PROLOG
“El, gue udah dapetin pemantik yang lu mau buat acara Kajian minggu besok. Dekan bilang dia bakalan datang, tanpa bayaran,” ucapan sang wakil Presiden Mahasiswa itu tidak didengarkan sama sekali. Karena sosok Elea yang sibuk bermain game di ponselnya. “El? Denger gue gak sih?!”
“Jangan diganggu, Mat. Baru push rank dia,” ujar perempuan yang menjabat sebagai sekretaris. Septiani memberikan kopi untuk Rohmat. “Elea udah duga kok kalau kita bakalan dapetin itu Dekan.”
“Yeayyyy! Gue menang!” teriak Elea akhirnya menyelesaikan game, dia meregangkan ototnya dan mengedarkan pandangan ke sekitar. “Berantakan banget secretariat gue! Bersihin napa!”
“Lu Ketuanya juga ikut-ikutan jorok, anggotanya juga samalah.”
“Gue tuh capek. Harus ajuin proposal ke lembaga biar proker kita jalan, kalian semua harusnya bikin gue seneng seenggaknya dengan bersihin ini tempat,” ucapnya sambil menggerutu dan memakai jaket. “Gue mau pulang ah. Udah mau malem nih.”
“Gue berhasil dapetin Pak Dekan.”
“Jelas berhasil, orang mereka takut sama gue.” Membanggakan dirinya sendiri. “Septi, lu urus sisanya ya. Gue mau pulang.”
Harusnya Elea tetap di secretariat untuk persiapan Kajian minggu depan, namun para anggota jelas tahu bagaimana lelahnya menjadi presiden mahasiswa. Menjadi delegasi Universitas dan melakukan berbagai pertemuan external. Terlepas dari hal itu, Elea selalu menjadi tameng dari anggotanya jika ada proker yang tidak berjalan sesuai rencana, maka Elea akan menghadap langsung pada lembaga.
Elea kerap kali menjadi pemantik para mahasiswa untuk mengajukan protes terhadap kebijakan-kebijakan kampus maupun pemerintah yang tidak sesuai dan dirasa keterlaluan. Orasinya selalu mampu membangkitkan semangat. Elea menjapatkan julukan sang penggerak reformasi mahasiswa.
“Elea?” panggil seseorang ketika Elea hendak memasuki mobilnya.
“Iya, Pak?” ternyata itu Dekan Fakultas Hukum.
“Bapak mau ngobrol sama kamu. Ada waktu?”
“Ini sudah sore, Pak. Saya harus pulang. Besok saya ke ruangan bapak.”
“Ini penting.”
“Saya tahu, ini tentang potongan iuran mahasiswa ‘kan, Pak?”
Dekan tersebut menghela napasnya dalam. “Jangan macam-macam, Elea. Kamu bukan hanya berhadapan dengan para pejabat structural, tapi juga dengan Yayasan.”
“Pak, saya hanya menyuarakan kebenaran. Mahasiswa seharusnya mendapatkan potongan dua juta, kenapa hanya 1,7 juta yang mereka terima?” tersenyum dengan manis sebelum berpamitan. “Besok lagi kita bahas ini ya, Pak.”
Perempuan bersia 21 tahun itu mengendarai mobilnya kelua dari parkiran Fakultas Hukum. Melewati hujan rintik dan hari yang mulai gelap. Elea hendak pulang ke rumahnya, tapi sayangnya jalanan macet hingga Elea memilih mengambil jalan alternative. Namun, rencananya berantakan ketika mobilnya tiba-tiba berhenti.
“Loh?” Elea mengembungkan pipinya kesal. Keluar dari mobil dengan menggunakan payung dan membuka kap mobil untuk melihat bagian mana yang rusak. “Ck! Mana hapenya mati lagi.”
“Hai, Cantik,” panggil seseorang dari belakang.
Jalanan yang sepi, jauh dari pemukiman dan sekelompok pria mendekat. Elea tidak bodoh untuk mengetahui apa yang akan mereka lakukan. Dia bergegas masuk ke dalam mobil, tapi salah satu pria itu menahan pintu, kemudian yang lainnya menarik tangan Elea dari belakang.
“Gass lah mumpung sepi.”
Elea pintar bela diri, dia melawan pria-pria itu hingga mereka berteriak kesakitan. Namun, Elea kalah jumlah, tangannya dipegang hingga gerakannya terbatas. “Lepasssss!” teriak Elea kesal.
Dengan sisa tenaganya, Elea menggigit tangan salah satu pria itu, menendang k*********a dan memukuli mereka semua. Bukan hanya para pria itu yang terluka, kaki Elea juga ditahan ketika hendak lari hingga menyebabkannya terjatuh hingga keningnya berdarah.
Elea kembali melawan hingga akhirnya tubuhnya bebas. Namun mustahil masuk ke dalam mobil, karena mereka mulai bangkit lagi. Jadi Elea berlari sekuat tenaga mengabaikan darah yang menetes di dahi dan rasa pening yang melanda.
Hingga akhirnya Elea sampai di daerah perkotaan. “Tolong…,” ucapnya pada pria yang pertama kali dia lihat. Tubuhnya limbung dan ditangkap oleh pria berjas tersebut. “Tolong saya…...” Dan Elea kehilangan kesadarannya saat itu juga.
***
“Ayah, itu siapa?” tanya seorang anak perempuan berusia 15 tahun yang sedang menunggu kedatangan sang Ayah.
“Kira, suruh Bibi panggil dokter, terus minta dia naik ke atas.”
“Huh? Iya, Ayah.”
Pria berjas itu menaiki tangga dan membawa perempuan muda ini ke rumahnya. Dia baringkan Elea di atas ranjang dengan hati-hati. Sejenak, dia memandang wajah cantik yang terlelap. Dia usap darah yang mengalir dari dahinya. Meskipun tampak berantakan, perempuan ini masih terlihat cantik dan menawan.
Gardea tersenyum, tangannya terulur membereskan anak rambut yang menghalangi. “Kamu aman sekarang,” ucapnya dengan penuh kelembutan.
“Pak Gardea?” panggil sang pembantu. “Saya sudah panggil dokternya.”
“Tolong bantu ganti bajunya, Bi. Pakai baju punya Shakira saja.”
“Baik, Pak.”
Gardea keluar dari kamar, dimana dia langsung berhadapan dengan putrinya yang menatap penasaran. Dia usap pipi gadis itu. “Dia anak temennya Ayah. Kira makan duluan ya, Ayah nanti nyusul.”
Tapi Shakira tidak menuruti perintah Ayahnya, dia masuk ke kamar tersebut untuk melihat perempuan muda yang terluka. Senyumannya terbit kala melihat wajah perempuan itu. “Bi, mirip Bunda ya wajahnya?” tanya Shakira dengan antusias. “Mirip banget ih, Cuma yang ini garis rahangnya tegas banget ya, Bi, ya?”
“Non, makan duluan. Tadikan Bapak udah minta.”
“Mau disini aja nemenin Kakaknya bangun.” Bahkan Shakira tetap disekitaran Elea ketika dokter datang. Anak itu ikut banyak bertanya tentang keadaannya, dan bisa menghela napas dalam ketika mendengar sosok ini baik-baik saja.
Gardea yang selesai membersihkan diri itu kembali ke kamar dan mendapati sang anak ada disana. “Kira, kenapa masih disana?”
“Yah, kakaknya mirip Bunda ih. Lihat, Yah!”
“Ayok turun. Kakaknya nanti dijemput sama Ayahnya.”
Melihat raut wajah sang Ayah yang tampak kesal, Shakira akhirnya ikut turun ke bawah dan makan malam bersama dengan Ayahnya. Setelah makan malam selesai, Gardea menyuruh anak perempuannya untuk segera masuk kamar dan belajar. Padahal, Shakira masih ingin menghabiskan waktu melihat wajah cantik Elea.
Tidak sampai 30 menit kemudian, seorang pria yang lebih tua dengan Gardea datang. “Pak Gardea, dimana Elea?”
“Dikamar, kata dokter dia baik-baik saja. Tapi belum sadarkan diri.”
“Gak papa, biar saya bawa.”
“Nanti saya mau ngobrol.”
Pria itu mengangguk. “Iya, saya bawa dulu Elea ke mobil.”
Setelah memindahkan Elea ke dalam mobil, barulah pria itu duduk di sofa yang sama dengan Gardea. “Sudah lama kita tidak ketemu, bagaimana keadaan Bapak?”
Gardea diam tidak menjawab.
“Saya kaget Bapak menghubungi secara tiba-tiba,” ucap pria itu sambil menatap Gardea.
“Minum dulu. Saya gak akan minta apa-apa kok. Hanya ingin mengobrol saja. Melihat Elea sudah dewasa, saya sadar bahwa waktu berlalu begitu cepat.”
Pria bernama Dandi itu tersenyum. “Elea tumbuh menjadi anak yang baik dan pintar. Semuanya berkat Bapak.”
“Saya menemukan Elea dalam keadaan tidak baik. Ada orang yang berniat jahat padanya.”
Dandi terkekeh. “Iya, Pak. Elea menjadi Presma di salah satu kampus sekarang. Dia banyak melakukan protes terhadap pemerintah dan kampusnya sendiri. Saya sendiri khawatir, dia rawan dibenci orang.”
Gardea tersenyum. “Dia tumbuh jadi wanita pemberani.” Memandang cangkir tehnya dan membayangkan wajah Elea kecil yang masih terpatri dalam ingatannya meskipun sudah berlalu bertahun-tahun sebelumnya.
Dan Dandi melihat tatapan itu.
“Jaga Elea dengan baik.”
“Bagaimana kalau Bapak sendiri yang menjaganya?”
“Maksudnya?”
“Saya ingin anak saya berada di tangan orang yang tepat. Saya rasa, bapak bisa melindungi Elea dengan baik. Saya ingin Bapak menikahi Elea.”
***
“Mama?” gumam Elea ketika dia membuka matanya. Teringat kalau sebelumnya dia hampir celaka. “Ini…?”
“Kamu dirumah, semalam ada yang nolong kamu.”
“El takut banget, Ma,” ucapnya langsung memeluk sang Mama dengan erat. “Banyak cowok yang mau jahatin El.”
Zahra hanya mengelus punggung anaknya tanpa mengatakan apapun, berhasil membuat Elea melepaskan pelukan dan bertanya, “Kok Mama gak keliatan khawatir sih?”
“Kan kamu udah aman sekarang. Kamu ada disini,” ucap Zahra menggenggam tangan sang anak.
“Udah bangun anaknya? Udah dibilangin?” tanya Dandi yang masuk ke kamar anaknya.
“Bilangin apa, Pah?” Tanya Elea kebingungan.
“Nanti dulu, Mas. anaknya baru bangun ini.”
“Ya mumpung udah bangun. Langsung aja dibilangin sekarang.”
Elea mendengarkan dengan seksama kalau orangtuanya berniat menikahkannya dengan pria pilihan mereka. “Dia udah kerja, udah punya anak juga. Mantan istrinya meninggal dunia, jadi gak usah khawatir. Dia bisa jaga kamu dengan baik, Elea.”
Elea tertawa. “Kalian bercanda ‘kan? Elea nikah sama bapak-bapak gak dikenal yang udah punya anak? kalian gila ya?”
“Jaga bicara kamu, Elea. Papah tahu yang terbaik buat kamu.”
“Kasih alasan yang logis, kenapa Elea harus menikahi pria pilihan Papa?”
“Karena Papa adalah orangtua kamu dan tahu yang terbaik buat kamu.”
“Dengan menikahkan anak gadis satu-satunya sama duda beranak? Kalian sinting! Elea gak mau!”
Dandi menahan amarahnya. “Papa selama ini izinin kamu buat lakuin apapun yang kamu mau. Sekarang Papa Cuma minta kamu menikah sama pria pilihan Papa. apa itu sulit?”
“Papa gak masuk akal! Kenapa tiba-tiba? Alasannya juga gak logis. Pasangan yang terbaik buat Elea yaitu pasangan yang Elea cintai, dan mencintai Elea.”
“Sayang…. denger….” Zahra menenangkan sang anak. “Ini memang yang terbaik buat kamu. Kamu akan bahagia dengan suami kamu nantinya.”
“Ma? seriously? Mama ikut-ikutan juga? Gak mau!”
“Jangan membangkang, Elea. Kami hanya mau yang terbaik untuk kamu. Hei, kamu mau kemana? Elea!” Memanggil-manggil nama Elea yang melangkah begitu saja ke kamar mandi. Anak itu mengabaikan ucapan orangtuanya.
“Elea mau ke kampus, gak mau dijodohin,” ucapnya dengan santai.
Mana mau dia menikah dengan pria yang tidak dia kenal. “Mereka pasti abis kepeleset makannya kepalanya kurang normal.” Tapi ternyata orangtuanya tidak main-main. Saat Elea hendak keluar dari kamar, pintunya terkunci hingga Elea panic. “Ma?! Mama?! buka pintunya, Ma! Mama! Elea harus ke kampus!”
“Kamu gak akan kemana-mana sebelum menerima pernikahan itu, Elea. Kamu baru boleh keluar dari rumah ini kalau status kamu udah jadi istri Pak Gardea,” ucap Dandi penuh penekanan.
“Papah! Buka pintunya! Elea punya kepentingan di kampus! Papa!”