Bak Langit dan Bumi

2333 Kata
"Ayo, kita tidur di atas," ajak Cedric kepada Valerie kemudian. "Boleh memangnya?" "Tidak boleh kenapa?? Saya yang ajak. Kenapa malah tidak boleh?" Valerie tertegun. Lagi-lagi bosnya ini ingin membuatnya besar kelapa. Kenapa menyebalkan sekali sih? Kalau tidak ada niatan, kenapa tidak menjaga jarak saja. Kalau terlalu baik begini, ia jadi mengharapkan hal yang lain. Ah tapi sudahlah. Jangan terlalu dianggap serius. Ikuti saja maunya. Toh memang dia adalah bosnya di sini. "Ya udah deh, Pak," ucap Valerie sembari naik ke lantai atas. Valerie naik ke atas tempat tidur dan masuk ke dalam selimut. Begitu juga dengan Cedric. Keduanya merebahkan tubuh dalam posisi telentang dan menatap ke langit-langit kamar. Hembusan napas yang panjang dari mulut Valerie dapat Cedric dengar dan membuatnya sampai menoleh. "Kenapa??" tanya Cedric. "Tidak, Pak. Cuma... Rasa seperti suami istri jadinya, kalau tidur bersama begini. Eh tapi... Aku cuma asal bicara lho, Pak. Jangan dianggap serius." Cedric tersenyum tipis dan menatap ke depan lagi. "Begitu ya?? Jadi begini rasanya kalau sudah menikah?" Kini giliran Cedric yang menghela napas sampai Valerie menatapnya. "Kenapa, Pak?" "Tidak apa-apa." "Jangan bayangkan menikah dengan saya ya, Pak," celetuk Valerie dan kembali membuat Cedric menoleh serta tersenyum. "Tidak dibayangkan pun sudah pernah dirasakan langsung bukan??" ucap Cedric yang seketika membuat Valerie mengerjap-ngerjapkan matanya. Jadi ingat, mereka memang sudah bak suami istri, karena bukan hanya pernah tidur bersama, namun juga melakukan hal lainnya, yang biasa dilakukan oleh sepasang suami-istri. "Sepertinya menyenangkan juga, kalau benar terjadi," ucap Cedric kembali. Valerie tersenyum tipis. "Tapi nggak mungkin terjadi juga deh, Pak. Kita itu bak langit dan bumi. Saya bumi, bapak langitnya. Mau digapai juga terlalu tinggi," ucap Valerie sambil mengacungkan tangan kanannya, dengan gerakan menggapai. "Kenapa ke sana?? Saya kan di sini," ucap Cedric sambil mengambil uluran tangan Valerie dan menurunkan tangannya. Valerie berpaling wajah dan menatap Cedric, yang kini berada lebih dekat dengannya. Tangannya masih digenggam oleh Cedric, tidak dilepaskan dan malah dibumbui dengan sebuah tatapan mata yang tanpa berkedip. "S-saya mengantuk, Pak!" seru Valerie sambil berpaling wajah serta tubuhnya juga. Ia membelakangi Cedric yang hanya dapat melihat punggung Valerie saja. Lelaki yang menyebalkan. Tidak menyukai. Tapi suka sekali membuatnya jadi besar kepala begini. Sudahlah, jangan pedulikan. Tidur saja. Ya tidur. Jangan mengajaknya berbicara lagi, atau ia akan kembali mengudara dan lupa untuk memijakkan kakinya di bumi. Setelah liburan singkat, yang Valerie lalui bersama sang atasan. Rutinitas kembali berjalan seperti biasa. Namun, ada satu rutinitas tambahan, yang diluar perkiraan Valerie. Yaitu, sang atasan yang suka sekali datang ke tempatnya sepulang dari bekerja. Entah hanya untuk mampir, ataupun menginap seperti waktu itu. Tidak ada yang terjadi. Hanya sebatas menghabiskan waktu bersama saja, dengan mengobrol dan juga makan bersama seperti sekarang ini. "Pak? Yakin mau menginap?" tanya Valerie di hadapan lelaki, yang sibuk menyuap snack kentang ke dalam mulutnya dan duduk di sofa rumah Valerie. "Iya. Kenapa memangnya??" sahut Cedric yang terkesan acuh tak acuh. "Tidak enak dengan tetangga, Pak," keluh Valerie. "Kenapa harus memikirkan tetangga? Dan lagi, aku lihat-lihat komplek ini sepi. Jarang ada orang di siang hari. Apalagi, orang yang bergosip." "Hah... Ya iya, tapi tetap aja nggak enak." Cedric meletakkan camilan ke atas meja dan memanggil Valerie ke sisinya. "Ke sini sebentar," pinta Cedric. Valerie yang tadinya berdiri saja sambil mengapit kedua tangan di dadanya itupun mendekat kepada Cedric dan duduk di sisinya. Cedric, mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah dompet yang ia buka dibagian tempat yang ada resletingnya dan kemudian benda, yang merupakan benda penting bagi Valerie. "Ini milikmu. Peninggalan dari mendiang nenek kamu bukan??" ucap Cedric sambil memberikan kalung yang sempat Valerie berikan untuk jaminan. "Sudah waktunya gajian ya, Pak??" tanya Valerie dengan mulut yang setengah menganga. Cedric tersenyum. "Belum. Tapi aku rasa, sudah tidak perlu lagi jaminan. Kita bertemu setiap hari dan hampir setiap waktu. Jadi, aku tidak lagi membutuhkan jaminan. Ini, ayo ambillah," perintah Cedric dengan tangan yang diulurkan ke hadapan Valerie. Valerie ambil apa yang menjadi miliknya dan tersenyum sambil memperhatikan kalung tersebut. "Ini kalung pasangan. Nenek punya satu. Kakek juga, cuma berbeda di talinya, karena yang punya nenek diganti dengan emas putih," tutur Valerie sambil memakai kalung tersebut. "Oh ya?? Lantas, kenapa hanya ada satu? Kemana yang satunya lagi? Apa masih ada di kakek? Tapi kamu tidak pernah ceritakan tentang kakekmu." "Kakek sudah meninggal juga. Kalung pasangannya, ada di keluarga kakek. Di anak cucunya yang sekarang." "Ha? Maksudnya??" "Kakek dan nenek. Mereka pernah menikah dan berpisah. Karena keluarga kakek tidak setuju dengan nenek. Kakek malah dijodohkan dengan wanita pilihan keluarganya dan nenek, sampai akhir hayatnya tidak pernah menikah lagi dan terus simpan kalung ini," ucap Valerie sambil memandangi liontin berbentuk setengah lingkaran, dengan ukiran inisial nama di belakangnya. "Berarti, nenek kamu begitu mencintai kakekmu." Valerie mengangguk pelan. "Iya. Sangat. Tapi sayang, mereka tidak ditakdirkan untuk bersama. Sampai akhir pun tidak pernah bertemu lagi." Cedric tertegun sambil kembali menatap Valerie yang nampak tersenyum sesekali. Tapi kita mengerjap dan malah menghentikan pandangannya kepada Valerie tadi. "Mau berjalan-jalan di luar??" tanya Cedric. "Hm? Jalan-jalan kemana?" tanya Valerie. "Kemana saja. Rasanya, aku mulai bosan di rumah terus." "Sebentar, aku ganti baju dulu." Valerie pergi untuk berganti pakaian dan kembali datang, tidak lama setelahnya. "Ayo," ajak Valerie saat sudah kembali. Cedric bangkit dari sofa dan berjalan bersama dengan Valerie. Keduanya pun masuk ke dalam mobil milik Cedric dan pergi ke suatu tempat dengan sebuah acara festival makanan yang sedang diselenggarakan. Ramai. Baru juga sampai. Tapi setidaknya, ia bisa sedikit menghibur diri, di tengah keramaian dan bersama orang, yang tiba-tiba saja menarik tangannya dan membawanya ke sebuah stand makanan. "Pak, ayo ke sana!" seru Valerie sambil menggandeng tangan Cedric. Bukan untuk mencari kesempatan. Hanya saja agar cepat dan juga tidak hilang, karena padatnya pengunjung yang datang, yang digandeng pun pasrah saja dan ikut kemanapun Valerie membawanya. "Yang ini enak, Pak. Mau coba??" tanya Valerie sambil mengacungkan sate di tangannya. Bukannya meraih apa yang Valerie berikan. Cedric malah langsung memakan dari uluran tangan Valerie. "Iya lumayan. Tapi aku kurang begitu suka. Masih lebih enak masakan kamu. Ini, untuk kamu saja," ucap Cedric, yang kini mengambil dan memasukkan ke dalam mulut Valerie yang menganga makanannya tadi. Cedric berjalan ke sana kemari. Mencari hal apa yang aneh dan mungkin ia inginkan. Namun, ia langsung berbalik ketika ingat dengan orang yang dibawanya dan sekarang sudah tidak berada dimana-mana. "Dia kemana??" ucap Cedric sambil berjalan ke sana kemari, untuk mencari keberadaan Valerie. Tidak ketemu juga. Pengunjung yang terlalu padat, membuat Cedric kehilangan jejak. Ia pergi keluar dari kerumunan dan berusaha menghubungi Valerie. Tapi yang dihubungi, kini terlihat di luar dan sedang berjongkok di sebuah tempat aksesoris. "Kamu sedang apa di sini??" tanya Cedric sambil ikut berjongkok. "Lihat ini, Pak. Lucu-lucu deh," ucap Valerie sambil menunjuk gantungan kunci. Dasar wanita. Memang tidak tahan, bila melihat aksesoris dengan bentuk yang unik serta menggemaskan. "Iya bagus. Beli saja." Si penjual datang dan melihat Valerie yang sedang memilih dan ikut memilihkan juga. "Yang ini, Mbak. Ini juga bagus," ucapnya. "Iya ya, lucu yang ini," ucap Valerie mengiyakan. "Atau mau yang ini? Kalung pasangan," ucap si penjual lagi sambil menunjukkan kotak dengan sepasang kalung bertali hitam dan juga, dengan liontin yang berbentuk persegi panjang kecil. Valerie tersenyum dan menggeleng. "Tidak punya pasangan." "Mas yang ini?" ucap si penjual sambil menunjuk Cedric. "Oh bukan. Kita bukan...," "Berapa harganya??" tanya Cedric saat Valerie belum sempat selesai bicara. "Murah, Mas. Cuma dua ratus ribu. Tapi awet dan anti karat." "Ya sudah. Saya beli ini," ucap Cedric sambil mengeluarkan sejumlah uang. "Dan yang itu juga ya? Coba mana, kamu mau beli yang mana, biar sekalian aku bayar." "Oh sebentar. Em, aku mau yang ini aja deh," ucap Valerie sambil mengambil gantungan kunci berbentuk kucing. "Dengan itu jadi dua ratus lima puluh," ucap si penjual dan langsung Cedric bayar semua. Valerie melihat benda yang berada di tangan Cedric, dengan perasaan yang gundah. Pasti, ia beli untuk kekasihnya. Meskipun pernah mengatakan tidak punya pasangan. Tapi tidak tahu dengan sekarang kan. Ya Meski selama ini, ia merasa Cedric hanya banyak menghabiskan waktu bersama dengannya saja. Tapi mana tahu juga. "Kita mau kemana lagi??" tanya Cedric pada Valerie yang memandangi benda di genggaman tangan Cedric. "Em, pulang aja gimana, Pak? Rasanya, saya agak kurang enak badan." "Oh ya sudah ayo." Valerie dan Cedric kembali ke kediaman Valerie. Mereka naik langsung ke lantai atas karena Valerie yang ingin mandi. Begitu juga dengan Cedric. Valerie mandi lebih dulu. Kemudian baru giliran Cedric. Pakaian pun Valerie siapkan. Karena sudah cukup seringnya menginap, pakaian milik Cedric cukup banyak juga di sini dan semua itu, ia tumpuk di atas tempat tidur, setelah itu Valerie pun pergi ke dapur. Sudah memakan camilan di festival makanan. Valerie tetap memasak juga. Bukan karena masih lapar. Tapi karena Cedric mengatakan, makanan buatannya lebih enak. Ia jadi bertambah semangat dalam memasak. Makanan sudah disajikan di atas meja. Valerie menunggu kedatangan Cedric, baru kemudian mereka makan bersama. Malam harinya. Di dalam kamar dan di atas tempat tidur. Valerie dan Cedric tidur bersebelahan. Valerie baru akan memejamkan matanya. Tapi Cedric malah mengatakan hal yang membuat kelopak matanya terbuka lagi. "Ini, ambil satu," ucap Cedric dengan tangan terulur. Valerie bangkit dan melihat apa yang Cedric berikan untuknya. Sepasang kalung tadi, yang kini sudah berada di hadapannya. Valerie mengernyit keheranan. Ia menatap Cedric dulu, sebelum mengambil apa yang membuatnya kaget sekaligus bingung. "I-ini untuk saya, Pak??" tanya Valerie tidak percaya. "Iya. Ambillah. Tidak apa-apa, untuk kamu satu dan aku satu," ucap Cedric dengan enteng. Untuk Cedric enteng tetapi baginya malah jadi sebuah tanda tanya besar. Kenapa diberi kalung pasangan, kalau mereka saja bukan pasangan?? Cedric menghela napas, karena Valerie hanya diam membisu saja. Akhirnya, Cedric pun berinsiatif untuk memakaikan kalung tersebut secara langsung, kepada orang yang masih terlihat bingung itu. Kalung sudah melingkar di leher Valerie. Sekarang, Cedric pun menggunakan di lehernya juga. "Sudah. Kalau mau dibuka nanti tidak apa-apa. Yang penting di simpan. Ya sudah, ayo tidur. Ini sudah malam," ucap Cedric yang merebahkan tubuh dan menyelimuti tubuhnya sendiri. Valerie masih belum juga bergerak dari posisinya. Ia berdiam diri, dalam waktu yang lumayan lama juga. Masih mencoba untuk menegaskan, bila ia tidak sedang bermimpi tentunya. "Pak?? Kita?? Kalungnya??" ucap Valerie pada Cedric yang sedang meringkuk sambil membelakangi dirinya. Valerie pikir Cedric sudah terlelap. Jadi, ia rebahkan saja tubuhnya di sisi Cedric, sambil sesekali melirik orang yang bukannya bertanggung jawab, atas rasa bingungnya sekarang. Tapi malah meninggalkannya tidur. Esok harinya. Saat tengah sarapan. Valerie menatap Cedric sambil memilin-milin liontin pada kalung yang sama, yang juga Cedric kenakan sekarang. Ucapan yang sudah berada di dalam kepala dan ujung lidahnya dari semalam, akhirnya bisa ia ungkapkan juga sekarang. "Pak, kalungnya... Ini bukannya kalung pasangan ya?" "Iya. Kenapa memangnya? Apa kamu tidak suka?" tanya Cedric. "Suka sih, Pak. Tapi, bukannya ini buat pasangan ya?? Memangnya, kita pasangan??" tanya Valerie to the point. "Menurut kamu??" tanya balik Cedric. "Ya bukan! Tapi anehnya, kenapa kita pakai ini?? Apa sekarang, kita jadi pasangan?? Atau bagaimana??" cecar Valerie gemas, karena sudah dekat sampai sejauh ini, sampai diberi kalung yang sama juga. Namun tidak jelas bagaimana hubungan mereka. "Ya jalani saja," ucap Cedric yang membuat Valerie semakin menggila. Ia menyentuh kedua bahu Cedric dan mengguncangkannya dengan kencang. "Apanya yang dijalani, Pak!!?? Kita pacaran atau bagaimana ini!!?" seru Valerie yang semakin darah tinggi. "Ya pokoknya jalani saja. Kalau kamu memang suka. Ya sudah." Valerie membuka mulutnya, ia sudah ingin sekali protes lagi. Karena Cedric mengatakan hal yang menurutnya masih belum jelas. Akan tetapi, mulutnya yang sedang menganga itu malah diraup menggunakan bibir oleh Cedric sampai Valerie melepaskan cengkraman di bahu Cedric. Valerie lemas dan Cedric, malah asyik menyantap sarapan paginya. "Ayo cepat. Nanti kita terlambat ke kantor," ucap Cedric. Valerie tidak lagi mengatakan apa-apa, setelah mulutnya dibungkam dengan cara tadi. Senang. Sampai rasanya ia tidak tahu, harus bagaimana mengekspresikan rasa senangnya itu. Setelah pagi yang cukup mengejutkan untuk Valerie. Di depan mejanya sudah ada tumpukan berkas. Bukannya segera diantar ke ruangan Cedric. Ia malah sibuk sendiri dan memulas bibirnya berkali-kali. Lipstik terbaru yang baru ia coba juga. Apa ia cocok dengan warna ini? Pertanyaan itu, sudah ia simpan untuk orang yang berada di dalam ruangan, dengan raut wajah yang frustasi campur bingung. Di dalam ruangan Cedric. "Come on, Mom. Apa harus sekarang??? Masih ada kakak kan?? Kenapa harus Cedric sih??" keluhnya melalui sambungan telepon seluler di genggaman tangannya. "Kakak kamu belum ingin. Lagipula, mereka menginginkan kamu." Suara wanita dari dalam ponsel Cedric dan itu adalah suara sang ibu. "Kamu tidak perlu khawatir. Kami sudah mempersiapkan segala sesuatunya di sini. Kamu hanya perlu datang saja. Mommy tunggu. Jangan sampai tidak ya?" Telepon dimatikan. Cedric langsung mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Sudah dihindari, tapi masih juga dikejar begini. Ketukan pintu terdengar dan Cedric menyahut dengan cukup lantang. "Iya, masuk!" Ternyata Valerie yang sambil tersenyum lebar. Ia tutup pintu ruangan dan letakkan berkas di atas meja, kemudian datang ke sisi Cedric. "Coba lihat! Aku pakai apa!?? Ini lipstik dengan warna peach. Aku suka warnanya, apa kamu juga suka??" Cedric bergeming dengan ekspresi wajah yang datar dan memandangi Valerie saja. "Kenapa kamu cuma diam?? Jelek ya? Kalau jelek, aku hapus deh." Cedric bangkit dan mendekati Valerie, lalu mengecup bibirnya dengan lembut. "Aku suka. Aku menyukainya." Kedua pipi Valerie merona bak kepiting rebus. Dua respon yang diluar dugaan. Tapi ia sangat suka dengan hal itu. "Bagaimana kalau hari ini, kita pergi berkencan??" "Boleh," balas Valerie sambil tersipu malu dan juga tersenyum. "Dan juga besok, aku harus pergi untuk beberapa hari," ucap Cedric lagi, yang membuat Valerie berhenti tersenyum. "Pergi kemana?? Apa ada acara? Perasaan, tidak ada di jadwal," tanya Valerie sambil mencoba mengecek kembali rentetan jadwal Cedric untuk besok dan seterusnya, melalui notebook yang ia bawa-bawa. "Em, ini acara keluarga. Acara mendadak." Valerie berhenti menatap notebook di tangannya dan terlihat lemas sendiri. "Oh begitu ya? Berapa lama??" "Belum tahu. Yang pasti, tidak akan sampai satu minggu." Valerie terdiam sendiri. Baru juga merasa senang, tapi sudah akan ditinggalkan begini. "Sudah. Sana lanjut kerja lagi. Nanti sore kita mau pergi kan?" ucap Cedric. "Iya," ucap Valerie sambil menghela napas dan keluar dari dalam ruangan Cedric. Cedric tertegun sejenak. Sebelum akhirnya memijat ruang diantara kedua matanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN