Dua

504 Kata
"Kalau gitu transferin uangnya dulu satu juta buat berobat Nada, Mas. Nanti sore abis dari kantor langsung kesini ya, kamu sudah janji sama aku dan Nada kalau kamu bakalan jadi Ayah buat dia, jangan ingkar janji, Mas." Minta uang katanya? Satu juta? Astaga, tanpa aku sadari aku meremas ponsel itu kuat-kuat, bahkan jika bisa aku ingin meremuknya menjadi serpihan kecil agar pesan tersebut musnah sekalian. Percayalah, jika kalian berpikir menikah dengan seorang Perwira Muda maka aku akan memiliki banyak uang maka kalian salah besar, tidak, aku tidak memiliki banyak uang. Setiap bulannya aku di jatah oleh suamiku tiga juta, nominal yang besar sebenarnya karena tiga juta itu adalah uang belanja dan kebutuhan pokok tidak perlu aku pikirkan lagi, segalanya sudah tercukupi, akupun bersyukur atas nafkah yang di berikan suamiku. Selama ini aku berpikir, asalkan aku tidak kelaparan dan kekurangan, Andika putra kami mendapatkan yang terbaik dalam hidup maupun pendidikannya, aku tidak akan pernah mengeluh atau pun mempermasalahkan uang di atur oleh Bang Dwika, ATM merah putih adalah hak istri setelah menikah dengan tentara tapi itu bukan masalah untukku jika aku tidak memegangnya. Selama 8 tahun hidup dengannya aku mengabdi padanya tanpa syarat, aku percaya suamiku adalah orang yang baik, jika kalian ingin tahu bagaimana aku bertemu dengan suamiku jawabannya adalah aku seorang perawat di rumah sakit pusat, tempat dimana Ayah mertuaku, Yugo Prasetyo, seorang mantan Petinggi Militer yang begitu terhormat namanya bahkan hingga beliau pensiun dua tahun yang lalu. Berawal dari tidak ada keluarga beliau yang menemani pasca operasi usus besar, aku sering menemani beliau, sebagai anak rantau yang jauh dari keluarga aku sangat paham rasanya kesepian, saat itu aku sama sekali tidak tahu siapa beliau sebenarnya, obrolanku dengan Ayah mertuaku begitu ringan tentang kehidupan sehari-hari dan hobi, tidak pernah satu kalipun Ayah mertuaku bercerita kenapa istri dan anak-anaknya tidak ada yang mendampingi beliau, sampai akhirnya sang Putra kedua yang baru saja kembali dari pendidikan militer lah yang datang menemani Ayah. Putra kedua Ayah mertuaku yang tidak lain adalah suamiku, Dwikara Prasetyo, pria tampan dan menawan dengan masa depan secerah mentari pagi, di pertemuan pertama jujur saja aku kesengsem dengan wibawanya, auranya begitu kharismatik hingga membuatku sulit untuk mengabaikannya. Manis ya pertemuan kami, berawal dari menjaga Ayah mertua bersama-sama, hingga akhirnya kami berteman dan saling bercerita tentang kehidupan kami masing-masing, sampai akhirnya di satu titik pertemanan kami di bulan ketiga suamiku melamarku, lamaran mendadak yang membuatku begitu bahagia karena rasa yang tumbuh sejak kali pertama pertemuan kami nyatanya tidak bertepuk sebelah tangan, tapi di balik lamaran dan permintaan sehidup semati terselip sebuah permintaan yang awalnya aku abaikan tapi pada akhirnya kini aku sadari ternyata itu adalah sebuah bencana. "Aku mohon, sembuhkan patah hatiku. Seumur hidup aku mencintai sahabatku, aku berjuang keras untuk mendapatkan kehormatanku sendiri agar pantas meminangnya tapi pada akhirnya aku di tolak karena baginya aku tidak lebih dari seorang teman." "..............." "Bawa aku pergi dari masalalu ya, Al. Aku tidak sanggup menjalani semua ini sendirian, dan aku yakin kamulah wanita yang tepat untuk membawaku pergi dari rasa sakit dan patah hati ini."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN