Pangeran Berkuda Besi

1846 Kata
Berbeda dengan kebanyakan orang, Gardea memilih mengagumi ciptaan Tuhan yang begitu cantik. Gardea terkekeh sendiri, “Hahaha, dulu waktu kamu bayi juga suka mangap kayak gini. Tapi tetep cantik kok.” Dirasa Elea akan terbangun, Gardea segera menutup mata untuk bersandiwara. Elea langsung tersadar kalau semalam dia tidur dalam dekapan Gardea yang tidak memakai baju. Sejenak, Elea menarik napasnya dalam dan meyakinkan kalau ini salahnya juga yang takut akan petir. “Tenang, Elea… Tenang…. Jangan brutal,” ucap Elea pada dirinya sendiri. Tubuh Gardea ini benar-benar besar, sebagiannya saja hampir menutupi seluruh tubuh Elea. Ditambah badannya begitu tinggi, Elea hanya sampai batas dadanya saja. Sampai Elea heran, kok bisa sudah setua ini masih memiliki otot yang bagus. “Heran…” “Gak usah heran, emang saya tampan dari lahirnya.” “Ihhh gak tidur,” teriak Elea kesal dan mencoba melepaskan Gardea yang memeluknya. “Lepas gak?! Jangan sentuh saya!” “Aduh! Teriakan kamu bikin telinga sakit.” Gardea langsung memegang kuping hingga Elea punya kesempatan untuk berdiri. Menunjuk pada Gardea dengan wajahnya yang menahan amarah. “Kenapa?” Tanya Gardea dengan santai. “Bukan salah saya, kan kamu yang takut petir semalam. Lagian sama-sama untung, Sayang. Kan kamu berlindung di saya, terus saya bisa peluk kamu.” “Jangan panggil saya Sayang. Dan stop bicara.” “Selamat pagi, Sayang.” “Aaaaa diem!” teriak Elea dan berlari ke kamar mandi. Gardea tertawa terbahak-bahak melihat tingkah sang istri. Seorang Hakim itu pandai apalagi dalam membaca raut wajah, kenyataannya sekarang Elea sedang memegang pipinya sendiri di kamar mandi. Rasanya panas melihat tubuh Gardea yang atletis. Reynaldi saja tidak sebagus itu. “Ih jangan gitu, lu kan cinta sama Kak Rey, Cinta itu gak mandang fisik,” ucap Elea pada dirinya sendiri. Namun hal mengerikan lainnya yaitu saat Elea lupa tidak membawa pakaian, hanya ada handuk di kamar mandi. “Elea Sayang? cepetan, saya mau ke kamar mandi.” “Bentar ih!” teriaknya kesal. “Saya udah pake baju kok, jadi gak usah khawatir tergoda lagi. ayok cepetan keluar. Kan kamu juga harus prepare buat acara hari ini.” Sial! Elea harus berangkat cepat. Mendekat pada pintu dan berteriak, “Merem! Saya lupa gak bawa baju!” “Wow, rezeki saya dong?” “Ihhh!” “Hahahaha, iya ini merem, cepetan keluar.” “Awas kalau bohong,” ucap Elea. “Kalau ngintip, nanti gak dipijitin malem.” “Ini udah merem.” Perlahan membuka pintu kamar, menatap Gardea yang sedang membelakangi. Menyebalkan sekali karena walk in closetnya ada di sisi yang lain. Jadi Elea berlari supaya Gardea tidak melihat. BRUK! Tapi Elea terpeleset karpet yang membuatnya jatuh. “Aaaa… sakit…” Gardea refleks datang pada sang istri, dia tidak bisa mengabaikan Elea yang kesakitan. Menggendong Elea dan mendudukannya di bibir ranjang. “Mana yang sakit?” “Pinggang,” ucap Elea membiarkan Gardea mengelus bagian itu, memijatnya sedikit sampai Elea sadar. “Ih! Lepas!” “Diam, Elea. Saya Cuma bantu kamu,” ucap pria itu dengan suara yang datar. Elea malu, dia hanya memakai handuk yang melilit di tubuh. Membuat Elea memeluk dirinya sendiri. Gardea malah terkekeh. “Gak usah segitunya. Saya cinta sama kamu, tapi saya juga sadar kalau tubuh kamu gak terlalu menarik. Terlalu kecil soalnya, coba kalau gemukan dikit. Apalagi bagian itunya.” Elea menatap kemana arah pandangan Gardea dan langsung menyilangkan tangan di d**a. “m***m!” “Hahahaha! Tapi gak terlalu buruk kok, kayaknya pas digenggaman tangan saya.” “Ihhhh!” “Udah gak sakit ‘kan? sana pake baju. Jangan lari-lari lagi ya, Sayang.” Gardea mengusak rambut Elea sebelum berjalan ke kamar mandi sambil tertawa Elea yang kesal itu melemparkan bantal dan mengenai punggung Gardea. Tapi percuma saja, tubuh Gardea kokoh layaknya gapura kabupaten. Dia tidak terganggu sedikitpun, malah bantalnya yang mental. *** “Kok Mama baru bilang sekarang sih? Mau ke luar Negara?” “Mendadak, Papah kamu ada kerjaan disana. Mama ikut aja sekalian liburan ‘kan? lagian kamu udah bisa ditinggal. Kalau mau ke luar Negara, bulan madu aja sama suami kamu. Iya ‘kan, Nak?” Gardea terkekeh dan menganggukan kepalanya. “Nanti saya bawa Elea keliling Eropa kalau dia sudah sibuk. Kalau kamu udah gak sibuk, kasih tau ya Sayang.” Elea hampir muntah mendengar panggilan itu, dia hanya tersenyum dengan hambar. Kali ini dia memeluk erat sang Mama ketika hendak pergi, katanya kedua orangtua Elea akan pergi selama beberapa minggu. Papahnya bergerak di industry teknologi, jadi perlu ke luar Negara untuk urusan bisnis. “Gardea, terima kasih atas bantuan kamu hingga saya bisa terkoneksi dengan orang Amerika itu,” ucap Dandi ketika Gardea berpamitan. “Elea, kamu harus jadi istri yang baik, nurut sama suami ya?” “Iya, Papah.” Meskipun dalam hatinya, Elea enggan melakukan itu. “Ayo, Sayang. udah kan gak ada yang ketinggalan?” Semakin muak ketika Gardea bertingkah seolah mereka adalah pasangan yang serasi, merangkulnya ketika masuk mobil. Zahra sampai menggelengkan kepalanya tidak percaya. “Kok Elea secepat itu ya luluhnya?” “Mungkin Gardea udah bilang apa yang dia lakukan di masa lalu buat Elea, jadi anak itu ikut mikir.” Dandi merangkul sang istri melihat kepergian mobil tersebut. “Gardea udah bikin kita berjanji gak bahas hal-hal dimasa lalu, jadi udah aja biarin itu jadi urusan mereka.” “Iya, Pah.” Padahal, Elea masih belum mendapatkan jawaban yang memuaskan. “Apasih yang udah Bapak lakuin sampe bikin orangtua saya ngerasa tertolong banget.” “Aduhh dipanggil bapak bukan anda lagi, OTW manggil Mas nih kayaknya ya?” Elea memutar bola matanya malas. “Gak usah jawab kalau gak mau.” Memiringkan tubuh menatap keluar jendela, malas sekali bicara dengan pria modelan seperti ini. “Kan udah bilang, saya cinta dan sayang sama kamu. Makannya mereka mau kasih kamu ke saya, Sayang.” Elea mendengarkan, tapi tidak menanggapi. Barulah ketika dia mulai sampai ke kampus, Elea menelan salivanya kasar. “Udah deal kan sama perjanjian kita? Jangan urusin urusan saya.” “Iya, kita udah Deal. Asalkan kamu juga harus ingat tugas kamu,” ucap Gardea menyodorkan pipinya. Elea benci! Dia ingin menampar pipi pria itu, tapi lebih menyayangi diri sendiri daripada nanti dimarahi kedua orangtua. “Bisa gak sih permintaannya yang lebih masuk akal? Minta dimasakin atau apa, ini memanfaatkan keadaan.” “Memang iya, selagi ada kesempatan deketan sama kamu ya kenapa enggak? Lagian, Sayang… kalau kamu masak, nanti dapur meledak. Mending ledakin aja hati saya. Yuk kecup.” Menahan rasa mual, Elea mengecupnya sepersekian detik. CUP. Kemudian langsung mengambil tissue dan mengelap mulutnya dengan kuat. “Jangan ganggu saya.” “Nanti pulangnya dijemput ya.” “Pulang duluan, saya mau sama pacar saya. SETIAP HARI,” ucapnya penuh penekanan. Gardea menghela napas dalam. “Okey, kamu pulang sama dia nanti.” BRAK! Menutup pintu mobil dengan kasar. Gardea menurunkan kaca dan berteriak, “Semangat, Sayang. I Love You.” Yang seketika membuat Elea mengedarkan pandangan dengan panic. Saking kesalnya pada Gardea, Elea membuat kepalan tangan seolah mengancam dengan tatapan yang tajam. “Lucu banget sih,” ucap Gardea. Begitu kaca mobil naik, Gardea langsung memasang wajah datarnya dan pergi ke PTN untuk melaksanakan tugasnya sebagai Hakim Ketua. *** Elea langsung disibukan dengan persiapan kajian yang diadakan di Fakultas Hukum. Pesertanya bukan hanya dari Fakultas Hukum saja, tapi terbuka untuk Mahasiswa Thribhuana, dan Elea kaget karena banyak yang datang. Belum lagi para tamu undangan dari jajaran pejabat structural. Sayang sekali kekasihnya tidak datang dan melihat kehebatan Elea karena dia tengah sibuk bimbingan skripsi dan magang di PN. Namun, Reynaldi menjanjikan kalau dia akan datang menjemputnya sambil makan malam. Dan untungnya, kajian kali ini sukses meskipun kendalanya adalah banyaknya audiens. Bahkan jajaran pejabat kampus saja memberi Elea ucapan selamat. “Kajiannya bagus, El. Next proker semoga lebih menginspirasi lagi ya.” “Ada titipan salam dari Pak Danu. Maaf karena beliau tidak bisa datang dikarenakan sedang keluar kota. Pak Rektor bilang proker selanjutnya akan beliau awasi langsung.” “Selamat ya, Elea. Bagus sekali.” Dan setelah selesai kajian, semua anggota BEM membereskan ruangan sebelum berkumpul di ruangan secretariat. Elea memulai evaluasi pada anggotanya dengan bahasa yang formal. “Terima kasih karena sudah sejauh ini membantu mensukseskan kajian kali ini. Kalian harus lebih siap untuk tiga poker unggulan kita, diantaranya Festival kampus, pekan raya kampus dan Seminar Hukum. Untuk Festival kampus sudah menembus Rektorat, Pak Rektor sendiri sudah menyetujui dan tempatnya antara Gor dan halaman kampus. Sebelumnya kita baru mendapatkan 17 potensi dari para mahasiswa di bidang wiraswasta, kita harus menjangkau lebih banyak lagi. terlepas dari itu, kajian kali ini berjalan sukses dan semuanya berkat kalian.” Kalau sudah duduk sebagai ketua presma seperti ini, Elea tampak tidak terbantahkan. “Tapi jangan terfokus saja dengan proker internal kita, ada beberapa masalah eksternal yang harus kita hadapi. Tapi, itu lain kali saja. Kita buat forum internal untuk membahas RUU yang sedang naik daun.” Menutup rapat kemudian mempersilahkan anggotanya untuk pulang lebih dulu. Mereka berpamitan, saling memeluk dan memuji satu sama lain. “Press, lu gak pulang?” “Nggak, gue nunggu laki.” “Cieee yang udah resmi jadian. Gue duluan deh kalau gitu.” “Duluan aja, Hati-hati dijalan guys.” Elea masih bertahan di secretariat sendirian disaat para anggotanya sudah pulang dan hari sudah malam. “Haduh, kemana sih ini Kak Rey?” tidak membalas pesan juga. Untuk mengisi rasa bosan, Elea melihat perkuliahannya. “Ada kunjungan ke PTN…. Nanti disana ada si Kakek nggak ya? ya pasti ada lah, dia hakim ketua kan,” ucapnya bergumam sendiri. “Terus…. Ada rapat eksternal sama para Presma dari kampus lain di luar kota…. Haduh….. full banget. Belum lagi nanti persiapan orasi, RUU nya kocak banget ini.” Sampai Elea tidak sadar kalau hari sudah mulai gelap dan batre ponselnya habis. “Ini Kak Rey kemana sih?” elea mulai ketakutan, biasanya salah satu anggota BEM akan menemaninya disini, tapi sekarang mereka semua pulang karena lelah. Elea terus menunggu, mengabaikan dirinya yang belum makan malam sampai ponsel kehabisan baterai. Elea shock, dia tidak membawa kartu ATM, ponselnya mati dan tidak ada uang tunai. Bagaimana cara dia pulang sekarang? “Hujan lagi ah!” kesalnya keluar dari secretariat dan berniat untuk pergi ke halte. Namun akibat hujan yang deras, Elea tidak bisa melihat dengan jelas dan… BRUK! BYURRR! Dirinya jatuh ke sekolan kecil yang ada di dekat tempat ibadah. “Ahh sial!” teriaknya merasa hari ini penuh dengan kesialan. Keluar dari sana dengan basah kuyup dan baju yang hitam akibat terkena air selokan. Ketika Elea menghentikan taksi untuk mengantarkannya pulang. Mereka menolaknya dengan alasan Elea kotor. Dan itu hampir saja membuat Elea menangis, ini sudah sangat larut, hujan tidak berhenti pula. Sampai dia melihat sebuah mobil yang sangat dikenali. Seorang anak perempuan keluar dari mobil disusul oleh ayahnya. “Mbak? Fakultas Hukum jam segini masih dibuka nggak?” “Shakira, jangan ngomong sama orang stress,” ucap Gardea. “Sini, nanti kamu ketularan kotornya. Mana bau lagi.” “Saya bukan orang stress!” “Loh, Mama?” “Waduh mampus saya,” gumam Gardea menelan salivanya kasar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN