Satu

500 Kata
"Abang, Nada sakit, manggil-manggil nama Abang terus, nanti kamu kesini, ya?!" Deg, membaca pesan yang masuk ke dalam ponsel suamiku ini seketika jantungku serasa berhenti berdetak, untuk pertama kalinya Suamiku lupa membawa ponselnya saat berangkat berdinas, dan saat aku hendak memberikan ponsel tersebut kepadanya, pesan seperti inilah yang aku lihat. Kecurigaan yang sempat aku rasakan saat Bang Dwika mulai mengunci ponselnya kini benar-benar terjawab, aku tidak perlu bersusah payah mencari tahu apa yang di sembunyikan olehnya karena Tuhan begitu berbaik hati menunjukkan sesuatu yang selama ini tidak aku ketahui, kebusukan yang ternyata di sembunyikan suamiku yang sempurna selama ini. Berbekal ingatan bagaimana Bang Dwika setiap kali membuka pola ponselnya, aku mencoba membukanya dan ternyata berhasil, pesan yang sebelumnya hanya pop up di layar kini terpampang jelas di depan mataku, pesan sebelumnya sudah terhapus bersih, chat yang baru saja masuk adalah yang pertama, satu hal yang membuatku tahu jika selama ini Bang Dwika bermain begitu bersih. Kupandang foto profil perempuan berhijab lengkap dengan kacamatanya tersebut, tersenyum sembari bertopang dagu, ciiiiihhhh, gaya klasik dari seorang alim yang ternyata doyan suami orang, beralih dari foto profilnya aku melihat ke nama yang di berikan oleh Bang Dwika, dan nama yang tertera membuatku mual karena geli bercampur marah. Past ? Iya, Past yang berarti masalalu dan lengkap dengan lambang mataharinya yang menunjukkan jika dia adalah masalalu dari suamiku yang sukses membuat suamiku tidak beranjak. Astaga, rasanya aku ingin menertawakan diriku sendiri, selama ini aku melihatnya sebagai seorang yang sempurna tapi ternyata dia bermain belakang. Di gugah rasa penasaran akan siapa sosok berhijab yang tampak familiar tersebut, aku menggali kembali ingatanku, dan saat aku mengingatnya aku mengenali perempuan tersebut. Sosok itu tidak asing untukku namun aku mengenalinya sebagai seorang yang berbeda. Namanya Natasha, yang di perkenalkan oleh Bang Dwika sebagai Nana, sahabat Bang Dwika dari kecil, perempuan yang diam-diam dicintai oleh suamiku dulu, tapi sayang sekali dari yang aku tahu dari adik iparku, Nana menolak pernyataan cinta dari Bang Dwika dengan dalih tidak mencintai suamiku lebih dari pada sahabat dan menikah dengan seorang Pengusaha Garmen. Seharusnya sekarang sudah bahagia, kan? Lantas kenapa dia masih mengirim pesan kepada Bang Dwika lengkap dengan embel-embel si Nada, yang entah anaknya atau siapa ini yang kangen pada suamiku. Dengan hati bergemuruh menahan marah aku membalas pesan tersebut, aku ingin melihat sejauh mana si masalalu ini di dalam kehidupan suamiku. "Mas ada apel pagi, belum bisa kesitu." Deg-degan, jantungku bahkan serasa lepas dari tempatnya saat dalam sekejap centang dua tersebut berubah menjadi biru, tanda jika pesan tersebut sudah di baca dan mengetikkan balasan, astaga, standby sekali dia mantengin pesan suami orang, apa selama ini Mas Dwika memang sesigap itu memperhatikan sahabat dengan cinta masa lalunya ini? Dan tidak menunggu lama, balasan pun aku terima, kalimat pendek yang membuatku marah ingin membanting ponsel sekarang juga. "Kalau gitu transferin uangnya dulu satu juta buat berobat Nada, Mas. Nanti sore abis dari kantor langsung kesini ya, kamu sudah janji sama aku dan Nada kalau kamu bakalan jadi Ayah buat dia, jangan ingkar janji, Mas."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN