Tak Benar, Tak Juga Salah

2214 Kata
Tak pernah ada yang benar maupun salah. Kalah ataupun menang dalam hal percintaan. Pergi dari semua luka karena kau tak pernah menjadi pilihan, bukan berarti cintamu telah kalah. Melepaskan cinta yang begitu besar dan membuat dadamu sesak bukan main, bukan berarti kau salah. Pada akhirnya, cinta bukanlah sebuah perlombaan yang menuntut pemenang. Cinta bukanlah pertanyaan yang mengharuskanmu untuk menemukan jawaban yang benar. Cinta memang segila itu. Perasaan yang membuatmu tak berdaya, bahagia, dan juga sedih. Andrew tersenyum saat membuka pintu kamar Delia dan menemukan wanita itu dengan tertidur pulas. Obat yang diberikannya pasti sudah mulai bekerja. Andrew berjalan mendekat, lalu duduk di tepi tempat tidur Delia. Mengamati wajah cantik wanita itu. Andai apa yang dikatakan Christie benar, maka tanpa sadar dirinya sudah sejak lama jatuh cinta pada sahabatnya itu. Mungkin karena terlalu terbiasa bersama, mengarungi semuanya bersama, membuat Andrew tak mampu mengerti perasaannya yang telah menguasai sanubarinya. Bisakah satu hati merasakan dua cinta yang terasa sama dalamnya? Rasanya tak adil bagi Christie bila setelah kepergiaan wanita itu, dirinya baru menyadari jika dirinya mungkin saja jatuh cinta pada sahabatnya. Wanita yang dulu kerap mengemis cinta, namun Andrew tak merasakan yang sama. Mungkin benar apa yang orang-orang katakan, kita akan tahu banyak hal setelah kehilangan orang yang dulu selalu ada di hari-hari kita. Mungkin begitulah cara hati manusia bekerja, terlalu sulit untuk menghargai dan menjaga apa yang sudah ia miliki. Manusia kerap lupa caranya bersyukur, hingga selalu meminta lebih. Tak pernah puas dan membuatnya tak sadar bila selama ini ada cinta yang begitu besar berdiri di hadapannya. Delia menggeliatkan tubuhnya, membuat Andrew sadar dari lamunannya. Andrew menempatkan punggung tangannya pada kening Delia, mencoba mencari tahu apakah panas tubuh wanita itu sudah berkurang. Ia tersenyum puas begitu mendapatkan suhu tubuh wanita itu sudah tak sepanas tadi pagi. Wanita itu membuka matanya perlahan. Keduanya saling bertukar senyum. Delia yang sadar bila tangan Andrew berada di keningnya, segera menyingkirkan tangan pria itu. Ia tak ingin bila jantungnya meledak karena bergedub begitu kencang. Ia tak ingin merasakan semua perasaan yang dulu sangat disukainya itu. Semua sudah terlambat. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Delia menatap pria di hadapannya dengan tatapan penuh tanya, sedang Andrew tergelak pelan, merasa lucu dengan pertanyaan wanita itu. Untuk apa Delia menanyakannya sedang melakukan apa di tempat itu? Andrew tak suka dan tak juga membiasakan dirinya dengan jarak usaha wanita itu memberikan jarak di antara mereka, seolah hendak menjadikan Andrew seperti seorang asing. Andrew ingin hubungan mereka sama seperti dulu. Meski umur mereka sudah bertambah dan juga keduanya sudah melalui banyak hal setelah perpisahan, Andrew harap hubungan mereka tak hancur dan kembali erat seperti dulu lagi. “Tentu saja untuk memastikan keadaanmu. Harusnya, kamu nggak perlu menanyakan apa yang kulakukan di sini. Kamu dulu selalu merawatku dengan baik saat sakit dan harusnya kamu tahu kalau aku akan melakukan hal yang sama padamu,” Pria itu mengusap puncak kepala Delia, “Bagaimana perasaanmu? Apakah sudah lebih baik? Jika masih sakit, aku akan membawamu ke dokter,” Pria itu menatap Delia dengan tatapan meneliti, mencoba mengerti apa yang wanita itu inginkan. Delia berusaha untuk duduk. Dengan sigap Andrew membantu wanita itu. “Aku baik-baik aja, Drew. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan,” Delia tersenyum lembut, “Kamu nggak perlu menjagaku lagi karena aku bisa melakukan semuanya sendiri. Lebih baik kamu fokus pada anakmu agar dia nggak merasa kurang diperhatikan. Aku bisa menebak bila sekarang hidupmu pasti sangat sibuk. Mengurus dua orang anak dan juga sebuah perusahaan,” Delia menatap pria di hadapannya lekat-lekat, “Hingga waktu bersama keluarga pastilah hal yang selalu kamu nantikan dan kamu tunggu-tunggu,” Lanjut Delia seraya menatapnya lembut. Andrew tersenyum mendengarkan perkataan. “Tentu saja aku tahu hal itu, tapi masalahnya adalah …” Pria itu mempertipis jarak di antara wajah mereka, membuat Delia tanpa sadar menahan napas selama beberapa detik. Tiadanya jarak di antara wajah mereka, membuat jantungnya berpacu tak menentu. Bagaimana bisa dirinya pergi jauh dari perasaan itu bila hatinya terus saja meneriakkan nama Andrew. Jantungnya berdetak hanya untuk pria itu. “Masalahnya apa?” Tanya Delia dengan gugup. Jantungnya tak lagi bisa ditentramkan karena yang pria itu perbuat padanya. Harusnya, Delia tak lagi merasa seperti ini. Dirinya bukanlah seorang remaja yang baru mengenal cinta. Apa lagi semua hal yang telah dilaluinya telah membuatnya mengerti banyak hal, namun kenapa hatinya tak mampu mengerti? “Karena anakku memintaku menjagamu dengan baik. Oleh karena itu, aku nggak ada cara untuk berlari dari tanggungjawab sebagai seorang ayah yang baik,” Pria itu tersenyum lebar. Delia dapat melihat perubahan yang begitu besar dalam diri Andrew, meski masih ada sikap kekanak-kanakan yang seolah tak mampu dibuang dari diri pria itu. Namun semuanya tak lagi sama. Tak seperti Andrew yang dulu begitu menyukai kebebasan. Pria itu sudah tahu benar akan tanggungjawabnya, ada kelembutan di dalam dirinya yang dulu selalu membenci. “Baiklah ayah yang baik, tapi sekarang aku benar-benar sudah sembuh, jadi kamu nggak perlu di sini lagi,” Delia tersenyum manis, “Aku hanya perlu tidur sedikit lagi, maka aku akan pulih total,” Ujar wanita itu sembari tersenyum menenangkan, ia tak ingin membiarkan pria itu terus-menerus mengkhawatirkannya dan membuat hatinya semakin kacau. “Kalau begitu, aku akan ikut beristirahat denganmu. Untuk memastikanmu benar-benar tidur dan nggak melakukan hal yang membuatmu lelah,” Pria itu tersenyum penuh arti, lalu mengambil tempat di sisi Delia. Wanita itu memprotes dan mendorong tubuh Andrew yang hendak berbaring bersamanya, namun Andrew terlalu kuat untuk didorong, hingga pada akhirnya Delia putus asa dan tak lagi ingin memaksa pria itu untuk pergi darinya. “Kasur sebesar ini, nggak seharusnya kamu nikmati sendiri. Jangan menjadi orang yang pelit, Dee,” Ucap pria itu begitu sudah berhasil berbaring di samping Delia, pria itu menoleh ke arah wanita di sampingnya dan tersenyum lebar, “Sudah lama sekali, kita nggak bersantai seperti ini. Saling bertukar senyum dan juga melakukan pembicaraan santai yang membuat kita bahagia. Sudah lama sekali, aku nggak menemukan teman mengobrol sepertimu. Seseorang yang mau mendengarkan semua kata-kataku yang membosankan. Makasih karena sudah menjadi sahabat yang begitu baik, Dee. Jujur saja, aku merasa begitu kehilanganmu.” Senyum pria itu mampu menghipnotis Delia. “Sebenarnya, aku sempat kesal dengan keputusanmu yang egois. Pergi begitu saja sesukamu dan nggak memikirkanku yang ditinggalkan,” Pria itu tersenyum lirih, “Apa kamu pikir, hidupku akan lengkap tanpamu? Apa kamu pikir, aku bisa bahagia tanpamu di sisiku. Kamu benar-benar jahat, Dee. Nyatanya, aku nggak pernah baik-baik saja setelah kepergianmu,” Lanjut pria itu seraya menatap ke dalam kedua netra Delia, mencoba membuat wanita itu mengerti akan penderitaannya selama ini. “Aku nggak bisa terus-terusan berada di sisimu,” Wanita itu tak ingin membujuk atau mengutarakan rasa yang sama pada Andrew karena dirinya tahu benar bila apa yang ada di masa lalu, lebih baik tak lagi disesali ataupun diharapkan kembali. Kini, hanya ada kata terlambat bagi orang-orang sepertinya yang tak pernah bisa pergi meninggalkan masa lalu. Tak ada gunanya untuk terus tenggelam pada rasa yang hanya membuatmu semakin terluka, bukan? “Aku memang egois karena pergi begitu saja darimu, tapi itu yang terbaik untuk kita,” Delia tersenyum manis, “Jika aku terus memaksakan di sisimu, maka aku nggak bisa menahan diri untuk merebutmu dari Christie. Aku nggak mungkin bisa mengendalikan diri untuk bersikap bodo0h dengan membuat hidupmu nggak tenang. Harusnya kamu tahu benar, bila aku nggak bisa di sisimu saat kamu sudah menentukan pilihanmu, Drew,” Wanita itu tak lagi bisa menyembunyikan kesedihannya. Dirinya mengigit bibir bagian bawah untuk mencegah air mata yang memberontak untuk segera dikeluarkan. Semua kenangan menyakitkan itu kembali lagi. Saat di mana dirinya mencoba tegar dan melepaskan cinta demi kebahagiaan pria pemilik hatinya. Siapa bila bila melepaskan seseorang adalah hal yang mudah. Melepaskan dan dipaksa melupakan adalah hal yang mengerikan. Seperti menarik jantungmu keluar dari tempatnya. Andrew terkesiap mendengarkan perkataan wanita itu. Pada akhirnya, dirinya adalah pria yang selalu menyakiti Delia. Ia selalu bersikap egois dan tanpa sadar membuat wanita itu terluka. Mungkin, bagi dirinya yang egois, memperangkap wanita itu di sisinya adalah sesuatu yang membahagiakan, namun tidak untuk Delia. Wanita itu pasti sangat tersiksa dengan apa yang diperbuatnya. Bagaimana bisa Andrew mengabaikan perasaan cinta wanita itu dan berharap bila wanita itu akan baik-baik saja? Dirinya memang seorang pendosa yang harusnya memohon maaf dan tak mengatakan hal egois yans semakin melukai wanita itu. “Kamu harusnya tahu kalau aku bukan lah seorang yang berhati besar, Drew. Aku juga yakin kalau kamu mengerti bila melepaskan seseorang itu sangat menyakitkan. Kau tahu bila itu yang terbaik untuknya. Demi kebahagiaannya, namun sebagian dirimu merasa nggak rela,” Wanita itu menarik napas panjang dan menghelanya perlahan, “Kamu benar. Menjadi sahabat seorang yang begitu mempesona sepertimu adalah hal yang sulit. Maaf karena aku nggak bisa mencegah diri untuk jatuh cinta, tapi aku nggak menyesal karena memilih pergi. Di tempat baru, akhirnya aku menemukan hidup dan juga cintaku,” Lanjut Delia tersenyum. Entah mengapa Andrew merasa sesak setiap kali memikirkan bila Delia sudah memiliki kehidupan yang lebih baik setelah pergi darinya. Mungkin dirinya benar-benar seorang pria jahat yang tak tahu diri. Pendosa yang begitu egois, hingga tak rela melihat kebahagiaan wanita itu. Tak seharusnya ia merasa kehilangan karena wanita itu sudah melanjutkan kehidupannya dengan baik. Benar apa yang dikatakan Delia. Merelakan tak pernah bisa terasa mudah. Lihat saja dirinya, ia tak berada di posisi Delia dulu, namun sudah merasa begitu terluka. “Aku turut bahagia untukmu, Dee,” Pria itu mengukir senyum di wajah tampannya, “Aku memang egois dan maafkan perkataanku. Tampaknya, kita memang nggak mungkin bisa mengubah apa yang sudah terjadi dan benar apa yang kamu katakan, apa jadinya bila kamu tetap berada di sisiku. Aku hanya akan terus menyiksamu dengan semua ketidaktahuanku.” “Bukan salahmu. Mungkin memang sudah takdir kita seperti ini. Yang terpenting adalah nggak ada penyesalan lagi, Drew,” Wanita itu tersenyum manis, “Kita sama-sama mendapatkan hal yang sangat berharga. Hal yang mungkin saja nggak bisa kita miliki bila kita memaksakan untuk terus berdekatan. Tuhan yang mengatur semuanya. Meski begitu, aku bahagia karena kembali bertemu denganmu. Kamu membuatku sadar bila persahabatan kita memang terlalu indah dan suci untuk dinodai dengan cinta yang terlarang.” Ini memang aneh, akan tetapi Andrew tak bisa mencegah kesedihan menguasai sanubarinya. Entah mengapa, sebagian dirinya mengharapkan lebih. Sungguh, waktu tak mampu memainkan perannya dengan baik. Meski Andrew sudah berusaha menjadi ayah dan suami yang baik, ia tak mampu membuat sisi jahat dari hatinya. Dirinya yang begitu tamak dan menyedihkan. Dirinya yang tak pernah bisa menerima kebahagiaan orang lain. Dirinya yang selalu merasa dengki dengan apa yang orang lain miliki. Dirinya memang mengerikan. “Apa mau duduk di balkon? Aku pikir, kamu pasti butuh udara segar,” Andrew berusaha mengalihkan pembicaraan. Sesungguhnya, dirinya sendiri lah yang sangat membutuhkan udara segar. Ia hendak menjernihkan pikirannya yang kacau dengan semua yang terjadi, “Ah .. aku menarik kata-kataku. Di luar pasti dingin dan aku nggak mau kamu nggak sembuh-sembuh,” Lanjut Andrew yang teringat bila sarannya barusan adalah keputusan yang buruk. Ia lupa bila saat ini mereka sedang tak berada di Jakarta yang tak memiliki udara sedingin tempat ini. Delia tersenyum. “Aku mau duduk bersantai di balkon, Drew. Bisa tolong ambilkan jaketku di koper?” Perkataan wanita itu langsung dijawab dengan gelengan oleh Andrew, “Oh ayolah, Drew …” Wanita itu menatap Andrew dengan tatapan memohon, “Kamu sudah menanamkan ide itu di dalam otakku, jadi kamu harus bertanggungjawab. Lagipula, aku merasa begitu bosan seharian tiduran di sini. Lagipula, hari masih siang dan udara belum begitu dingin. Kita butuh tempat untuk bernapas,” Lanjut Delia dengan tatapan sedih, membuat Andrew tak lagi bisa menolak. Pria itu menghela napas gusar dan bangkit berdiri dari kasur. “Aku beanr-benar menyesal karena memberikan saran yang langsung ku sesali begitu saja,” Pria itu berkata dengan sedih, namun tidak dengan Delia yang tertawa puas dengan Andrew yang mengakui kesalahannya, “Aku lupa, kalau kamu adalah seorang yang keras kepala dan mudah tergoda dengan hal buruk dariku. Aku benar-benar harus berpikri sebelum berbicara denganmu,” Lanjut pria itu seraya membuka koper Delia dan mencari apa yang wanita itu minta. “Jaket warna abu-abu, Drew. Ada di bagian paling bawah tumpukan celana di koper itu,” Delia memberikan perintah saat melihat Andrew tak bisa menemukan apa yang dimintanya. Pria itu tersenyum saat menemukan apa yang dicarinya dan segera kembali ke arah tempat tidur. Andrew membantu Delia mengenakan jaketnya dan menompang wanita itu ke arah dapur. “Makasih banyak,” Ujar Delia begitu mereka sudah duduk bersebelahan, “Harusnya aku nggak jatuh sakit dan menikmati semua pemandangan indah ini. Benar-benar rugi jatuh sakit di tempat seindah ini,” Lanjut Delia seraya menghela napas gusar. Andrew tertawa kecil. “Kamu benar-benar telah berubah menjadi wanita pelit dan sangat perhitungan,” Pria itu menggeleng-gelengkan kepalanya, “Cepat lah sembuh dan aku akan segera membawamu jalan-jalan di sekitar sini. Aku juga butuh udara segar. Terlalu sering menikmati polusi di Jakarta, membuatku merindukan tempat seperti ini,” Lanjut Andrew seraya menarik napas panjang, lalu menghelanya perlahan. Pria itu memejamkan mata, menikmati udara sedar dari pepohonan yang memasuk paru-parunya. Kesegaran yang tak ditemukannya di kota besar. “Aku rasa, nggak ada yang salah dalam setiap pilihan kita. Aku hanya ingin menikmati kesempatan yang diberikan Tuhan bagi kita, Dee. Aku ingin menghabiskan waktu bersamamu. Melakukan hal yang dulu tak kita lakukan,” Pria itu menoleh pada Delia dan tersenyum lembut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN