengannya, Yah.' keluh Irene dalam hati. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN