Clary terbangun dalam keadaan langit masih gelap. Clary bangkit terduduk dan merasa nyeri pada area kewanitaannya. Tubuhnya terasa pegal, seperti menahan beban di atas tubuhnya. Clary menyadari dirinya terbangun dalam keadaan tubuh polosnya hanya berbalut selimut. Gideon tidak berada di sampingnya, hal itu membuat Clary merasa lebih baik.
Clary tidak tahu bagaimana cara melihat pria itu setelah ini. Clary merasa dadanya sesak, rasanya sakit sekali. Wajahnya memanas, kepalanya sakit karena ingin menangis tapi tidak bisa. Ada apa dengan dirinya. Clary merasa muak dengan dirinya sendiri sekarang. Clary tidak mau berpapasan dengan Gideon pagi ini, ia memutuskan untuk pergi bekerja lebih awal. Clary berendam air hangat untuk menyegarkan tubuhnya yang terasa pegal-pegal. Clary melihat banyak sekali perlengkapan kecantikan di dalam sana. Ia melihatnya satu persatu dan merasa tidak asing dengan semua itu.
Semua ini sama seperti skincare yang biasanya dia pakai, dan penambahan yang lebih lengkap di bandingkan miliknya. Semuanya masih baru dan bersegel. Bagaimana bisa Gideon tahu skincare apa yang ia pakai. Juga bedak dan lipstik yang ia kenakan untuk merias wajah. Hal itu mengejutkannya. Sangat. Clary tidak memakai satupun produk tersebut, ia memilih untuk segera keluar dari sana karena pakainya tertinggal di luar. Clary memutuskan untuk memakai jubah mandi dan mengambil pakaiannya. Pakaian itu berserakan di bawah tempat tidur.
Clary memungut pakaiannya dan langsung memakainya. Terakhir ia memungut kemejanya. Sialnya, hanya tersisa 2 kancing paling atas, sisanya menghilang. Clary melihat baju itu dengan wajah kesal. Bagaimana ini. Tidak mungkin dia pergi hanya menggunakan jins dan pakaian dalam bukan. Tiba-tiba pintu terbuka. Spontan Clary melihat ke arah pintu dan menemukan Gideon berjalan masuk ke dalam kamarnya dengan kemeja merah dan celana bahan hitam. Pria itu sudah siap untuk pergi bekerja, sepagi ini.
Gideon menghampiri Clary yang sedang memakai kemejanya dan mengkancingkan dua kemeja atasnya. Gideon melirik ke arah kemejanya sebelum beralih menatapnya.
"Sudah ku duga, kau akan bersiap pagi-pagi sekali. Apa kau berniat memakai pakaian itu dan menunjukan pada semua orang jika kau habis bercinta denganku."
Clary hanya diam dan menatap ke arah lantai, seolah sosok pria yang di hadapannya tidak terlalu menarik untuk dilihat. Gideon mulai geram, Clary tak mengatakan apapun dan hanya diam membisu. Ia meraih pergelangan tangan Clary dan menariknya ke sebuah lorong di sisi kiri ruangan yang mengarah pada sebuah ruang pakaian. Setengah ruang ini di penuhi dengan lemari pakaian, setengah nya lagi di penuhi dengan tas, jam dan lemari yang di penuhi dengan sepatu. Clary mengedarkan pandangannya ke segala arah. Memerhatikan barang-barang itu dengan wajah tanpa ekspresi.
"Semua ini milikmu. Jangan sungkan untuk memakainya. Disiapkan dalam waktu semalam. Kau akan tinggal di sini, jadi semua ini, kamar ini adalah milikmu. Gantilah pakaianmu, lalu temui aku di ruang makan."
Clary rasa semua barang-barang ini juga milik wanita-wanita sebelum dirinya yang pernah tinggal di sini. Clary merasa geram, hal ini semakin menjatuhkan harga dirinya sebagai seorang wanita. Clary sadar tubuhnya sudah di beli oleh Gideon, tapi hanya tubuh bukan dengan sokongan kehidupannya bukan. Hal ini semakin membuatnya seolah-olah seperti wanita jalang yang hidup demi uang, dibeli pria kaya dan menjadi p*****r.
"Aku tidak butuh semua ini." Clary berbalik menatap Gideon yang menghentikan langkahnya lalu membalikan tubuhnya menghadap ke arah Clary, dengan tatapan yang membuat Clary mengambil satu langkah mundur. Kedua tangan Clary terkepal dengan erat, mencoba untuk menguatkan dirinya ketika berbicara dengan pria itu.
"Aku tahu aku kau sudah membeli tubuhku, untuk kau tiduri bukan berarti kau akan menyokong semua kebutuhan hidupku. Aku bisa menghidupi diriku sendiri tanpa harus menerima uangmu lagi."
"Jangan mencampuri urusanku, kita hanya partner tidur, bukan untuk hidup bersama. Kau bukan suamiku, atau calon suamiku, atau juga kekasihku. Aku hanya teman tidurmu, tidak lebih bukan. Jadi jangan lakukan ini. Aku tidak butuh semua ini."
Clary berjalan melewati Gideon untuk pergi dari sana, namun cekalan di lengan atasnya membuat langkahnya terhenti. Ketika Clary menatapnya wajah Gideon memerah, tatapannya begitu tajam. Clary tak peduli, ia membalas tatapan itu tak kalah tajamnya. Clary tidak takut padanya, ia sudah membayar dengan tubuhnya tadi malam, anggap saja beberapa persen utangnya sudah mulai terbayar.
"Jujur saja, aku tidak pernah memperlakukan wanita jalang yang ku tiduri selembut ini. Aku mencoba baik padamu, tapi penolakanmu menyinggung ku, aku melakukan apa yang aku mau. Bahkan jika dengan menyokong kehidupan wanita yang ku tiduri. Haruskah aku memperlakukan mu seperti mereka, jangan buat aku marah Clary. Ini peringatan. Kau tidak akan menyukainya aku jamin itu."
Gideon melepaskan cekalan di lengan Clary, menarik kemeja wanita itu dan merobeknya dengan mudah. Spontan Clary menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. Gideon melempar kemeja itu di lantai sebelum menatap Clary kembali.
"Aku bisa saja meniduri mu, tapi aku menghargaimu yang baru pertama kali melakukannya dan butuh waktu untuk pemulihan. Ganti bajumu, celana juga sepatumu dengan pakaian yang ada di sini. Jika kau keluar dari sini masih dengan celana dan sepatu itu... Clary percayalah kau tidak akan mau melihatku marah."
Gideon pergi keluar meninggalkan Clary yang berdiri dengan tubuh membeku. Ancaman Gideon, dan bagaimana ekspresinya ketika mengatakan semua itu cukup menakutkan.
***
Clary menurut untuk memakai pakaian yang berada di kamarnya, pilihannya jatuh pada blouse biru tosca dengan renda di d**a tanpa lengan, dan celana jins putih. Sepatu ini berukuran sama dengan kakinya, entah ini kebetulan atau ukuran kakinya sama seperti wanita sebelumnya yang bersama dengan Gideon.
Clary keluar dari dalam kamarnya dan menemukan Gideon tengah mengunyah sarapannya, mata yang menatap ke arah tablet yang berada di atas meja lantas beralih melirik nya. Wajah seriusnya berubah perlahan, senyum mengembang di wajahnya tat kalau melihat Clary yang menuruti apa yang ia inginkan. Wanita itu duduk di hadapannya, pakaian itu pas ditubuhnya.
"Makanlah."
Ada d**a ayam panggang, dengan telur dan sayuran yang di tumis. Clary makan dengan perlahan. Sebenarnya tidak begitu berselera, karena tatapan Gideon terus mengarah padanya. Seperti seorang ayah yang memperhatikan anaknya makan. Ini membuatnya sangat tak berselera. Diperhatikan semacam ini, Clary sangat tidak merasa nyaman. Clary berhenti di sendokan ke dua. Beralih menatap Gideon yang telah menyelesaikan sarapannya, masih menatapnya dengan tatapan yang begitu intes hingga membuat tubuh Clary bergidik ngeri.
"Kau belum menghabiskan makananmu."
"Aku sudah kenyang. Bisa kita pergi sekarang? Atau bisakah kau biarkan aku pergi bekerja sekarang."
"Kita akan berangkat bersama. Satu sendok lagi maka kita akan berangkat."
Yang benar saja. Dahi Clary mengerut menatap Gideon kesal. Clary menatapa Gideon dengan tatapan memohon, sedikit meminta pengertiannya untuk segera pergi dari sana. Tapi pria itu hanya menatapnya tanpa ekspresi apapun.
"Kumohon."ucap Clary akhirnya.
"Jangan buat ini lama Clary."Clary mulai tahu sifatnya, keras kepala, memerintah. Hal ini jadi sangat menyebalkan. Clary mengambil satu sendok lagi dan mengunyah nya dengan cepat. Gideon tersenyum miring sebelum bangkit berdiri dan mengambil jasnya yang berada di punggung kursi.
"Bukankah ini mudah, kau menurut dan semuanya akan cepat."
Clary berdiri mendekati Gideon yang kini berjalan bersamanya menuju keluar rumah. Clary meminta Gideon untuk menghentikan mobilnya cukup jauh dari kantor tetapi pria itu tak mendengar nya. Ia tetap memarkirkan mobilnya di depan kantor Clary. Clary mengedarkan pandangannya, memastikan tidak ada satupun karyawan yang mengenalinya ketika ia keluar dari sini. Clary merasakan tangannya digenggam seseorang, ketika ia berbalik untuk melihat ke arah Gideon pria itu menarik tengkuknya dan menempelkan bibirnya di bibir Clary.
"Sampai jumpa nanti sore. Aku akan menjemputmu di sini."ucapnya yang terdengar seperti memerintah. Clary buru-buru keluar dari mobilnya dan berjalan cepat memasuki pintu lobby. Ketika ia sampai depan pintu lift seseorang berdiri di sebelahnya.
Clary melirik nya dan menemukan Andrian di sana.
"Kau mengejutkan ku, ku kira siapa. Pakaianmu bagus. Kau baru pergi berbelanja?."ucapnya ketika melihat Clary.
"Andrian apa tidak salah? Kau datang pagi!."Tidak biasanya Andrian datang sepagi ini, tentu saja Clary heran melihatnya. Biasanya Andrian selalu datang 5 menit sebelum jam kantor di mulai.
"Aku selalu datang pagi sungguh. Tapi aku terlalu malas untuk menginjakan kaki tepat waktu, karena hal itu hanya membuat jam kerjaku semakin terasa lama,"Clary mendengus remeh mendengarnya. Pandangannya beralih pada angkat di atas pintu lift. "Kau baik-baik saja?."Clary tersenyum kecil lantas mengalihkan pandangannya ke arah lift yang baru saja terbuka.
"Eum." Sahutnya, masuk ke dalam pintu lift dan berdiri di paling belakang. Diikuti oleh Andrian yang berdiri di sisi kirinya.
"Nenekmu baik-baik saja? Ku dengar ada di rumah sakit, kakak ku bekerja di rumah sakit itu, dan dia melihatmu di sana."pertanyaan Andrian membuat hati Clary terenyuh. Wajahnya terbakar menahan tangis.
Clary mengalihkan tatapannya ke lantai lift sebelum kembali menatap angka yang menunjukan di lantai berapa mereka saat ini.
"Ya. Sudah lebih baik. Bagaimana dengan kencanmu minggu kemarin?."
Andrian memutar kedua bola matanya malas, Clary menatapnya dengan senyum geli di bibirnya. Dasar wanita itu. "Kau mengalihkan topik pembicaraan. Tapi ya... Selalu buruk, wanita itu memiliki bau mulut. Aku tidak tahan."
"Berkencan lah dengan wanita baik Andrian. Jangan terlalu sering bermain-main."
"Wow. Kau jadi terdengar seperti ibu ku sekarang."Clary terkekeh mendengarnya, pintu lift terbuka dan ruang lift menjadi lebih sesak. Andrian menarik Clary agar ke tempat yang lebih kosong di sisi kanan nya.
Melingkarkan bahunya di tubuh Clary seolah sedang melindungi nya. Clary sudah dekat dengan Andrian, Dion, dan Fredy. Mereka satu team dan begitu dekat sejak lama. Sudah seperti saudara. Clary menyayangi Andrian seperti adik laki-laki nya.
"Aku sudah menetapkan siapa yang akan aku lindungi seumur hidupku."
Clary terkekeh, ketika ia mengalihkan tatapannya ke arah Andrian, pria itu sedang menatapnya.
"Baguslah kalau begitu. Kau sudah dewasa. Senang mengetahuinya."
Pintu lift terbuka, Clary keluar dari dalam lift lebih dulu dan meninggalkan Andrian begitu saja. “Hei. Clary umurku sudah 27 tahun dan aku sudah dewasa."