Hari Bahagia Bersamamu

2158 Kata
Kebahagiaan paling besar adalah dicintai dan mencintai. Bila kau diberikan kesempatan untuk merasakan hal itu, berarti kau adalah seorang yang teramat beruntung. Namun sayang, beberapa orang di dunia ini hanya bisa dicintai tanpa mencintai, beberapa lagi mencintai tanpa dicintai. Beberapa hal, tak ‘kan terwujud sesuai dengan apa yang kita inginkan. Begitulah hidup, terlalu banyak berharap, maka akan terluka. Terlalu besar mencinta, maka akan bersedih. Andrew mengangguk, menyetujui perkataan Delia. “Ya, benar apa yang kamu katakan, Dee. Tuhan telah merancang apa yang terbaik untuk kita,” Pria itu menatap lurus ke depannya, “Mungkin semua ini yang terbaik untuk kita semua. Aku merasa senang untukmu karena kamu bisa mendapatkan kebahagiaan dan juga cinta di dalam hidupmu,” Lanjut Andrew tulus. “Kita harus segera kembali. Aku yakin kalau Delia sudah menunggu kepulangan kita,” Ucap Delia seraya tersenyum ke arah Andrew. Ia tak ingin terus-terusan bersandiwara seolah dirinya baik-baik saja. Ia sudah begitu lelah dengan kebohongan dan ingin mengurung dirinya sendiri di ruangan yang tak ada orang lain, selain dirinya agar ia tak harus mengenakan topeng. “Ya, kamu benar. Kita harus segera kembali,” Andrew segera berdiri lalu ia mengulurkan tangannya pada Delia, “Mau jalan pulang sambil bergandengan tangan?” Tanya pria itu seraya menatap Delia lembut, sedangkan Si wanita menatap kosong tangan Andrew yang tergantung di udara. Dulu, ia begitu suka menggenggam tangan pria itu. Berjalan bersama seperti sepasang kekasih, menceritakan apa pun dan berbagai tawa. Tampaknya, hanya pria itu yang bisa membuatnya merasakan semua perasaan indah itu. Hanya pria itu yang mampu membuatnya kembali merasa hidup, setelah sekian lama mati. “Ayolah … apa yang kamu pikirkan,” Tanpa menunggu respon dari Delia, pria itu sudah membawa tangan Delia ke dalam genggamannya, menggenggamnya erat dan tersenyum lebar, sedang Delia tak mungkin lagi bisa menolak. Wanita itu ikut tersenyum dan mengangguk, “Kamu yang bilang kalau kita harus segera kembali, tapi kamu sendiri yang terpaku hanya karena melihatku mengulurkan tangan dan meminta persetujuanmu untuk bergandengan tangan. Harusnya, aku langsung menggandengnya seperti ini agar kamu nggak memerlukan waktu untuk berpikir,” Andrew menunjukkan genggaman tangan mereka pada Delia dan tersenyum lebar. “Kamu memang menyebalkan!” Delia mendengkus kesal, sedang Andrew tampak tak peduli. Keduanya mulai berjalan kembali ke tempat mereka menunpang selama beberapa hari. Andrew membuka pembicaraan begitu mereka berjalan menjauh dari tempat yang tadi membuat mereka bisa merasa santai walau sejenak. Pria itu menceritakan semua kisah di masa lalu, tentang persahabat mereka, hal-hal yang membuat Delia sadar bila masa lalu begitu menyenangkan. Apa yang mereka lalu begitu indah, membuat mereka begitu sombong, dan berpikir bila mereka mampu menaklukkan segalanya. Kekonyolan di masa muda. Selang beberapa menit kemudian, keduanya disambut oleh Delia yang segera berlari ke arah keduanya begitu mereka sudah tiba di tempat itu. Gadis itu memeluk Delia dan mengatakan rindu pada wanita itu, sedang Andrew menatap putrinya kesal. Berlagak merajuk dengan perbuatan gadis kecilnya yang terlihat lebih memilih Delia daripada dirinya. “Sekarang, kamu nggak sayang papa lagi,” Andrew membuat wajahnya terlihat sekecewa mungkin. Pria itu menghela napas gusar untuk melengkapi sandiwaranya, “Harusnya, kamu memeluk papa juga,” Lanjut pria itu semakin merajuk. Kedua perempuan di samping pria itu tergelak melihat wajah lucu Andrew yang tentu saja terlihat tak cocok menghiasi wajah seorang pria yang sudah tak muda lagi seperti pria itu. Delia segera melepaskan dirinya dari dekapan Delia besar, lalu memeluk ayahnya yang segera membentangkan tangan lebar-lebar. Seolah tahu, bila putrinya itu ingin memeluknya, seperti apa yang gadis kecil itu lakukan pada Delia. “Sekarang, papa sudah mendapatkan tenaga tambahan darimu,” Ucap Andrew dengan gadis itu di dalam pelukannya. Pria itu melepaskan pelukan mereka, lalu mengecup kedua pipi putrinya dengan gemas, “Kamu nggak boleh membuat papa sedih dengan merasa diabaikan. Papa akan marah besar padamu nanti,” Lanjut Andrew dengan nada penuh pengancaman, membuat putrinya tergelak. Ia merasa beruntung memiliki ayah seperti Andrew. Pria yang mungkin sedikit posesif, namun bisa membuatnya membicarakan banyak hal, kecuali tentang ibu ataupun hal-hal yang bisa ia lakukan dengan seorang yang bisa dipanggilnya ‘mama’. “Aku nggak akan mengabaikan papa, kalau saja papa bisa bersikap lebih baik pada Tante Delia,” Gadis kecil itu melipat kedua tangannya di dadaaa dan menatap ayahnya sinis, “Aku yakin kalau setelah merasakan masakan Tante Delia, papa nggak akan lagi mengejeknya.” Delia tersenyum mendengarkan pembelaan yang gadis kecil itu berikan untuknya. “Tenang saja, Dee. Kita berdua pasti akan menang dan membuat papamu yang sombong itu untuk mengakui kekalahannya,” Delia berkata dengan bersungguh-sungguh, memberikan semangat pada Delia yang mengangguk antusias. Di sisi lain, Andrew hanya bisa menggeleng-geleng seraya tersenyum melihat keantusiasan keduanya. Ia tak menyangka bila gadis kecilnya bisa bersikap seperti ini padanya. Padahal, gadisnya itu selalu memujanya dan tak bisa lepas darinya. “Kalau begitu, papa akan membersihka diri dulu, sementara kalian menyiapkan strategi untuk membuat papa mengaku kalah,” Andrew mengedipkan sebelah matanya pada kedua perempuan yang menatapnya tajam, sedang pria itu tak perduli dan berjalan melenggang dengan tawa yang membahana, tawa yang semakin membuat keduanya kesal bukan main. Andrew memang paling pintar memancing emosi seseorang, tak heran bila banyak orang yang tak bisa mencegah kemarahan mereka pada Andrew yang memiliki sifat menyebalkan. Waktu berlalu, Delia dan gadis kecil itu sudah berada di dapur dan menyibukkan diri mereka dengan bahan masakan. Delia meminta gadis kecil itu memotong sayuran dan tetap mengawasi gadis tersebut. Mereka banyak bercerita dan juga berbagi canda tawa. Keduanya bahkan saling mengotori wajah masing-masing dengan gula atau bahan masakan apa pun yang bisa mereka temukan. Tawa keduanya terdengar ke penjuru ruangan. Di sisi lain, Andrew menikmati pemandangan indah itu dan menikmati kehangatan yang menjalar ke penjuru hatinya. Dalam hati, dirinya bertanya, bila saja istrinya masih hidup, maka Delia pasti akan merasakan kebahagiaan seperti yang gadis kecil itu tunjukkan saat ini. Terlihat bahagia dan belajar memasak dari seorang wanita. Bercanda tawa dan membuat kegiatan memasak menjadi kegiatan yang sangat menyenangkan. Andai saja Christie masih ada bersama mereka, mungkin Andrew tak ‘kan merasa bingung dengan perasaannya sendiri. “Sudah merasa kalah melihatku memasak sehebat ini?” Tanya Delia dengan penuh percaya diri. Senyum wanita itu menunjukkan jika dirinya adalah seorang pemenang, “Aku sudah bilang padamu kalau aku sudah sangat berubah dan memasak seperti ini adalah hal yang sangat mudah. Aku bahkan bisa melakukannya dengan mata terpejam,” Lanjut Delia dengan sombongnya, membuat Andrew tergelak seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Delia tak sepenuhnya berubah seperti apa yang ia pikirkan. Nyatanya, wanita itu masih saja memiliki sikap suka bersaing dan sombong seperti dirinya. Wanita itu begitu mudah dipancing agar merasa marah. Hal-hal yang membuat Andrew betah mengganggu wanita itu masih ada di sana. Andrew teringat perkataan Christie yang mengatakan bila alasan pria itu suka menganggu Delia, bukan karena wanita itu adalah target yang mudah ataupun karena mereka bersahabat. Christie pernah berkata bila seorang pria hanya suka menganggu wanita yang mereka sukai. Perkataan yang tentu saha membuat Andrew terbahak. Dirinya tak pernah merasa, perasaan itu untuk Delia. Namun sekarang Andrew sadar bila dirinya salah. Ia hanya tak menyadari rasa itu, tak mampu mengartikan rasa, hingga tak tahu bila semua perkataan Christie itu adalah kebenaran. Andrew sulit mengakui, bila dirinya memang menyukai Delia dan bodohnya, ia baru merasakan semua itu sekarang. Setelah dirinya memanfaatkan tubuh dan juga hati Delia untuk membalut lukanya, setelah dirinya membuat Delia begitu banyak menangis, dan setelah dirinya menjebak Delia dalam cinta dan persahabatan yang membuat wanita itu tak bisa pergi darinya. “Aku terpukau dan nggak mampu berkata-kata saat melihat caramu memegang pisau. Kamu tampak begitu professional. Nggak heran karena kamu pemilik sebuah restoran. Nggak mungkin, anak pemilik restoran nggak bisa memasak, bukan?” Andrew tergelak pelan, sedang Delia tampak tak puas dengan perkataan Andrew yang diucapkan dengan nada mengejek. “Kamu masih mau mengejekku,” Wanita itu mendengkus kesal, “Ya, aku sadar kalau aku akan menjadi pewaris restoran mama. Oleh karena itu aku mulai giat belajar memasak karena aku nggak mau kalau orang tahu jika anak pemilik restoran, bahkan nggak bisa memecahkan telur. Beruntung aku pintar memasak, jadi aku bisa membuktikan padamu kalau aku yang terbaik,” Lanjut wanita itu dengan senyum penuh keyakinan. Delia kecil yang berdiri di samping wanita itu, menatap Si wanita dengan tatapan kagum. Ia tak begitu mengerti pembicaraan para orang dewasa itu, namun aura Delia yang begitu pemberani membuatnya terpesona. “Ya … ya … ya … aku sedang menanti dengan setia bukti nyata yang mau kamu tunjukkan,” Pria itu tersenyum mengejek. Delia berusaha mengabaikan Andrew yang masih saja begitu suka menggangunya. Ia memfokuskan pikirannya pada masakan yang tengah diolahnya. Ia akan membuat pria itu menyesal karena telah menganggapnya tak bisa memasak. Keduanya kembali menikmat kegiatan memasak itu dengan gembira, sementara Andrew mencoba menyelami hatinya sendiri. Melihat tawa bahagia kedua malaikat itu membuat hatinya berdesir hangat. Rasa asing itu kembali menjalar dan memenuhi setiap relung hatinya. Andrew meraba dadanya sendiri dan terkejut saat merasakan jantungnya yang berdegub liar hanya karena mengamati Delia, sahabat yang dulu ditolaknya mentah-mentah. Wanita yang ia pikir, tak mungkin bisa merebut hatinya karena pria itu sudah terbiasa dengan Delia. Terbiasa bersikap layaknya sepasang sahabat yang bisa menikmati kehidupan dan kekonyolan bersama. Beberapa saat kemudian. Meja yang tadinya kosong, sekarang sudah diisi dengan berbagai macam masakan. Andrew mengamati satu per satu makanan yang disajikan di sana. Ia tak mampu menyembunyikn kekagumannya dengan apa yang disiapkatn Delia dan putrinya dalam waktu singkat. Kedua perempuan itu duduk di depannya, kedua sama-sama melipatkan tangan mereka di d**a dan menatap Andrew dengan tatapan tajam, seolah menantikan pengakuan kalah dari pria itu. Andrew yang sadar akan arti tatapan keduanya segera berdehem. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, lalu ikut melipat kedua tangan di dadanya. “Sebenarnya makanan ini biasa saja. Makanan yang selalu bisa kita lihat di restoran-restoran yang menyajika Chinese food,” Andrew tertawa mengejek, membuat kedua perempuan di hadapannya itu memicingkan mata mereka dan menatap Andrew tajam, “Baiklah … baiklah … aku akui kalau makanan yang disajikan di sini begitu menarik. Membuatku menelan ludah, tapi tentu saja aku nggak bisa mengakui kekalahanku sebelum mencicipi rasanya. Kita nggak bisa menilai segala sesuatunya hanya dari penampilan luarnya saja, jadi jangan berharap kalau aku akan mengaku kalah semudah itu,” Lanjut Andrew seraya tersenyum miring. Delia dan gadis di sampingnya saling bertatapan, lalu keduanya mengangguk dan berbagi senyum. Delia kecil, lalu menyerahkan sendok dan garpu pada ayahnya, sedangkan Delia mengambil piring yang berada di depan Andrew, lalu mengisinya dengan nasi dan juga lauk pauknya. Setelah mengisi piring pria itu, keduanya kembali duduk di tempat duduk mereka semula, kemudian menopang dagu mereka dengan tangan dan menatap Andrew dengan tatapan meneliti. Mereka tampak begitu tak sabar melihat Andrew menggunakan sendok dan juga garpu yang berada di tangannya untuk mulai mencicipi hasil masakan keduanya. Senyum lebar menghiasi wajah kedua perempuan itu saat Andrew mulai menyendok makanan di piringnya. Pria itu memasukkan makanan ke dalam mulutnya dengan perlahan, membuat kedua perempuan di hadapannya ikut membuka mulut dan rasanya begitu gemas melihat Andrew yang sengaja sekali membuat kedua perempuan itu geram dengan memasukkan makanan dengan pelan. Andrew tergelak melihat wajah tak sabar keduanya. Mengerjai kedua perempuan itu membuat hatinya merasa begitu senang. Kedua perempuan yang mulai sadar dengan niat Andrew segera menutup mulut mereka dan mendengkus kesal secara bersamaan. “Kamu memang sengaja membuat kami nggak sabar,” Delia berkata dengan kesal, “Cepat makan dan beritahu kami bagaimana rasanya? Ya Tuhan … kita nggak sedang merada di acara perlombaan masak seperti apa yang ada di televisi, jadi berhenti berlagak seperti seorang juri professional seperti itu dan makan saja makanannya,” Lanjut Delia menggeram kesal. Gadis kecil di samping Delia ikut mengangguk. “Ya, Pa. Cepat makan dan beritahu kami rasanya. Papa harus mengaku kalah karena Dee sudah mencicipi hasil masakan kami dan rasanya sangat luar biasa. Restoran mahal pun kalah dengan masakan Tante dan Dee,” Gadis kecil itu berkata dengan penuh percaya diri, membuat Andrew tak lagi mempermainkan keduanya. Ia tak lagi ingin membuat kedua perempuan itu semakin marah dan segera memasukkan makanan yang berada di sendoknya ke dalam mulut. Pria itu memejamkan mata sembari mengunyah makan di dalam mulutnya. Ada keterkejutan yang tak bisa ia cegah. Wanita itu bisa memasak. “Bagaimana rasanya? Sudah mengaku kalah?” Tanya Delia dengan tak sabar, gadis kecil di samping Delia pun menatap pria itu dengan tatapan yang sama, “Kamu sekarang sudah tahu kalau aku sudah pintar memasak, bukan? Kamu nggak perlu bersikap sombong dan berbohong,” Lanjut Delia dengan tawa penuh kepercayaan diri, sedang pria itu segera membuka matanya. Pria di hadapan kedua perempuan tersebut menatap Delia dengan tatapan lembut. Wanita yang dulu dikenalnya memang sudah banyak berubah, namun ada sisi dirinya yang masih sama. Tampaknya, memang begitulah manusia. Tak bisa sepenuhnya berubah total, bukan? “Aku mengaku kalah, Dee. Masakanmu sangat luar biasa. Begitu enak seperti apa yang Delia katakan. Nikmatnya bahkan bisa mengalahkan masakan restoran,” Puji Andrew dengan tulus. Perkataan pria itu membuat senyum bahagia mengembang di wajah kedua perempuan di hadapannya. Kedua perempuan itu saling menepuk telapak tangan satu sama lain dan tertawa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN