Untuk berlari dari masa lalu dan juga perasaan bukanlah hal yang mudah. Kau pikir, kau bisa mengabaikan segalanya dan melanjutkan hidup dengan bahagia. Namun sayang, pemikiranmu salah karena kau akan diingatkan oleh setiap kenangan bila masa lalumu begitu indah untuk dilupakan. Meski ada luka dan pedih di masa lalu, semua itu tak mampukan kebahagiaan yang kau dapatkan di hari-hari yang membuatmu lebih banyak tertawa, daripada menangis. Hari yang kau harap bisa kau ulang, lagi dan lagi.
Delia terbangun dan menatap langit-langit kamarnya. Semalam, semuanya bagai mimpi indah yang kini telah berakhir. Mereka berdua menikmati udara sejuk sembari bercerita santai. Berbagi kabar dan mengejar segala ketertinggalan mereka selama ini. Mereka pun tak kuasa menahan diri untuk bercerita tentang masa lalu dan masa-masa kejayaan mereka dulu, seolah semua hal itu baru saja terjadi kemarin. Delia semakin banyak tertawa saat bersama dengan Andrew, tak seperti saat bersama dengan Zac, tunangannya. Dirinya tak pernah lagi tertawa dari dalam hati. Semua hanya sekadar keharusan dan tak bisa bersikap tulus. Dirinya berubah menjadi seorang yang begitu dibencinya, orang yang penuh kepura-puraan.
Pertemuannya kembali dengan Andrew, tak hanya membuatnya sadar dan juga mengerti hatinya, akan tetapi membangunkan rasa yang dirinya pikir telah habis tak bersisa. Pria itu tak hanya membuatnya merasa kembali hidup, akan tetapi membuat dirinya semakin terbuai dengan segala rasa yang tak bisa ia bunuh. Semua hal itu terasa begitu salah, akan tetapi Delia tak mampu mencegah dirinya untuk terus terbuai dalam perasaan yang salah itu.
Delia menggeleng, mencoba mengenyahkan segala pemikirannya barusan. Tak seharusnya, ia mulai membandingkan kedua pria itu. Ia kembali mengingatkan dirinya sendiri, bila Andrew hanya lah masa lalu yang telah berlalu, sedangkan Zac adalah masa depannya. Semua ini hanya perasaan semu yang tercipta karena kerinduan yang selama ini menguasai sanubarinya. Ya, hanya perasaan sesaat yang membuatnya bingung. Rasa itu membingungkan karena terasa indah. Terlalu indah untuk diwujudkan menjadi nyata. Rasa yang mungkin saja tercipta karena dirinya selama ini merasa kehilangan Andrew. Kerinduan dan kehilangan yang mulai membuat hatinya mendamba dan akhirnya salah mengartikan rasa. Ya, semua itu adalah kepalsuan.
Delia tersenyum tipis, lalu mengangguk. Ya, ia harus mengendalikan dirinya dan tak boleh terbuai kembali di dalam rasa yang sama. Apa yang ada di antara mereka telah berakhir. Delia tak dipilih Andrew pada saat itu, begitupun dengan sekarang. Ia tak ‘kan pernah menjadi pilihan untuk Andrew. Tak mungkin seseorang bisa memiliki cinta yang begitu besar untuk orang lain setelah cintanya dikuasai oleh seseorang, bukan? Hati tak bisa mencintai dua orang, sebagaimana dirinya yang tak lagi bisa mencintai orang lain, selain Andrew. Ia tak harus menumbuhkan harapan yang harus segera ia bunuh dengan kejam. Dirinya harus menghadapi kenyataan pahit di hadapannya bila semuanya sudah sangat terlambat bagi mereka berdua.
Ketukan pada pintu kamar, membuyarkan lamunan Delia. “Tante … apa Dee boleh masuk?” Suara gadis kecil yang begitu dikenalinya itu membuat Delia tersenyum senang. Wanita itu mengukir senyum di wajahnya, lalu mempersilahkan gadis kecil itu masuk ke kamarnya.
Gadis kecil itu berlari ke arah Delia dengan wajah gembira, sedangkan pria dewasa yang masuk ke kamar wanita itu segera memeluk putrinya dan berusaha menghentikan apa yang gadis kecil itu ingin lakukan. “Kamu udah berjanji untuk bersikap baik dan nggak membuat Tante Dee kesusahan, jadi jangan berlari-lari dan berhambur ke dalam pelukannya. Tubuhnya pasti masih lemas,” Ujar Si pria setelah membalik tubuh putrinya ke arahnya. Perkataan pria itu membuat gadis kecilnya menatap sendu ayahnya, merasa tak senang karena dihentikan, namun tak berani menolak ataupun membantah karena dirinya memang sudah berjanji untuk bersikap baik bila diberikan kesempatan oleh ayahnya untuk bertemu dengan Delia besar yang sedang sakit.
“Sudahlah, Drew. Aku baik-baik saja. Lagipula, aku memang mau memeluk kembaranku,” Suara Delia terdengar riang, membuat putri Andrew yang tadinya cemberut mulai tersenyum senang. Gadis kecil itu mengambil kesempataan saat ayahnya tampak gusar dan segera melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Gadis itu segera naik ke atas tempat tidur Delia dan memeluk Delia erat, sementara Delia membalas pelukan gadis itu tak kalah eratnya.
“Aku akan meminta pertanggungjawabanmu kalau putriku menjadi manja dan lengket denganmu,” Ujar Andrew sinis setelah berdiri di samping tempat tidur Delia. Wanita itu tak mempedulikan perkataan Andrew, seolah menganggap pria itu sebagai angin lalu. Dirinya sibuk berpelukan dengan Delia kecil dan keduanya malah tertawa saat melihat wajah kesal Andrew.
“Tenang saja, Drew. Aku adalah seorang yang sangat bertanggungjawab, jadi aku akan menjaga kembaranku ini dengan baik. Bukankah begitu, Dee?” Delia mencubit gemas pipi mulus gadis kecil yang kini menempel di lengannya seperti ulat bulu yang tak mau lepas.
Pemandangan itu membuat hati Andrew berdesir hangat. Kebahagiaan putrinya dan kerinduan putrinya akan sosok seorang ibu mampu membuat hati Andrew tersentuh. Ia merasa begitu senang dan juga sedih di saat yang bersamaan. Dirinya mulai mengerti dengan saran orang-orang yang memintanya untuk segera menikah lagi. Ia paham akan kekurangannya dan juga beberapa hal yang tak mungkin bisa ia lakukan sebagai seorang ayah tunggal.
Meski dirinya berusaha dengan baik, ia tak mungkin bisa memainkan dua peran dalam waktu yang bersamaan. Buktinya adalah putrinya yang terlihat begitu senang berada di sisi Delia dan terlihat hendak menikmati kenyamanan yang dulu tak pernah bisa didapatkannya dari Andrew. Sungguh, Andrew terlalu egois dengan berpikir putrinya akan baik-baik saja tanpa sosok seorang ibu di dalam hidupnya. Toh istri dari adik kembarnya juga kerap memanjakannya dan memperlakukannya bak anak sendiri. Namun kin Andrew paham, bila kasih sayang itu tentu saja tak cukup untuk anak-anaknya. Akan tetap ada kekurangan dalam dirinya.
“Ya, Pa. Tante Delia nggak akan memperlakukanku dengan buruk dan akan sangat bertanggungjawab. Tante Delia sudah dewasa, nggak seperti papa yang kekanak-kanakan,” Gadis kecil itu mengerucutkan bibirnya dan menatap ayahnya kesal, “Apa Tante tahu kalau papa itu sangat posesif dan menyebalkan. Terkadang, dia bersikap kekanak-kanakan dan merajuk bila aku terlalu banyak menghabiskan waktu dengan teman-temanku di luar. Papa nggak bisa mengerti kalau aku ini juga butuh bermain dengan teman,” Lanjut gadis kecil itu dengan nada kesal seraya melipat kedua tangan di dadanya. Delia tertawa mendengarkan protes gadis kecil di sisinya, sedang Andrew menatap putrinya garang, sementara putrinya tak peduli dengan tatapan Andrew yang berusaha memberitahu Delia untuk tak mengatakan hal memalukan itu.
Delia besar menoleh pada gadis kecil di sampingnya, lalu mengusap lembut puncak kepala gadis itu. “Papamu memang keterlaluan dan terkadang kekanak-kanakkan, tapi dia melakukannya karena dia sangat menyayangimu. Kamu memang merasa sudah dewasa, tapi bagi papamu, kamu tetaplah gadis kecilnya yang tercinta,” Delia tersenyum lembut.
“Lagipula, sekarang ada Tante,” Wanita itu mengusap wajah gadis kecil di sisinya, “Tante akan membuatmu paham bila kita, para wanita terkadang memang butuh waktu untuk bersenang-senang sendiri. Dia nggak akan mengerti hal ini karena dia bukan wanita,” Delia melirik ke arah Andrew dan menatap pria itu sinis, gadis kecil di sampingnya melakukan hal yang sama. Tatapan keduanya membuat Andrew merasa ngeri dan gugup sesaat. Mereka terlihat seperti sekutu yang hendak menyerang musuh yang sama dan naasnya, dirinya adalah musuh tersebut. Kau tak pernah tahu apa yang mampu dilakukan dua orang perempuan hebat pada pria malang sepertinya. Andrew menelan ludah saat keduanya semakin menajamkan tatapan mereka.
“Baiklah … papa akan mencoba mengurangi sikap yang nggak menyenangkan itu,” Ujar Andrew dengan putus asa, membuat kedua perempuan yang memiliki nama yang sama itu saling berpandangan dan tersenyum penuh kemenangan. Keduanya berpelukan riang, seementara itu Andrew menatap keduanya dengan senyum bahagia di wajahnya.
“Katanya, kamu ke sini karena mau mengajak Tante Delia sarapan dan memastikannya minum obat, Dee,” Pria itu mengingatkan maksud anaknya untuk menemui Delia. Gadis kecil itu mengangguk, lalu mengarahkan pandangannya pada Delia dan menggenggam tangan wanita itu.
“Tante harus sarapan bersama kami. Dee sudah memasak bubur yang dibantu sama papa, tapi apakah Tante sudah bisa jalan?” Gadis itu menatap Delia dengan tatapan meneliti, “Jika Tante nggak bisa jalan, Dee dan papa akan membawa makanannya ke kamar Tante,” Lanjut gadis kecil itu dengan khawatir, sedang Delia segera tersenyum dan menggeleng.
“Nggak perlu membawa makanannya ke sini karena tante sudah benar-benar sembuh dan bisa berjalan,” Delia mengusap wajah gadis kecil yang tersenyum bahagia mendengar perkataannya, “Bagaimana bila kamu dan papamu menunggu Tante di ruang makan, sementara Tante membersihkan diri dulu. Cuci muka dan sikat gigir biar terlihat lebih segar,” Delia mengedipkan sebelah matanya pada gadis kecil itu.
“Kalau begitu, kita sarapan di taman samping ya, Tante. Semua sudah disiapkan papa di sana. Kata papa, Tante pasti suka kalau makan di luar karena Tante butuh udara segar, tapi Tante harus pakai jaket tebal agar nggak sakit lagi ya,” Gadis itu berkata dengan nada mengancam, membuat Delia tergelak pelan. Keras kepala dan pemaksa seperti Andrew, ayahnya.
“Baiklah … Tante akan mengenakan jaket yang sangat tebal, jadi kalian bisa tunggu Tante di taman samping,” Wanita itu tersenyum seraya mengusap lembut wajah gadis kecil di sisinya. Gadis itu tersenyum puas, lalu turun dari tempat tidur Delia dan langsung menggenggam tangan ayahnya. Gadis itu melambaikan tangannya pada Delia, begitupun dengan ayahnya.
Keduanya segera meninggalkan kamar Delia, sedang Delia tersenyum manis melihat kedekatan ayah dan anak tersebut. Hati Delia berdesir hangat dan jantungnya berdegub tak menentu, perasaannya selalu sama saat berhadapan dengan Andrew, akan tetapi kini rasa itu jauh lebih besar saat melihat perubahan besar Andrew dan juga putrinya. Pria itu sudah berubah lebih baik dan Delia sangat senang dengan perubahan sahabatnya, akan tetapi ia membenci rasa yang tak bisa ia bunuh itu. Tak seharusnya semua rasa itu masih ada di dalam hatinya.
Delia tak ingin lagi menyiksa dirinya dengan semua pemikiran tentang masa lalu. Wanita itu berjalan pelan menuju kamar mandi dan membersihkan dirinya di sana. Delia mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih tebal dan merias wajahnya dengan riasan tipis, ingin membuat wajahnya terlihat lebih segar agar kedua ayah dan anak itu tak lagi mengkhawatirkannya. Delia menatut penampilannya sebelum berjalan meninggalkan kamar dan tersenyum puas dengan usahanya. Dirinya sudah terlihat segar dari sebelumnya.
Beberapa saat kemudian, Delia sudah tiba di taman samping. Andrew segera berdiri begitu melihat Delia dan mengatakan sesuatu pada anaknya. Kemudian pria itu berlari pelan ke arahnya. “Delia takut kamu jatuh dan memintaku membantumu berjalan, jadi kamu harus menurut. Kamu tahu sendiri bagaimana pemaksanya putri kecilku itu,” Bisik Andrew begitu ia sudah berdiri di sisi Delia, membuat senyum Delia mengembang begitu saja.
“Sekarang kamu pasti sadar bila kamu telah salah menurunkan semua keburukanmu padanya,” Delia menatap Andrew dengan tatapan mengejek, “Sekarang kamu harus menanggung karmamu sendiri. Sekarang kamu harus tahu bagaimana menyebalkannya menghadapi orang yang keras kepala dan juga pemaksa sepertimu,” Lanjut Delia dengan sarkastis. Bukannya tersinggung, pria itu malah terbahak saat mendengarkan perkataan Delia.
“Iya, iya … aku tahu kalau Dee terlalu banyak mengambil sifat burukku, tapi beruntung karena dia mempunyai ayah keren sepertiku yang akan terus mendukung sikap pemaksanya itu.”
Andrew mengedipkan sebelah matanya pada Delia, sedang perempuan itu mendengkus kesal. Andrew tak peduli karena ia tahu benar bila Delia tak bermaksud buruk dengan perkataannya. Mereka sudah begitu dekat, hingga tak perlu menjelaskan maksud dari setiap perkataan yang mereka bagikan, maka masing-masing dari mereka sudah paham. Mungkin memang benar, Andrew adalah belahan jiwa Delia. Belahan jiwa yang membuatnya tak lengkap saat hilang. Kepingan yang tak mungkin bisa membuatnya merasa sempurna bila hilang.
Keduanya kini sudah bergabung dengan Delia kecil di meja berbentuk bulat. Di atas meja itu terdapat tiga mangkok bubur dengan potongan-potongan kecil ayam di atasnya. Bawang goreng membuat bubur itu tampak lezat, meski tak memiliki penampilan yang menarik bak makanan hotel. Akan tetapi makanan yang dibuat dengan penuh cinta itu mampu membuat hati Delia berdesir hangat saat melihat semua yang tersedia di sana. Di samping masing-masing mangkuk, terdapat teh hangat yang semakin melengkapi hidangan sederhana itu.
Delia mendekatkan hidungnya pada mangkuk dan tersenyum bahagia. “Tampaknya, makanan ini sangat lezat. Aromanya saja, sudah bisa membuat cacing di perut Tante mulai melakukan aksi demo,” Ujar Delia seraya menoleh pada gadis kecil yang duduk di sampingnya. Gadis yang sedari tadi menatap Delia penuh harap dan menanti, seolah gadis itu menunggu pujian dari Delia tentang masakan yang disiapkan untuknya, “Tante nggak sabar untuk memakannya. Apakah boleh langsung di makan?” Lanjut Delia tak sabar.
Senyum gadis itu semakin melebar dan dirinya mengangguk. “Tentu saja, Tante. Kalau buburnya kurang, aku dan papa bisa membuatkannya lagi besok. Ya kan, Pa?” Gadis itu memalingkan pandangannya pada Andrew, sedang pria tersenyum tersenyum dan mengangguk.
“Makasih banyak, Sayang,” Delia mengusap wajah gadis kecil itu, “Untuk hari ini sudah lebih dari cukup. Lain kali, kita bisa memasak bubur berdua. Tante akan mengajarimu resep masakan lainnya kalau memang kamu suka memasak,” Delia mencubit gemas hidung Si gadis.
Gadis itu tampak senang dan mengangguk antusias, sedang Andrew diam-diam menikmati kebahagiaan itu. Dirinya tak bisa mencegah diri untuk merasa senang melihat keduanya. Inilah hal yang tak mungkin bisa diberikannya pada anak perempuannya. Melakukan hal yang sama seperti yang mereka sering lakukan dengan seorang wanita pastilah terasa beda bagi putrinya itu.