Ada Alasan dari Setiap Kejadian

2130 Kata
Apakah kau pernah merasa bila tak peduli seberapa kencang kau berlari, kau tak pernah bisa mencapai tempat tujuanmu. Kau seolah berlari di putaran yang sama. Membawamu kembali ke titik awal, tempat di mana kau memulai semuanya. Kau terdiam sesaat, lalu melihat ke belakang, lalu kau mulai sadar bila semua orang sudah jauh berlari meninggalkanmu meski yang kau lakukan adalah berlari di tempat. Kau berteriak, meminta mereka menunggu. Namun sayang, tak ada seorang pun yang mau menunggu karena kau sudah tertinggal begitu jauh. “Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat,” Ujar Andrew lagi setelah mereka saling menghening beberapa saat setelah pembicaraan terakhir mereka, “Delia juga sedang sibuk sekali, jadi akan lebih baik kalau kita keluar sebentar dari sini,” Lanjut Andrew dengan tatapan memelas, Delia tertawa kecil dan menggeleng-geleng. Sejujurnya, setelah semua pembicaraan santai mereka, Delia merasa takut akan perasaannya sendiri yang tak bisa ia cegah. Takut semakin tenggelam dalam perasaan yang tak seharusnya ada di antara mereka. “Kamu mau membawaku ke mana? Sebentar lagi aku dan Delia harus mulai memasak. Lagipula, dari pada membawaku ke sana ke mari, lebih baik kamu menghubungi anakmu yang satu lagi,” Delia tersenyum, “Dia pasti merindukanmu dan seharusnya kamu nggak meninggalkannya sendiri. Lagipula, ini adalah libur sekolah dan seharusnya kamu membawanya ikut bersamamu. Hitung-hitung, liburan keluarga,” Lanjut Delia seraya tersenyum lembut. “Gilbert itu sangat mandiri. Kami juga bertemu dalam keadaan yang nggak pernah diduga. Dia adalah kehamilan yang Christie sembunyikan dariku. Christie bahkan mengatakan pada Gilbert, bila Finza, kembaranku adalah ayahnya dan karena itu Gilbert lebih dekat dengan Finza,” Andrew tersenyum tipis, “Aku mengatakan ini bukan karena aku cemburu atau marah pada Christie. Wajar bila Christie menyembunyikan kehadiran Gilbert dariku. Mengingat betapa kejamnya aku dulu. Aku nggak bisa mengubah masa lalu dan sekarang Gilbert lebih memilih diajak berlibur dengan Finza dan juga keluarganya,” Lanjut Andrew seraya menarik napas panjang dan menghelanya perlahan, “Sebenarnya, aku orang yang sangat beruntung. Meski aku nggak mengurus Gilbert sejak bayi, dia sudah mulai mengerti keadaan dan menerimaku sebagai papanya. Finza dan istrinya juga memperlakukan anak-anakkku dengan baik.” Andrew tersenyum lembut pada Delia yang menatapnya sedih. “Nggak perlu bersedih karena aku belajar banyak dari kesalahanku dan berusaha untuk menjadi ayah terbaik untuk mereka. Aku ingin menebus kesalahanku pada Gilbert dan aku beruntung karena diberikan kesempatan itu. Tapi tetap saja, dia akan selalu memilih Finza dari pada aku,” Andrew memasang wajah merajuk, berusaha mencairkan suasana di antara mereka. “Baiklah, aku akan ikut ke mana pun kamu mau membawaku,” Ujar Delia pada akhirnya. Ia tahu bila kehidupan Andrew tak selancar apa yang ia pikirkan. Tak ada seorang pun yang tak memiliki masalah di dalam hidupnya dan Delia salah bila berpikir pria itu memiliki kehidupan tanpa masalah. Pada dasarnya, Andrew sama sepertinya. Membangun semuanya dari awal, berdamai dengan semua konsekuensi atas kesalahannya di masa lalu. Mencoba untuk bangkit dan berjalan ke depan dengan berani. Mereka sama-sama menjalani proses untuk tiba di saat ini. “Ah … kenapa sekarang, kamu begitu suka dirayu dulu sebelum menyetujui permintaanku,” Andrew berdecak sebal, sedang Delia terbahak mendengarkan perkataan pria itu. “Ya udah kalau nggak mau. Lagipula, sebentar lagi, aku dan anakmu harus segera memasak untuk membungkammu,” Delia memutar kedua bola matanya dengan jengah, “Aku nggak punya waktu banyak, jadi jangan sok jual mahal atau aku benar-benar nggak mau diajak pergi bersamamu. Aku sangat-sangat sibuk,” Lanjut Delia sembari menatap pria itu tajam. Andrew tergelak dan menggeleng. “Kamu bahkan sangat sensitive seperti perempuan. Tampaknya, aku benar-benar harus berusaha menyesuaikan diri dengan sikapmu ini,” Pria itu menggenggam tangan Delia yang berada di pangkuan wanita itu dan tersenyum manis, “Aku nggak akan membuatmu lelah. Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu. Rasanya, beberapa hari saja nggak cukup untuk mengejar semua ketertinggalan kita. Apa lagi, sekarang aku sedang berlibur dan kebetulan kamu juga membantu di sini. Kita sama-sama punya waktu dan kesempatan, jadi aku nggak mau mensia-siakan semua ini,” Lanjut pria itu seraya berdiri dan meminta Delia melakukan hal yang sama. Wanita itu menurut dan mengangguk. Benar apa yang Andrew katakan. Mungkin saja, di masa depan nanti, mereka tak lagi bisa bertemu karena kehidupan masing-masing. Mungkin juga, mereka akan mulai saling menghindar karena telah sadar bila hubungan di antara mereka tak mungkin lagi bisa kembali seperti semula. “Aku akan berlari pulang kalau kamu mengajakku naik bukit atau ke tempat yang akan menguras tenaga,” Wanita itu berkata dengan penuh pengancaman yang membuat Andrew tergelak, lalu menggeleng, meyakinkan wanita itu bila dirinya tak ‘kan membawa Delia untuk pergi ke tempat yang akan membuat tubuhnya lelah. Lagipula, wanita itu baru saja sembuh. Tak mungkin Andrew akan membuat wanita itu lelah dan kembali jatuh sakit. Delia ingin sesaat saja terjebak dalam dunia ilusi yang ada di antara mereka. Anggap saja, dirinya tengah terjebak di dalam dunia dongeng yang akan segera berakhir begitu cerita yang mereka tulis bersama, menemukan kata tamat. Sebuah awal yang pastinya menuntut akhir. Sampai saat itu tiba, Delia ingin menikmati menikmati kebahagiaan di antara mereka. Andrew mengajak Delia untuk berpamintan dengan putrinya. Delia juga menyampaikan pada gadis itu kecil itu untuk menemuinya di dapur saat jam enam sore nanti sebelum pergi meninggalkan gadis kecil yang melambaikan tangannya seraya tersenyum manis pada keduanya. Delia dan Andrew berjalan beriringan. Mereka berjalan dalam keheningan, keduanya tampak tengah menikmati pemandangan dan juga udara yang terasa sejuk dibandingkan kota Jakarta. “Jadi, kamu sudah bertunangan?” Andrew memecahkan keheningan di antara mereka. Delia tersenyum dan mengangguk, sedang diam-diam Andrew tersenyum tipis, “Jadi, kapan kalian akan menikah?” Lanjut pria itu yang kini mengarahkan pandangannya pada Delia dan memberikan senyum terbaiknya untuk wanita itu, meski ada rasa sesak yang menyelimuti dadanya. Pria itu tak menunjukkan rasa itu pada Delia. Rasa yang memang seharusnya tak ada di dalam hatinya. Ia tak ingin bersikap egois hanya karena Delia adalah sahabat terbaiknya. “Kami akan segera menikah setelah aku membantu temanku mengurus kelas liburan ini dan juga memperbaiki restoran mamaku,” Delia mengarahkan pandangannya pada Andrew dan tersenyum manis, “Rasanya, seperti mimpi,” Delia kembali mengarahkan pandangannya ke depan mereka, “Umurku sudah tua dan aku pikir kalau aku akan berakhir menjadi perawan tua, namun Tuhan masih menyayangiku. Dia mempertemukanku dengan seorang yang begitu mencintaiku dan menerima segala kekuranganku. Seorang yang telah memberikanku banyak cinta. Seorang yang berusaha mewujudkan mimpi-mimpiku di usia yang sebentar lagi akan menginjak angka empat puluh,” Delia tersenyum ke depan saat mengingat pria luar biasa itu. “Jika dipikir-pikir siapa yang mau menikah dengan wanita tua berusia tiga puluh lima tahun, sementara dia bisa mencari wanita yang lebih muda dan cantik di luar sana,” Delia melanjutkan ceritanya, “Dia bagaikan hadiah yang kirimkan Tuhan untukku. Kini, aku sadar kenapa kamu bisa jatuh begitu dalam pada Christie,” Wanita itu kembali mengarahkan pandangannya pada Andrew dan tersenyum manis, “Rasanya, kita nggak mungkin bisa melepaskan jeratan cinta seseorang yang membuat kita merasa begitu hidup. Seseorang yang membuat hidup kita sangat berarti,” Lanjut wanita itu dengan senyum tipis. Kemudian wanita itu kembali mengarahkan pandangannya ke depan. Keheningan kembali menjebak perjalanan santai mereka. Udara sejuk tak mampu menembus hati Andrew yang entah mengapa terasa panas. “Apa kamu juga mencintainya?” Pertanyaan Andrew itu membuat Delia menghentikan langkahnya, membuat Andrew melakukan hal yang sama. Delia menatap ke depan, tak ingin membiarkan Andrew melihat kesedihan yang menguasai sanubarinya. Delia memaksakan senyum di wajahnya, lalu mengarahkan pandangannya pada Andrew yang menatapnya dengan tatapan meneliti, berusaha membaca apa yang ada di dalam hati wanita itu. “Ya, aku mencintainya,” Jawab Delia dengan penuh keyakinan dan senyum indah yang menghiasi wajah cantiknya. Andrew terkesiap dengan jawaban Delia, namun dengan cepat ia mengukir senyum di wajahnya. Delia kembali melanjutkan langkahnya dan Andrew mengikutinya. Keduanya berjalan bersisian dengan sunyi yang kembali menjebak. Keduanya seolah sibuk menentramkan kekacauan yang terjadi di hati mereka masing-masing. “Jangan lupa undang aku kalau kalian menikah nanti dan aku harap, kamu memperkenalkannya padaku sebelum kalian menikah nanti,” Andrew mencairkan keheningan di antara mereka. Delia tersenyum tipis. Sesungguhnya, Andrew sudah mengenal siapa tunangannya, akan tetapi Delia tak ingin memberitahu pria itu akan identitas calon suaminya. Dirinya malah tak ingin berbicara banyak tentang pernikahan yang kini terlihat tak benar. Pernikahan yang entah mengapa kini terasa sebagai sebuah pelarian semata. “Kalian pasti akan segera bertemu,” Delia melirik sekilas ke arah Andrew dan memberikan senyum terbaiknya, senyum wanita itu menular pada Andrew. Pria itu mengangguk, lalu keduanya melanjutkan perjalanan itu. Keduanya sesekali menatap dan tersenyum. Andrew yang tak ingin membuat hatinya semakin terluka, berusaha mengalihkan pembicaraan dengan menceritakan kisah masa lalu mereka. Saat-saat yang dipenuhi dengan tawa. Kenakalan dan juga semua kekonyolan yang mampu membuat tawa menghiasi kebersamaan mereka. Sesaat kemudian, kecanggungan tak ada lagi di antara mereka. Setelah beberapa menit, keduanya tiba di sebuah rumah dengan perkarangan yang begitu luas. Di sana, terdapat pohon besar dengan dua buah ayunan di bawahnya. Andrew segera menarik tangan Delia dan mengajak wanita itu duduk di ayunan tersebut. “Ini rumah orang, nanti kita dimarahin kalau main tanpa izin,” Wanita itu terlihat khawatir seraya melemparkan pandangan ke sekeliling mereka, berusaha mencari keberadaan pemilik rumah tersebut. Ia tak ingin bila mereka dimarahi dan diusir dengan kasar. Andrew tergelak dan memaksa Delia untuk duduk di ayunan, sementara dirinya mengambil tempat di belakang punggung wanita itu dan mendorong wanita itu. “Nggak usah takut, Dee. Aku sudah memastikan kalau tempat ini kosong. Tampaknya, pemiliki villa ini nggak ada di tempat. Mungkin, memang nggak tinggal di sini,” Andrew menjelaskan sembari mendorong pelan ayunan yang ditempati oleh Delia. “Aku nggak mau kalau kita diteriakin maling dan dikejer-kejer pemiliknya seperti saat kita mencuri mangga dulu,” Wanita itu berkata dengan cemas, sedang Andrew tergelak pelan, “Aku sudah tua dan nggak yakin bisa memanjat pagar dan berlari dengan cepat. Kan nggak lucu kalau aku ketangkep, lalu di bawa ke balai desa untuk dihukum,” Lanjut wanita itu sembari memutar kedua bola matanya dengan malas. Lagi-lagi Andrew terbahakn mendengar perkataan Delia. “Kamu bener-bener udah nggak asyik sekarang, Dee,” Pria itu tersenyum tipis, “Berhenti mengatai dirimu sendiri tua. Di mataku, kamu masih sama seperti dulu. Bahkan lebih cantik dan aku yakin banyak pria yang tergila-gila padamu,” Lanjut Andrew dengan terus mendorong ayunan yang ditempati Delia, sementara wanita itu mengulum sebuah senyum tipis di wajahnya. Cantik? Delia mengubah keseluruhan penampilannya bukan untuk menarik perhatian pria lain. Dirinya berusaha berubah menjadi orang yang berbeda dengan harapan, penampilan yang berubah itu turut mengubah perasaan yang menguasai setiap relung hatinya. Namun siapa sangka, hanya penampilan luarnya saja yang berubah, sementara hatinya tetap sama seperti dulu. “Aku pikir, kamu mau membawaku ke mana. Ternyata, hanya untuk bermain ayunan seperti ini,” Delia berusaha mengalihkan pembicaraan mereka. Ia tak ingin mulutnya menjadi lancang dan menceritakan alasan perubahan total penampilannya yang sekarang. Andrew tergelak. “Sudah ku bilang kalau aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu. Hanya bersamamu, aku dapat merasa setenang ini,” Pria itu memutari setengah ayunan dan duduk di ayunan yang berada di samping Delia. Kini, kaki keduanya yang membuat ayunan itu bergerak pelan. Keduanya saling bertukar senyum dan tampak begitu bahagia. “Menurutmu, bila saat itu, kamu nggak bertemu kembali dengan Christie. Akankah kamu menepati janjimu untuk menikahiku bila nggak ada seorang pun yang mau menikah denganku?” Delia mengarahkan pandangannya pada Andrew dan menatap wajah pria itu lekat-lekat. Andrew terkesiap dengan pertanyaan yang Delia layangkan. Ia pikir, wanita itu sudah melupakan segalanya. Semua janji konyol dan perkataan tak masuk akal yang pernah ada di masa lalu. Andrew memberikan senyum terbaiknya dan mengangguk. “Tentu saja. Aku akan menikahimu karena saat itu kamu adalah itik buruk rupa. Aku kasihan pada pria yang akan menjadi suamimu nanti yang mungkin saja akan berselingkuh karena merasa istrinya nggak cukup cantik. Jangan salah paham, aku nggak berusaha menyelamatkanmu, tapi pria itu.” Delia tertawa garing dan memukul pelan lengan kekar pria di sisinya. Ia melemparkan pandangan ke depannya dan menatap kosong ke hadapan. “Sebenarnya, aku mau menjadi egois dan menagih janji itu. Rasanya, nggak adil melihatmu bahagia, sedangkan aku harus mengambil resiko untuk menjadi seorang perawan tua yang menyedihkan. Aku nggak suka kucing ataupun anjing9, jadi aku membayangkan kalau kehidupan masa tuaku pasti sangat menyedihkan dan kesepian,” Delia menoleh ke samping dan mengulum senyum, “Tapi, syukurlah aku bisa mengalahkan egoku dan nggak melalukan hal bodoh itu hanya karena takut sendirian. Jika saat itu, aku mengikuti kegilaanku, maka kamu nggak mungkin memiliki dua anak yang begitu menggemaskan dan aku nggak akan bertemu dengan pria yang mencintaiku dengan tulus,” Delia menarik napas panjang dan menghelanya perlahan, “Tampaknya, semua yang terjadi pada kita memang sudah menjadi suratan takdir. Tuhan telah memberikan apa yang terbaik untuk kita. Tuhan nggak memberikan apa yang kita inginkan karena sebuah alasan dan inilah alasannya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN