“Kok bisa kecemplung gitu sih, Ma?”
“Tadi hujan,” jawab Elea. Dia tahu diri dan duduk dibelakang meped ke pintu meskipun Shakira terus mendekat padanya. Begitu sampai di mansion, Elea dipayungi oleh Gardea.
“Kamu tidur sana, udah malem.”
“Halah, bilang aja Ayah mau berduaan sama Mama.”
“Nah, itu tau. Ayo, Sayang,” ucapnya merangkul bahu Elea.
Begitu berjauhan dengan Shakira, Elea langsung menepuk tangan Gardea. “Gak usah rangkul orang stress.”
“Hahaha, kamu marah ya? Gak keliatan, Sayang. Kamu butek banget soalnya.”
“Gak usah deket-deket makannya.”
“Kangen, seharian ini kan kamu sibuk. Eh- mau kemana? Kan kamu udah setuju satu kamar sama saya, El. Kesini lah.” Menarik tangan Elea untuk masuk ke kamar Gardea yang ada di ujung koridor. Kaget juga semua barang-barangnya sudah ada disana. “Udah sepakat, gak usah teriak. Nanti capek sendiri. Sana mandi dulu.”
Dengan santainya Gardea membuka baju hingga Elea berpaling. Tidak tahan juga dengan tubuhnya yang penuh lumut, Elea masuk ke kamar mandi yang besarnya sama dengan kamar Elea. “Wahhh….” Sampai kaget mendapati Jacuzzi di dalam sana. Pemandangannya juga bagus. Balkonnya luas dengan… apa ini? “Gilaaa bisa tiduran kalau di kamar mandi inimah.”
Menggelengkan kepalanya tidak percaya. Walk in closetnya juga menyatu dengan kamar mandi sehingga Elea tidak perlu malu-malu. Pakaiannya sudah tertata disana, ada juga pakaian yang baru. apa ini untuknya? semuanya pakaian bermerk. “Ini… Channel, Cartier, LV, semuanya yang bermerk gila. Buat gue ‘kah?”
Saat Elea keluar, dia mendapati makanan di meja. Iya! Kamar ini luas sekali sampai ada sofa dan meja juga. Pokoknya tiga kali lipat dengan kamar sebelah Elea.
“Makan dulu, kamu belum makan ‘kan?”
Elea mengangguk. Tidak tahan dan duduk disofa saja menyantap makanan yang begitu enak ini. Barulah ketika Gardea duduk disampingnya, Elea menatap tajam. “Jangan deket-deket saya.”
“Kening kamu merah, tadi pas jatuh nyungseb ya?”
“Aw!” Elea baru merasakan sakitnya kala Gardea memegangnya. “Sakit ih,” rengeknya sambil mengunyah.
“Makannya ini diobatin dulu.” membiarkan saja Gardea mengoleskan salep padanya. Di sekitaran kaki juga yang mengalami memar. “Kalau pacar kamu gak jemput, telpon saya, Elea.”
“Telponnya mati.”
“Pacar kamu emang kemana?”
“Lagi sibuk magang. Dia punya kesibukan sendiri.”
“Udah punya suami yang selalu stay, tetep aja nunggu pacar. Semoga kesadarannya cepat sembuh, Sayang.”
“Ihh diem jangan sentuh.”
“Rambut kamu nanti kemakan, Sayang,” ucap Gardea gemas. Pria itu jadi lebih berani mencubit pipi Elea meskipun perempuan itu memberikan tatapan tajam dan pukulan yang kuat juga.
Gardea mah dengan entengnya tertawa, membuka pakaiannya lagi dan tidur tengkurap. “Ditunggu pijatan pertamanya.”
Elea menyelesaikan makan malam sebelum melangkah menuju ranjang. Menghela napasnya dalam dan “Jangan lari dari tanggung jawab,” ucapnya dalam hati. Elea tumbuh dengan karakter yang kuat, dan menghargai pilihannya sendiri. “Mana minyak urutnya?”
“Pake body lotion aja. Ambil di walk in closet, pinjem punya kamu aja ya.”
“Saya gak punya.”
“Ada, saya beliin banyak buat kamu, Sayang.”
Ternyata benar, dibagian skincare ada banyak merk-merk ternama yang baru. “Itu semua buat saya?” tanya Elea sambil menaiki ranjang.
“Iya, buat istri tercinta.”
“Saya gak perlu, saya bisa beli sendiri. Gak usah beliin yang gituan lagi.”
“Gak bisa, itu satu-satunya cara saya buat salurin rasa cinta saya ke kamu, Sayang,” ucap Gardea memejamkan mata menikmati sentuhan Elea dipunggung.
Kala pria itu menngerang, Elea merinding mendengarnya. “Ke bawah dikit, Sayang. Nah iya disana.”
“Bisa gak sih gak usah panggil saya pake panggilan itu?”
“Gak bisa, soalnya kamu emang kesayangan saya.”
Keras kepala. “Saya jijik dengernya.”
“Gak usah didenger aja, biarin saya suka-suka manggil kamu sayang.”
Ngeyel pula! “Jangan macam-macam ke saya hanya karena kita satu kamar.”
Gardea tertawa. “Harusnya saya yang bilang gitu ke kamu. Saya gak akan tergoda sama tubuh kecil kamu, yang ada kamu gak tahan liat tubuh sexy saya.”
“Kok body shaming?!”
“Bercanda, Sayang. kecil gitu juga pas digenggaman kok.”
“Diem ih!” PLAK!
“Aduh sakit. Jangan dipukul, Sayang.”
Semakin Gardea menjadi-jadi, semakin Elea berani melayangkan pukulan padanya.
***
“Cieee yang semalem tidur bareng Mama. Gimana, Yah? Berhasil?”
“Lumayan lah, Cuma masih ganas aja.” Gardea turun lebih dulu, tadi dia membangunkan Elea dengan mengecup pipinya dan berhasil membuat perempuan itu berteriak memarahi Gardea. Sayangnya Gardea tidak mendengarkan, kata-kata menyakitkan itu keluar lagi dari telinganya.
“Kira dikasih banyak tips dari Kakek Nenek tentang Mama, siapa tahu kan guna buat Ayah.”
“Gak perlu, orang Ayah udah tahu semuanya juga.”
“Bener juga sih.” senyuman Shakira langsung terbit ketika melihat kedatangan Elea. “Mama! duduk disini, deket Kira.”
Enggan menatap Gardea, Elea duduk di dekat Shakira dan membiarkan anak perempuannya itu menempel padanya. beberapa kali Elea memperlihatkan bahasa tubuh yang tidak nyaman. “Awas dulu, ini mau makan.”
“Bibi belum selesai siapin makanannya, mau peluk Mama dulu,” ucapnya menempelkan telinga di d**a Elea.
Perempuan itu menghela napasnya dalam. Hendak mendorong tapi terhentikan oleh kalimat, “Kangen Mama.”
Terasa sangat…. Menyesakan. Yang Elea tahu kalau mantan istri Gardea ini sudah meninggal. Anak ini pasti merindukan ibunya. Jadi secara refleks, Elea mengelus rambut Shakira yang membuat perempuan itu tersenyum.
“Shakira bakalan lebih bahagia kalau dikasih adek, Sayang.”
“Bisa tidak omongan bapak dijaga? Saya gak nyaman.”
“Tapi bener kok, Ma. Aku bakalan seneng banget kalau punya adek baru lagi,” ucapnya sambil mengadahkan kepala.
Tatapan Shakira tampak sendu, Elea jadi tidak tega. “Awas dulu, itu bibi udah selesai. Ayok makan.”
“Nanti Kira pulangnya cepet. Mama juga ‘kan? temenin Kira belanja yuk, Ma.”
“Liat nanti aja,” ucap Elea focus makan.
“Kalau Mama kesel sama Ayah, bilang aja ke Kira. Nanti Kira kasih bogem buat Ayah.”
“Ya kalau Ayah kena bogem, kamu gak akan dapet jatah duit, Kira,” ucap Gardea tidak mau kalah.
Yang segera Shakira injak kaki sang Ayah dibawah meja untuk memberikan kode. Paham dengan apa yang dikatakan sang anak, Gardea langsung berucap, “Gak macem-macem, masa iya sama istri tercinta bikin kesel. Enggak ‘kan, Sayang?”
Elea sih mengabaikan, dia tetap makan dengan tenang. Sampai ketiganya tinggal berangkat, Shakira pergi dulu ke lantai atas mengambil buku yang ketinggalan.
“Oh iya, Sayang….”
“Ih jangan sentuh.”
“Hahah, deketan dulu, saya mau berbisik.” Menunduk untuk membisikan, “Kesepakatan terakhir kita tentang kamu yang kecup saya…. Gak perlu deh, alihin itu buat Shakira ya,” ucap Gardea kemudian mencium kening Elea.
Kali ini perempuan itu diam, bukan karena kecupan Gardea, tapi karena pilihan pria itu yang menandakan kalau dia sangat mencintai anaknya.
“Ciee yang diem aja dicium. Mulai terbiasa ya, Sayang?”
“Apasih ih!”
“Mama berangkat sama Ayah ‘kan?!” tanya Shakira yang masih berjalan di tangga. “Nanti pulangnya kalau lebih cepet, telpon supir aja ya, Ma. biar gak nunggu kayak kemaren.”
“Mana boleh, telpon suami lah. Apasih yang enggak buat si Cantik ini.”
Elea sampai berdehem. “Gak tau, liat nanti aja pulangnya jam berapa.”
“Okedeh, aku berangkat dulu ya, Yah.” Mencium tangan Gardea dan memeluk pria itu sebelum beralih pada Elea. Karena sang Mama masih tampak canggung, Shakira hanya tersenyum. “Dah, Mama.”
“Tunggu dulu,” ucap Elea menahan tangan Shakira kemudian memeluk anak sambungnya. “Hati-hati.”
***
Shakira berangkat dengan supir, sementara Elea masih tetap dengan Gardea. “Tadi kamu gak cium Shakira, bagus sih mending peluk aja. Berarti ciumannya masih punya saya ya, Sayang?”
Elea diam, malas sekali menanggapi pria ini.
“Kalau udah selesai kuliah, nanti hubungi. Jangan sampai kayak kemaren. Jam berapapun, saya bakalan datang buat kamu.”
“Ke depannya, saya bakalan sama pacar saya. Gak usah ikut campur.”
“Gak ikut campur, saya gak suka aja perempuan yang saya cintai ini malah mennderita menunggu yang tidak pasti. Mending sama saya aja, udah pasti dikasih kebahagiaan lahir bathin. Selain punya harta gede, itu saya juga gede.”
“Ihh m***m,” pekik Elea tidak suka.
Gardea langsung tertawa. “Emang apa? Pikiran kamu kotor banget mikirnya kesana.”
“Bapak itu hakim, harusnya bisa jaga attitude.”
“Saya gak bisa nahan diri kalau didepan kamu. Perasaan saya meledak-ledak, maunya mengekpresikan rasa cinta saya, Sayang.”
“Makasih buat tumpangannya,” ucap Elea bergegas keluar.
Tapi Gardea menahan tangannya hingga Elea menoleh dan mereka bertatapan. “Jangan ikut campur perihal permasalahan korupsi Wakil Rektor II, itu sudah bukan ranah kamu. Yayasan dan Pak Danu pasti gak akan tinggal diam. Tanpa ikut andil ke arah sana, semua orang tahu kalau kamu Presiden Mahasiswa yang hebat. Ambil waktu sejenak untuk istirahat, Sayang,” ucap Gardea dengan lembut dan tatapan yang tajam. Bahkan Elea tidak bisa bergerak ketika tangan pria itu mengelus pipinya. “Kamu hebat, jangan dengarkan tuntutan dari mahasiswa. Gak semua masalah bisa kamu selesaikan.”
CUP. Gardea kembali mengecup kening Elea. “Kalau kamu gak kecup, biar saya aja. Semangat belajarnya ya, Sayang. I Love you.”
Begitu kesadarannya datang, Elea mendorong d**a Gardea pelan. “Minggir ah.” Dan keluar dari sana dengan terburu-buru.
Gardea memastikan dulu sang istri masuk dengan selamat. “Harus ajuin ke Yayasan biar itu got ditutup,” gumamnya. Sebelum melajukan lagi mobil, Gardea menghubungi seseorang di PN terkait anak magang. Dia ingin menekan supaya….. “Hallo? Anak yang magang di pengadilan harus keluar sesuai standart yang kita buat. Jadi libatkan dia dalam beberapa hal supaya tahu bagaimana sibuknya Pengadilan.”
“Baik, Bapak.”
Jika Gardea tidak bisa mengendalikan hati Elea, maka dia akan mengendalikan orang-orang disekitarnya. Tentang hati sang istri, Gardea lebih mengharapkan Elea jatuh cinta sendiri padanya. sampai Gardea mengarahkan spion dalam mobil padanya sendiri. “Ganteng macho gini, lama-lama dia juga luluh.”
***
Karena proker baru saja selesai, maka Elea memberi jeda pada teman-temannya untuk istirahat sebelum memulai lagi proker lainnya. Kali ini dia ingin focus perkuliahan juga sebelum ada tugas eksternal.
“El?”
Elea menoleh, itu Reynaldi yang sejak kemarin tidak bisa dihubungi. “Kakak kemana ajasih?! Aku kesel tau kemaren nunggu kakak!”
“Hei, maaf,” ucapnya menarik Elea ke dalam pelukan. “Kakak lembur, ada kerjaan disana sama yang lain. Ponselnya rusak jadi gak bisa hubungi kamu. Keadaannya gak memungkinkan buat keluar juga. Maaf ya.” Reynaldi bahkan mengeluarkan permen dan satu tangkai bunga untuk sang kekasih. “Sorry.”
Makannya Elea luluh dan memeluk kekasihnya lagi. “Kirain Kakak kemana ih.”
“Enggak kemana-mana kok.”
“Sekarang? gak magang?”
“Bimbingan dulu kesini, abis itu kesana lagi. Gak papa kan?”
“Gak papa, aku juga tau kok kalau kakak sibuk. Tapi nanti hubungi aku ya, jangan bikin aku khawatir.”
“Iya, Cantik.”
Sedang sibuk berduaan, seseorang memanggil Elea dari lantai dua. Itu Septiani sekretarisnya di BEM sekaligus teman sekelasnya. “Kita kunjungan ke PTN hari ini!”
“Hah?! Kok mendadak sih?!”
“Iyaa, ayok cepetan!” teriak Septiani.
Elea memandang sedih pada Reynaldi, mereka baru saja bertemu tapi sudah mau berpisah.
“Gak papa, El. Kan emang kita sama-sama sibuk. Sana kuliah dulu yang betul ya.”
Berpisah dengan sang kekasih untuk bergabung dengan kelasnya. Hari ini ada dua kelas yang akan pergi ke PTN. Katanya, mereka akan menyaksikan persidangan tingkat banding dalam perkara Pidana yang terbuka untuk umum. Katanya, hari ini kebetulan bagian pembacaan putusan.
Para mahasiswa itu menaiki bus kampus menuju PTN. Elea duduk bersama dengan septiani supaya sambil membicarakan tentang Ormawa. “Nantinya gue focus di eksternal dulu, proker kali ini pegang sama lu dulu ya. Nanti kalau perlu bantuan, lu bisa hubungin gue.”
“Aman, lu beresin aja dulu di eksternal. Biar nanti nama BEM kita juga bagus diluar.”
Sesampainya di PTN, orang-orang sampai terkagum dengan bangunannya yang megah. Berbeda dengan Elea yang malas. Dia pasti bertemu dengan Gardea.
Apalagi mereka semua diiring menuju sebuah ruangan rapat, dan beberapa orang yang diyakini para hakim itu masuk memberikan sambutan. awalnya terasa membosankan, dimana Elea sendiri memilih memainkan ponsel dan bertukar kabar dengan sang kekasih.
Sampai tiba-tiba tterdengar riuh para wanita, Elea penasaran dan melihat kedatangan seorang pria yang menjadi pusat perhatian.
“Gilaaa! Hakim ketuanya ganteng banget.”
“Bikin Rahim anget!”
“Beuhhh, keren banget gak sih?”
“Ototnya ya ampun.”
“Mana masih muda juga.”
Elea risih dengan para wanita yang membicarakan Gardea. Namun jika dilihat, Gardea memang berpenampilan beda, dia mencukur rambut dan jambangnnya. Ditambah dengan jubbah kebesarannya sebagai Hakim Ketua panel. Sepertinya Gardea akan memimpin persidangan.
Ya ampun, memang terlihat begitu menawan dan penuh wibawa. Apalagi ketika Gardea melakukan sambutan. “Cukup? Ada yang ingin ditanyakan terkait peraturan disini?”
Salah satu mahasiswi mengangkat tangannya. “Saya Silvia Fauziah izin bertanya. Sedikit melenceng dari pembahasan, saya ingin bertanya apakah bapak sudah punya istri?”
Yang langsung disoraki oleh teman-temannya. Gardea mengangkat alis dengan wajah yang tetap datar. “Ahh itu pertanyaan pribadi. Tapi terkadang saya mencermin prilaku orang lain untuk melihat apakah ini lazim atau tidak. Saya ingin bertanya dulu, apakah disini ada Presiden Mahasiswa.”
Elea langsung membulatkan mata ketika semua mata tertuju padanya, dia mengangkat tangan. “Saya…”
“Nah, bolehkah saya bertanya, apakah anda sudah punya suami?” tanya Gardea.
Yang berhasil membuat Elea menelan salivanya kasar. “Saya tidak punya suami, tapi sudah memiliki pacar.”
Gardea tersenyum dengan santai kemudian berucap, “Bercermin dari Presma kalian, saya akan menjawab pertanyaan itu. Saya sudah punya anak, tapi saya masih lajang.”
Dan entah mengapa, hal itu membuat Elea kesal apalagi banyak mahasiswi yang saling berbisik mengatakan betapa mereka mengincar Gardea. Berani sekali pria itu!