BAB 10 - Agreement

1923 Kata
Clary membuka pintu ruang inap neneknya dan berjalan menghampiri Yura. Sentuhan lembut di bahunya membuat wanita itu terbangun dari tidur lelapnya. Clary menunjuk sofa panjang yang berada di sebelah kanan ranjang nenek. Dimana Yura bisa membaringkan tubuhnya di sana agar dapat tidur dengan nyaman. "Tidurlah di sana. Kau butuh tidur." "Kau juga membutuhkannya. Apa kau baik-baik saja?." Yura melihat raut wajah Clary yang begitu kacau. Kepalanya mengangguk perlahan. Ini berat baginya, bagaimana dengan Clary. Tentu saja lebih berat baginya. Clary tersenyum namun tidak dengan matanya. Yura mengenal Clary begitu lama dan dia tahu Clary sedang berbohong. "Aku akan mendengar apapun itu. Kau bisa ceritakan padaku." Clary menggelengkan kepalanya dengan gerakan lemah, bibirnya kembali tersenyum menatap Yura yang memandangnya khawatir. "Tidak apa-apa. Tidurlah. Sudah malam. Aku tahu kau kelelahan." "Bagaimana dengan nenek? Dokter bilang apa?." Clary terdiam untuk beberapa saat, mengalihkan wajahnya untuk menatap sang nenek sebelum akhirnya menatap Yura dengan senyum lebar di wajahnya. "Besok nenek akan dioperasi. Ada penyumbatan di pembuluh darahnya dan harus melakukan pemasangan ring. Semuanya akan baik-baik saja. Jangan khawatir." "Ah Clary." Yura berdiri dan memeluk tubuh Clary dengan erat, tangisannya pecah ketika memeluk tubuh Clary. Tubuhnya bergetar hebat di dalam isakannya yang tertahan di dalam bibirnya. Yura sangat takut, bahkan ia sendiri selalu menyalahkan dirinya atas ini. "Tidurlah. Aku akan mencari udara segar." Clary melepaskan pelukan Yura lalu berjalan pergi keluar dari ruang inap sang nenek. Tubuhnya terasa begitu lemas hingga akhirnya ia mengambil tempat di kursi ruang tunggu depan ruang inap sang nenek. Clary merasa pikirannya kacau, neneknya akan melakukan operasi tapi entah kenapa ia tidak merasa begitu bahagia. Apakah ini benar! Clary masih saja bertanya pada dirinya sendiri bahkan ketika ia sudah menyetujui hal tersebut. Neneknya pasti akan mengerti jika tahu ia menjual dirinya untuk mengobati penyakitnya. Clary bersandar pada kursi, hingga bagian kepalanya menyentuh dinding dan mulai memejamkan mata. Kepalanya masih berdenyut-denyut akibat air mata yang tak bisa keluar dari matanya. Rasa sedih, takut, amarah. Semuanya memenuhi isi kepalanya. Clary ingin tidur, tapi ia terlalu takut untuk memejamkan mata. Hingga rasa kantuk itu akhirnya menguasai dirinya. Clary terlelap karena rasa lelahnya kepalanya tetap di sana, bersandar pada dinding untuk beberapa menit hingga bergerak mencari sandaran yang lebih nyaman. Ketika kepalanya hampir terjatuh sebuah tangan dengan sigap menahan kepala Clary. Gideon mendudukan dirinya di sisi kiri wanita itu dan menarik kepala Clary agar bersandar di dalam dekapannya. Gideon dapat melihat dengan jelas wajah Clary yang begitu dekat dengannya. Untuk beberapa saat ia akan menikmati wajah itu, memandangi nya lebih lama. *** Clary terbangun, walau matanya masih terlalu berat untuk terbuka. Kepalanya lebih ringan di bandingkan ketika tadi malam sebelum ia terlelap. Clary sadar dimana posisinya, seseorang duduk di sampingnya dan ia bersandar di tubuh orang itu. Dengan perlahan Clary menjauh kan tubuhnya wajahnya mendongak dan mendapati Gideon tengah menatapnya. "Kau masih bisa tidur lebih lama, nenekmu akan dioperasi 2 jam lagi." "Aku sudah tidak bisa tidur lagi." "Kalau begitu ayo kita sarapan."Gideon bangkit berdiri dan mengenggam tangan Clary lalu menariknya untuk berjalan mengikutinya. Clary hanya diam, mengikuti Gideon yang menyeretnya menuju kantin rumah sakit. Clary duduk di hadapan Gideon dengan tubuh kaku. Rasanya aneh sekali ketika berhadapan dengan Gideon saat ini. Makanan sudah di pesan, baru kopi yang berada di atas meja mereka. Tak lama seorang sekertaris Gideon datang dan menaruh dua map putih di atas meja dan pergi untuk memberi mereka privasi. Clary terkejut, rasanya benar-benar seperti transaksi jual beli tubuh dimana kau akan menandatangi sebuah kertas dengan tubuhmu sebagai jaminan. Ini sangat memalukan. Clary tidak bisa duduk dengan nyaman, hatinya kembali merespon dengan penolakan besar, tapi kepalanya tidak bisa menolak itu. "Ini jadi terlihat seperti tindakan kriminal dimana kita bertransaksi untuk memperjual belikan tubuh." "Aku mengeluarkan uang ratusan juta won untuk memiliki tubuh itu, aku mau memperkuat nya dengan legalitas. Jika kau kabur aku bisa menuntutmu." "Apa kau pikir aku akan melanggar hal ini."ucap Clary merasa tersinggung, seolah ia bukan orang yang bertanggung jawab aas janjinya. "Tidak ada yang tahu isi pikiran seseorang. Bisa saja setelah ini kau menghilang dari Amerika." Clary mulai membaca isi perjanjian tersebut dan dahinya mengerut ketika melihat beberapa kalimat yang tercantum di dalam sana. Gideon terus memperhatikannya dengan intens, menunggu nya dengan sabar karena Gideon tahu Clary akan mengatakan sesuatu tentang isi dari perjanjian itu. Dia bukanlah wanita yang akan menerima apapun itu. "Apa maksudnya ini? Tinggal di rumahmu. Bagaimana dengan nenek, aku harus tinggal bersamanya."Clary menatap Gideon protes, hal itu membuat Gideon sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Clary. "Jika kau tinggal di rumahmu, aku harus memanggilmu setiap kali aku menginginkannya apa itu tidak lebih menjelaskan lagi. Kau jadi seperti.. " "Yang benar saja." Protes Clary, tak suka mendengar tentang itu. Walau kesannya ia sudah menjadi salah satu dari wanita itu. "Akan ada perawat, asisten rumah tangga yang menjaga nenekmu. Kau bisa mengunjunginya, tapi tidak tinggal dengannya saat kau sedang terikat denganku."jelas Gideon membuat Clary kembali mengalihkan pandangannya ke kertas tersebut. "1 tahun. Atau sampai kau bosan. Apa tidak terlalu lama 1 tahun." "Jika kau beruntung satu kali aku sudah bosan maka aku akan menghentikan ini, mungkin jika itu lebih lama maka 3 atau 4 bulan. Itu hanya jangka waktu yang tertulis kau tidak perlu merasa begitu takut." "Tentu saja wajar jika aku merasa takut. Kau bukan pengidap.." "Bukan.. Apa kau berharap begitu." Seringaian Gideon di sudut bibirnya, membuat Clary memutar kedua bola matanya malas. Ia menyesal sudah bertanya mengenai hal itu. "Aku butuh liburan, setidaknya satu kali dalam seminggu aku tinggal bersama dengan nenek." "Baiklah. Catat itu di bawah. Hanya satu kali." Clary selesai membaca semuanya dan dia menandatangani hal itu setelah menulis syarat untuk nya. "Kau tidak bertanya tentang benefit?." Clary menyodorkan dua map yang sudah dia tanda tangani itu ke arah Gideon. Menatapnya dengan tatapan sinis. "Aku tidak tertarik lebih dengan hal itu." "Ahh.. Dan dariku. Jangan berkencan dengan pria lain. Aku tidak suka tubuh milikku di sentuh oleh orang lain. Aku sangat posesif dengan hal itu Clary, jika kau tidak ingin membuatku marah maka hindari kontak apapun itu dengan teman priamu. Kau tahu betul jika aku bisa melakukan apapun, aku tidak ingin kau menyesal karena sengaja melakukannya."suara Gideon begitu rendah dan kelam. Ada ancaman di dalamnya dan peringatan keras untuk Clary. Wajahnya begitu serius hingga membuat tubuh Clary membatu. Gideon kembali menyandarkan tubuhnya di kursi lalu sudut bibirnya kembali terangkat. Dagunya menunjuk ke arah makanan yang baru saja pelayan taruh di atas meja mereka. "Makanlah." ***   Gideon menjemput Clary tepat jam 7 malam seperti janjinya sebelum Gideon pergi bekerja pagi ini. Clary menghela nafas gusar. Clary meminta Yura untuk pulang karena akan ada perawat yang menjaga neneknya. Yura ingin bertanya lebih jauh tapi ucapannya terputus ketika melihat ekspresi Clary. Wanita itu belum mau bicara juga. Yura mengalah, ia memilih untuk ergi danenunggu Clary untuk menjelaskan semuanya. Yura pergi 20 menit lebih awal sebelum Gideon datang dan berdiri di depan kamarnya. Mengetuk kaca hingga membuat Clary menoleh padanya. Clary merapikan selimut sang nenek, memberikan ciuman di pipinya sebelum pergi keluar ruangan untuk menemui Clary. Seorang perawat penjaga masuk ke dalam ruang inap sang nenek untuk menggantikannya. Dan serang pria bersetelan jas berdiri di depan ruang inap sang nenek. "Dua orang? Kau mau lebih?." Clary menggelengkan kepalanya. Tidak akan ada yang ingin menculik neneknya, sikap Gideon cukup berlebihan. Tapi Clary merasa begitu aman jika seperti ini. "Ayo pulang. Aku harus menyentuh tubuh yang sudah ku beli." Clary hanya diam mengikuti Gideon yang berjalan lebih dulu darinya. Namun langkah Gideon tiba-tiba terhenti, ia menoleh pada Clary lalu menarik wanita itu agar berjalan lebih dekat dengannya. Clary berjalan tepat di samping Gideon, langkahnya kaku dan terkesan gugup. Malam ini sesuatu akan terjadi, hal yang membuat Clary gelisah. *** Gideon membawa Clary ke rumahnya. Rumah yang pernah ia kunjungi ketika kakinya terluka. Resepsionis itu tersenyum lebar menatapnya dengan mata yang cerah. Clary menjadi canggung. Ia hanya diam ketika Gideon menariknya masuk, membawanya ke dalam rumah miliknya. Gideon membawa Clary menuju kamar yang sama ketika ia pertama kali ke sini. Lampunya padam, jendela tertutup hordeng putih yang mengantarkannya pada pemandangan kota. Clary terpaku menatap pemandangan yang mengintip di balik hordeng yang tertutup. Rasanya menyenangkan melihat pemandangan sebagus ini dari sini, tapi ketenangan itu sirna. Tiba-tiba pemandangannya digantikan oleh Gideon yang berdiri di hadapannya. Tatapannya begitu intens hingga membuat jantung Clary berdegup dengan kerasnya. Gideon berdiri begitu dekat dengannya, mengikis jarak di antara mereka. Mengurung Clary dengan tatapan nya yang tajam. Tatapannya seolah menguliti Clary begitu dalam hingga membuat tubuhnya membeku. Kedua tangan Gideon terangkat, menyentuh sisi pinggangnya dengan ujung jari-jemarinya. Clary menahan diri untuk tidak menghindar atau menyingkirkan tangan-tangan itu yang dengan tidak senonoh menyentuhnya. Tapi Clary sadar Gideon telah membeli tubuhnya untuk perawatan neneknya. "Kau milikku."suara bariton berat itu mengalun di telinganya hingga membuat bulu kuduk Clary meremang. Jantungnya berdesir ketika Gideon mengusap pinggangnya dengan lembut. Gerakan tangannya begitu sensual naik dan turun di sepanjang sisi tubuhnya hingga membuat Clary menahan nafas. Sebelah tangannya menyentuh pipi Clary dan mengusapnya. Ibu jarinya berhenti di bibir Clary, matanya menggelap seketika, hasrat untuk segera menyentuh tubuh Clary menggerogotinya. "Sudah lama aku tidak menyentuh bibir ini."nada suaranya begitu rendah, serak dan terdengar begitu maskulin di indra pendengaran Clary, hingga membuat tubuhnya membeku. Ketika Gideon ingin mendekatinya sebelah tangan Clary menahan dadanya. Gideon tersenyum, menangkap kegugupan yang melanda Clary dengan senyum lucu. "Bercinta dengan ku tak perlu setakut itu. Kau akan menyukainya nanti. Kau hanya harus mengikuti apa yang aku lakukan." Clary hanya diam, tidak tahu harus menjawab apa. Apa itu terdengar lebih baik, entah kenapa tidak ada yang menjadi lebih baik, ketika ia masuk ke dalam rumah ini masa depannya telah berakhir. Gideon merengkuh pinggangnya, menarik tengkuknya dan menempelkan bibirnya di bibir ranum milik Clary yang begitu di dambakan nya. Ciuman itu tidak lembut, tapi begitu menuntut dan begitu dalam hingga membuat Clary terkejut ketika menerimanya. Clary pernah berpacaran, satu kali dan tak pernah lagi melakukannya setelah hubungan itu. Hubungan yang membuatnya semakin tak mempercayai cinta. Gideon meraup bibirnya memberikan lumatan-lumatan pada setiap sudut bibirnya. Menyedot kuat hingga memberikan gigitan kecil yang membuat Clary tak sengaja mengerang ketika merasakan sengatan itu pada bibirnya. Clary pernah menerima ini, yang ia pikir mimpi buruknya, tapi ciuman ini lebih menuntut, lebih dalam dan sensual di bandingan waktu itu. Clary memejamkan matanya, mencoba mengikuti apa yang Gideon lakukan di bibirnya. Gideon mengerang, lidahnya memasuki rongga mulut Clary, menyapu seluruh sisi dengan lidahnya. Gideon merasakan hasrat itu menguasai dirinya, matanya berkabut penuh gairah yang berdesir di sepanjang aliran darahnya. Sedotan bibir Clary di bibir bawahnya membuat Gideon merasa panas di tubuhnya, gairah nya membakar seluruh tubuhnya hingga membuatnya menggila. Gideon menekan bibir Clary, menyedot dan melumatnya. Kepalanya bergerak maju seolah bibir mereka belum menempel dengan eratnya saja. Bayangan-bayangan tentang ciuman yang ingin ia lakukan pada wanita itu kini dapat dilakukannya. Begitu sensual hingga membuat kepala Clary terasa pening. Clary merasakan jantungnya berdebar keras, tubuhnya berdesir kuat ketika merasakan tangan Gideon membelai sepanjang tubuhnya. Kedua tangan Clary berada di bahu Gideon, mencengkram nya dengan kuat sebagai pegangan. Clary merasa tubuhnya akan segera roboh karena ciuman-ciuman intens Gideon yang membakar seluruh tubuhnya. Kakinya terasa lemas seperti jelly. Sebelah tangan Gideon menyusuri kakinya lalu mengangkat tubuh Clary menuju ke atas tempat tidur. Gideon melepaskan kemeja nya dengan cepat sebelum kembali mencium bibir Clary. Matanya berkabut penuh gairah. Bibirnya beralih mencium tengkuk wanita itu dan menyusuri sepanjang rahangnya hingga menyentuh telinganya. Clary merasakan sensasi basah, dingin di sepanjang lehernya. Tubuhnya merinding merasakan sentuhan bibir Gideon di telinganya. Kedua kaki Clary menegang, jari-jemari kakinya mengerut, menekan kuat spring bed. Nafasnya memburu, tubuhya bergetar hebat di bawah sentuhan tangan Gideon yang melingkupi nya. "Kau milikku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN