Cinta Itu Luka
Apakah kau adalah definisi dari kegilaanku?
Beberapa kisah cinta berakhir bahagia, namun sebagian lagi harus melepaskan hati mereka karenanya. Jika sepasang manusia memang tak ditakdirkan bersama, lalu mengapa dipertemukan? Wanita itu sudah lama menyimpan perasaan, hingga pintar berbohong. Namun sayang, sekuat apa pun menyangkal, pada akhirnya hati bisa merasa lelah. Jika saja mudah membunuh hati sendiri, mungkin tak 'kan ada orang yang patah hati.
Delia pikir, hatinya sudah baik-baik saja. Ia sudah melangkah jauh ke depan, akan tetapi kenyataan tak semudah itu. Ternyata, dirinya masih berdiri di tempat yang sama. Tanpa ia sadari, terbuai dan mati perlahan. Dirinya tak mampu pergi, walau hatinya terus memaksanya untuk pergi dari masa lalu yang menyakitkan. Tak seharusnya, ia mendamba cinta yang tak mungkin lagi bisa ia dapatkan. Semuanya sudah berakhir dan harusnya cintanya pun telah habis.
Ia menatap sendu punggung lelaki yang kian menjauh. Ada Kerinduan yang tak bisa dibendung, namun tidak mungkin diungkapkan. Dulu, betapa mudahnya ia berdiri di sisi lelaki itu, tertawa bersama, tak memikirkan apa pun, dan mereka seakan pemilik dunia. Tapi sayang, kini tak ada lagi kisah mereka di dalam hidup lelaki itu. Mereka bukan lagi penguasa. Mungkin, kedewasaan dan rasa sakit mengubah semuanya. Sudah seharusnya semua berubah, hanya dirinya yang bodoh dan tak mampu pergi, meski hatinya telah hancur lebur.
Seharusnya, semuanya mudah bagi Delia jika ia tak memiliki rasa untuk lelaki itu. Ia bisa saja berlagak santai layaknya sahabat, memeluk lelaki itu, bertanya kabar, dan tenggelam dalam perbincangan aneh yang kerap membuat mereka menggila. Ya, andai ia dapat menghapus cinta.
Delia membeku dan matanya melebar saat melihat lelaki itu menghentikan langkah. Jantungnya berdebar liar, menggila, dan menyesakkan d**a. Ingin Delia membalik tubuh, namun kakinya mendadak berat. Sedetik kemudian, lelaki itu menoleh ke arahnya. Delia dapat melihat kebahagiaan di mata lelaki itu saat menemukannya masih berdiri di tempat yang sama. Lelaki itu membisikkan sesuatu pada kedua anaknya, lalu berlari ke arahnya, memeluk erat tubuhnya. Dalam sekejap, seluruh tubuh Delia lemah, jantungnya semakin tidak tenang.
“Aku merindukanmu, Dee,” bisik lelaki itu.
Delia menggigit kuat bibir bawah. Perkataan lelaki itu seakan mantra yang mampu menghancurkan segala pertahanannya. Sakit, namun indah secara bersamaan.
Aku, kamu, dan kita, seakan tidak pernah berubah, seperti tak ada jarak memisahkan. Walau sesungguhnya hati tersiksa hanya karena sebuah pertemuan. Jika bisa mengulang waktu, ingin Delia menyimpan cerita mereka, menghentikan sangkala di saat tawa menghiasi hari-hari, dan berharap selama tinggal di masa lalu. Namun sayang, waktu terlalu pelit untuk menunjukkan belas kasihnya. Ia akan terus berjalan, tanpa peduli apakah kita sudah siap untuk melangkah maju ataukah tidak? Ia tak mau menunggu, meninggalkanmu yang tak pernah siap begitu saja.
Andrew melepaskan pelukan dan kebahagiaan masih terlukis jelas pada wajahnya. “Apa kamu beneran terburu-buru?” pria itu menatap Delia meneliti. Rasanya membuncah dan tak rela untuk berpisah dengan sahabat lama yang lama menghilang dari hidupnya. Siapa sangka, takdir berbaik hati dengan mempertemukan mereka di pusat permainan seperti saat ini. Mungkin, ini adalah hadiah dari Tuhan untuk ulang tahunnya yang ketiga puluh tahun, hadiah terindah melebihi barang-barang mewah yang dapat dibeli dengan uangnya.
Di sisi lain. Sejujurnya, Delia masih ada waktu luang selama satu jam sebelum lelaki itu menjemputnya, namun hati Delia tak sanggup. Reuni berarti berbagi cerita yang selama ini ingin ia hindari. Ia tak sanggup menikam jantungnya berulang kali, mengorbankan cinta cukup sulit baginya, dan ia hanya ingin menjaga hatinya sendiri. Ia tak ingin kembali menipu hati dan juga bersandiwara seolah-olah dirinya tak terluka dengan pertemuan yang menyayat hatinya itu.
“Maaf …” Delia berujar lirih, “Mungkin, lain kali?”
Andrew tak mampu menyembunyikan kekecewaannya, namun ia tak ingin membuat sahabat lamanya itu merasa terpaksa dan terbebani dengan rindunya. Pria itu mengukir senyum pada wajah tampannya, lalu mengulurkan tangannya pada Delia. “Mana hape-mu?”
“Hah?” wanita itu menautkan kedua alis dan tak mengerti dengan apa yang diinginkan pria di hadapannya itu. Mengapa pria itu meminta gawainya?
Andrew yang mengerti dengan kebingungan Delia segera berkata. “Minjem bentar.”
Mau tak mau Delia mengeluarkan benda pipih itu dari tas tangan dan mengulurkannya pada Andrew, sedang pria itu segera menerima ponsel Delia. Dulu, mereka biasa berbagi informasi di ponsel dan dengan mudah meminjam ponsel satu sama lain, namun kini semuanya terasa berbeda. Aneh, perih di hati membuatnya menjaga jarak, seakan mereka sepasang asing. Padahal, banyak cerita yang mereka lalui bersama. Tak seharusnya ia berlagak asing.
“Mau buat apa?” wanita itu tak mampu menyimpan rasa penasarannya lebih lama lagi.
“Misscall ke nomerku,” ucap Andrew tersenyum manis. Pria itu memainkan jemarinya pada ponsel Delia, lalu tersenyum begitu ponsel di saku celananya bergetar, menandakan panggilan dari ponsel Delia sudah masuk ke nomernya.
Delia menggeleng-geleng. “Masih pake cara yang sama untuk dapetin nomer telpon cewek? Cara itu udah kuno dan nggak akan mempan dilakukan lagi di zaman sekarang.”
Andrew tergelak dan mengembalikan ponsel Delia begitu menyimpan nomer wanita itu ke dalam kontaknya. “Aku nggak mau kehilanganmu lagi, Dee.”
Jantung Delia berhenti berdetak dalam hitungan detik, lalu pedih menjalar ke penjuru hatinya. Apakah dia merasakan kehilangan yang sama?
“Nggak ada lagi yang bisa ku-bully setelah kepergianmu.”
Delia kecewa, ia merasa bodoh karena sempat berharap lebih dari arti sebuah kerinduan. Ia lupa, jika bagi pria itu, Delia adalah sahabat yang tak mungkin tergantikan. Hanya sebatas sahabat tempat di mana kau bisa menggila sepenuh hati. Tentu saja, hanya dirinya yang tersiksa dengan perasaan rindu yang mencengkam. Dari awal, hanya dirinyalah yang mendamba, tak pernah diungkap, dan hanya mampu mencintai dalam diam. Cinta yang perlahan membuatnya begitu tersiksa. Andai pria itu tahu apa yang terjadi pada hatinya.
“Aku nggak mau jadi korban lagi,” ucap Delia sembari tertawa, mencoba menutupi perih yang menyiksa bathin. Perihnya bukan untuk dibagi oleh pria itu. Sakitnya adalah rahasia yang tak boleh dibagi. Hanya dirinya yang boleh mengetahui perasaan yang membunuh itu.
Andrew menggenggam erat bahu Delia dan menatap intens wanita itu. “Jangan pergi lagi, Dee. Aku nggak bisa tanpamu.” dipeluknya erat tubuh wanita itu. Bukan bahagia, namun sakit yang merasuki hati Delia. Mengapa cinta bisa sengeri ini?
Delia membalas pelukan Andrew dan berbisik pelan. “Aku sudah kembali, Drew. Aku nggak akan pergi lagi.” Air mata mengalir tanpa bisa ia hentikan, sakit di bathin menyesakkan d**a, dan sayangnya ia tak bisa membagi rasa itu pada siapapun. Ia hanya bisa menelan semua sakitnya sendiri, menikmati pedih seorang diri, dan terjebak di dalamnya hingga ia lupa rasa lain, selain pedih. Hatinya tak mampu merasakan banyaknya rasa karena pria itu.
Andrew melepaskan pelukan mereka, dengan cepat Delia mengusap air matanya. “Kok, nangis?” Andrew meneliti wajah wanita cantik itu.
Delia tersenyum dan menggeleng. “Debu, Drew.”
Andrew mengangguk-angguk. “Aku harus kembali ke anak-anak. Aku akan menghubungimu, Dee. Aku akan membuatmu sangat sibuk mulai dari sekarang.”
Delia tersenyum untuk yang kesekian kalinya dan mengangguk pelan. “Ya.”
Mereka kembali berpisah. Tembok yang selama ini Delia bangun, hancur dalam seketika hanya karena pertemuan singkat mereka. Hati yang selama ini hampa, dipenuhi sakit, dan Delia tak ingin mengulang kembali kisah masa lalu itu. Cinta adalah luka yang tak bisa kau hindari.