Kata orang, jadikan pengalaman sebagai pelajaran agar kau tak melakukan kesalahan yang sama di masa mendatang. Kau tak perlu menyesali apa yang sudah terjadi, cukup terima semuanya, dan berusaha ikhlas menjalani hari-harimu di masa ini. Dengan begitu, kau akan bisa menemukan kebahagiaan untuk hatimu sendiri. Bahagia ataupun tidak, yang mementukan adalah dirimu sendiri. Oleh karena itu, kau yang bisa melepaskan apa yang membuatmu bersedih.
Seseorang tak boleh selamanya hidup di dalam masa lalu, meski semua itu menyenangkan. Kau tak boleh terbuai oleh ilusi yang diciptakan oleh setiap kenangan yang pernah kau ukir di hari-hari yang telah terlewati. Kau tak mungkin bisa berharap bila semuanya akan baik-baik saja, bila kau tak memberanikan diri untuk melangkah maju. Tak perlu melupakan semua yang pernah terjadi di masa lalu, sesekali kau boleh menoleh ke belakang untuk sekadar mengintip dan menjadikan semua yang terjadi sebagai pengingat bila kau berhak bahagia.
Kini, ketiganya sudah sampai di sanggar tempat di mana mereka semua tinggal untuk menghabiskan masa liburan sekolah. Delia kecil segera masuk ke dalam ruang latihan setelah berpamitan pada kedua orang dewasa yang sedari tadi menemaninya menghabiskan waktu. Setelah melihat Delia melanjutkan latihannya, Andrew mengambil semua bawaan yang tadinya berada di dalam genggaman Delia dan berjalan ke dapur. Dirinya bahkan mengabaikan penolakan Delia untuk dibawakan barang bawaannya dan berjalan lebih dulu.
“Aku bisa membawa semuanya sendiri, Drew. Apa kamu pikir, aku begitu lemah?” Ucap Delia kesal begitu dirinya sudah berhasil mensejajarkan langkahnya dengan Andrew. Tanpa menoleh ke arah wanita di sisinya, pria itu tergelak melihat Delia yang kembali memasang ancang-ancang untuk berperang dengannya. Entah mengapa wanita itu sangat sensitive.
“Kamu lagi datang bulan ya?” Andrew melirik sekilas ke arah Delia, “Sensitive banget jadi orang. Dibantuin dikit, langsung menganggap kalau aku mengira kamu wanita yang lemah. Denger orang ngomong yang lucu-lucu aja bisa buat kamu kesel sama aku,” Lanjut Andrew seraya menghela napas gusar. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu memasang wajah sedih yang membuat Delia mendengkus kesal. Wanita itu malah tak bisa merasa iba dengan kesedihan palsu yang Andrew pertunjukkan. Delia sangat mengenal pria itu lebih dari ia mengenal dirinya.
“Lucu-lucu apanya? Jelas-jelas kamu selalu meledekku,” Wanita itu menghela napas gusar, “Aku sangat mengenalmu, Drew. Jadi jangan berlagak seperti orang baik-baik,” Wanita itu menghentikan langkahnya, menatap Andrew dari ujung kepala hingga ujung kaki, “Kamu memang begitu suka menggangguku dan mengejekku. Kekanak-kanakkan,” Lanjut Delia dengan geram, sedangkan Andrew hanya tersenyum manis seraya menatap wajah Delia lekat-lekat. Tatapan pria itu melembut, membuat Delia yang tadinya marah mulai kebingungan. Ia tak mampu mengartikan tatapan yang diberikan pria itu untuknya. Mengapa pria itu menatapnya dengan begitu lembut? Bukankah seharusnya pria itu bersikap jahil dan terus mengejeknya?
“Aku nggak sedang bercanda, Drew,” Ucap wanita itu sesaat setelah mendapatkan kesadarannya kembali, “Aku benar-benar kesal dengan sikap kekanak-kanakanmu yang nggak bisa diubah dan selalu berhasil membuatku kesal. Jangan pikir kalau kamu menatapku begitu polos, maka aku bisa tersentuh dan nggak lagi merasa marah denganmu.”
Andrew kembali tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku nggak berusaha membuatmu kesal lagi. Aku hanya merasa kalau wajahmu sangat menggemaskan saat ini,” Pria itu menatap wajah Delia lekat-lekat, “Mungkin aku yang baru memperhatikan semuanya tentangmu dan baru sadar bila kamu terlihat begitu cantik,” Lanjut Andrew dengan tulus, sementara Delia terkesiap. Wanita itu membeku di tempatnya saat mendengarkan perkataan Andrew. Tanpa sadar, wanita itu menahan napas selama beberapa detik. Jantungnya pun terhenti beberapa saat, lalu berdebar tak menentu, mengingatkan Delia bila jantungnya itu hanya bisa berdegub untuk Andrew seorang. Tak ada seorang pun yang mampu membuatnya merasa seperti sekarang. Anehnya, perasaannya itu tak pernah berubah sedikit pun. Tak perduli seberapa kuat ia menyangkal rasa yang memenuhi sanubari itu, ia tak bisa lari dari kenyataan bila cinta yang dimilikinya untuk pria itu masih begitu kuat. Masih tetap sama indahnya.
“Makasih banyak, Dee,” Senyuman tulus pria itu lagi-lagi membuat hati Delia bergejolak. Getaran-getaran asing menjalar perlahan dan menguasai sanubarinya. Ia tak mampu mencegah hatinya yang selalu mampu bergetar karena perbuatan maupun perkataan pria itu. Delia tak tahu, bila manusia, mampu membagi sebagian hatinya dan diberikan pada orang lain begitu mereka jatuh cinta. Hal bodo0h yang pada akhirnya membuat seseorang tak lagi merasa lengkap karena kepergian orang itu dari hidupnya. Siapa sangka cinta yang dirasakannya bisa sekuat ini?
“Berterima kasih untuk apa?” Delia menaikkan sebelah alisnya. Pria di hadapannya itu lagi-lagi menunjukkan senyum terbaiknya untuk Delia, “Aku nggak merasa melakukan sesuatu untukmu. Harusnya, aku yang mengucapkan terima kasih,” Wanita itu mengukir senyum indah di wajahnya, “Terima kasih karena kamu menjagaku yang sedang sakit, hingga aku bisa sembuh dengan cepat. Terima kasih untuk semuanya. Aku sangat senang menghabiskan waktu bersamamu dan juga Delia,” Lanjut wanita itu seraya menatap wajah pria itu lekat-lekat.
“Kamu salah, Dee,” Pria itu mengulurkan tangannya ke arah wajah Delia dan mengusap lembut wajah wanita di hadapannya itu, “Aku yang seharusnya berterima kasih padamu,” Pria itu tersenyum lembut, “Terima kasih karena kamu memberikan pengalaman baru bagi putriku. Sebuah pengalaman yang nggak bisa ku berikan padanya. Terima kasih karena kamu mau menjadi ibunya walau untuk sesaat,” Lanjut Andrew dengan lirih. Mata pria itu berkaca-kaca, membuat Delia terperanjat melihat tatapan bahagia dan juga sedih yang pria itu tunjukkan.
Tatapan pria itu menunjukkan seberapa besar cintanya untuk anak-anaknya, membuat pria itu terlihat banyak berubah. Meski ada beberapa sifat yang tak bisa dibuang, akan tetapi Delia dapat melihat bila pria itu sudah bertumbuh menjadi seorang ayah yang baik untuk anak-anaknya. Pria itu terlihat mampu melakukan apa pun untuk anak-anak yang dicintainya.
“Delia beruntung mempunya ayah sepertimu,” Delia menggenggam tangan Andrew yang berada di pipinya dengan erat, “Nggak perlu berterima kasih karena aku senang melakukannya. Sebaiknya kita harus segera ke dapur dan meletakkan semua barang belanjaan ini sebelum beberapa bahan menjadi busuk,” Lanjut Delia berusaha mencairkan suasana di antara mereka. Pria itu mengangguk setuju, lalu keduanya kembali melanjutkan langkah yang sempat terhenti.
Beberapa menit kemudian, keduanya telah selesai menyusun semua bahan yang mereka beli ke dalam kulkas. Setelah itu mereka melihat Delia kecil yang tengah berlatih dan memberikan semangat bagi gadis kecil itu. Delia tampak begitu bahagia saat menari, tubuhnya terlihat begitu lemas, dan membuat dua orang dewasa yang memperhatikannya itu terpesona.
“Aku masih nggak menyangka bila Delia itu anakmu,” Ujar Delia kepada Andrew yang duduk di sisinya, “Sifatnya begitu berbeda darimu. Seharusnya, dia bisa menjadi ibumu daripada anakmu karena dia bisa jauh lebih dewasa darimu,” Delia tersenyum mengejek.
Andrew tergelak seraya mengangguk setuju. “Aku juga heran dari mana dia mendapatkan sifat seperti itu,” Mata Andrew masih betah menatap putrinya yang terlihat menawan, “Sebenarnya, aku begitu banyak bergantung padanya dan mencari sedikit kekuatan bagi hatiku yang sedih karena kehilangan darinya. Dia kekuatanku,” Lanjut Andrew tersenyum lembut.
“Tampaknya, setiap manusia memang memiliki kesusahannya masing-masing, tapi selalu ingatlah kalau kamu memiliki anugerah yang begitu indah di dalam hidupmu. Kamu nggak berada di tempat yang gelap dan kamu kuat bukan karena bergantung pada anak-anakmu, tetapi kamu kuat untuk mereka,” Delia memberikan senyum terbaiknya untuk Andrew, “Di dunia ini, kita harus melangkah maju dengan berani dan juga kuat. Relakan segalanya dan ukir kebahagiaan bersama dengan anak-anaku,” Lanjut wanita itu lembut.
Andrew menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. “Tampaknya, kamu juga sudah berjalan jauh ke depan. Kalau boleh jujur, semua perubahanmu ini membuatku sedikit ketakutan,” Pria itu mengarahkan pandangannya pada Delia dan menatap kedua netra wanita itu dalam-dalam, “Kamu terlihat sudah berjalan begitu jauh dan aku takut tertinggal,” Lanjut pria itu dengan lirih, membuat Delia terpaku sesaat. Sedetik kemudian, senyum Delia mengembang. Bukan senyum bahagia, namun senyum lirih yang begitu c**k dengan suasana hatinya. Entah mengapa, kata tertinggal itu membuat Delia mengingat akan dirinya sendiri. Sejujurnya, dirinya merasakan hal yang sama. Kehidupan Andrew yang begitu berubah membuatnya tertinggal. Tak peduli seberapa sering mereka saling mengejar ketertinggalan, Delia merasa tak mampu menyamai langkahnya dengan prai itu. Tampaknya, tak ada yang menyukai perubahan.
“Jangan takut, Drew. Kamu akan selalu bisa meninggal semua ketertinggalan di antara kita karena kamu pasti tahu benar, bila aku akan selalu berhenti dan menunggumu. Aku akan selalu akan selalu berada di sisimu, mensejajarkan langkah, dan berjalan beriringan denganmu.”
Pria itu tersenyum dan menggenggam tangan Delia erat-erat. “Makasih banyak, Dee. Tampaknya, ini memang saatnya bagi kita melangkah maju ke depan. Kali ini, aku nggak akan berjalan cepat dan membuatmu tertinggal. Kali ini, biarkan aku melakukan hal yang selama ini kamu lakukan untukku. Ini adalah kesempatan yang diberikan Tuhan untuk memberitahuku bila aku memang orang jahat yang membuatmu selalu terluka. Terima kasih untuk semuanya, Dee.”