Sudah satu minggu Noa tinggal di rumah milik ayah tirinya. Semuanya berjalan normal selain hubungannya dengan Shaga yang terus saja berjarak dan semakin dingin. Keduanya sama-sama berusaha menghindar dan minim interaksi tanpa membuat Asmita dan Arghandi curiga. Ini yang terbaik bagi mereka agar sama-sama merasa nyaman selama tinggal di rumah megah tersebut.
Shaga menutup lapotop yang baru saja digunakan untuk mendata anak asuhnya yang akan ikut dalam kompetisi judo. Sejenak menggerakkan lehernya yang sedikit pegal dan merentangkan tangannya yang kaku. Setelah itu, mengambil gelas untuk meminu airnya, tapi isinya ternyata sudah habis.
Laki-laki itu berdecak sebal karena malas untuk pergi ke dapur utama. Tetapi jika tidak mengambil air, maka ia tidak bisa tidur akibat merasa sangat haus. Mau tidak mau Shaga beranjak dari tempat duduknya untuk pergi mengambil air.
Saat sampai di dapur, Shaga segera melakukan tujuan utamanya. Setelah selesai menuang air di dalam gelas, Shaga mendengar suara pintu dibuka, lalu ditutup. Ia pun mematung sambil mendengarkan langkah kaki yang tidak beraturan. Matanya menyipit, menduga jika pelakunya adalah Noa.
“Apa dia biasa pulang selarut ini?” gumam Shaga.
Setelah menunggu beberapa saat, dugaannya benar. Noa berjalan menuju dapur, yang jelas membuat kening Shaga mengkerut. Ia heran, mengapa gadis itu berjalan dengan langkah kaki yang tidak seimbang. Bahkan beberapa kali menabrak furnitur hingga menyebabkan tubuhnya nyaris jatuh. Ada keinginan untuk menghampiri, tetapi Shaga menahan diri.
Noa terkejut dengan keberadaan Shaga di dapur. Ia berjalan mendekati laki-laki itu karena ingin mengambil air di dalam lemari pendingin.
“Kamu mabuk?” tanya Shaga pada akhirnya. “Pulang sama siapa?”
“Aku nggak mabuk, jangan ngomong sembarangan,” jawabnya.
Namun siapa yang percaya karena pada kenyataannya, untuk membuka pintu kulkas saja gadis itu kesulitan. Mau tidak mau Shaga tergerak untuk membantu membukanya.
Noa mendengkus sebal atas perhatian Shaga. “Aku bisa sendiri, nggak perlu kamu bantu.”
Shaga didorong oleh Noa agar menjauh dari kulkas. Lalu berusaha mengambil air dan segera meminum langsung dari botolnya. Shaga hanya memperhatikan, khawatir jika sampai tersedak.
“Jadi seperti ini idola mereka? Minum air saja seperti itu,” gumam Shaga.
Noa menyemburkan air di dalam mulutnya dan tepat mengenai wajah Shaga. Gadis itu seperti sengaja melakukannya karena mendengar perkataan menyebalkan dari laki-laki itu. Meski setengah sadar, Noa masih mampu mencerna.
“Maksud kamu apa?”
Shaga terdiam disaat wajah dan sebagian bajunya basah. Terdengar helaan napas panjang. Lalu perlahan tangannya mengusap sisa air yang ada di wajahnya.
“Memangnya apa yang salah dari caraku minum air, hah?” tanya Noa semakin sengit.
Tidak ada jawaban dari Shaga. Ia memilih pergi meninggalkan Noa dengan kemarahan yang masih berapi-api.
“Shaga!”
Ini kali pertama Noa memanggil nama Shaga. Sedikit mengejutkan tapi laki-laki itu sadar kalau saat ini Noa sedang emosi dan mabuk.
“Jawab dan jangan pergi!”
Shaga menghentikan langkah karena mendengar suara rintihan dan tubrukan yang cukup keras. Ia menoleh dan mendapati Noa sudah terduduk di lantai yang basah. Mendapati hal ini, Shaga buru-buru menghampiri dengan wajah cemas.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Shaga.
Noa menepis tangan laki-laki itu ketika berusaha membantunya untuk berdiri. “Jangan santuh aku!”
“Jangan besar kepala! Aku Cuma mau memastikan kamu baik-baik saja. Kalau kamu celaka, aku yang bisa kena masalah karena ada di sini,” ucap Shaga.
“Ini semua memang gara-gara kamu. Aku jatuh karena kamu.”
Noa berusaha berdiri dari posisinya, namun tanpa disangka ia justru kembali terduduk. Selain karena pengaruh alkohol, kondisi kakinya juga membuatnya tidak seimbang. Ia memegang kakinya yang terasa sakit karena terpeleset. Di wajahnya nampak jelas ekspresi kesakitan.
“Biar aku bantu kamu ke kamar,” ucap Shaga tidak tega.
“Nggak perlu, aku …”
Tanpa diduga, Shaga langsung mengangkat tubuh Noa dengan kedua tangannya yang berotot. Menggendong Noa ala bridal style sehingga wajah keduanya berada begitu dekat.
“Aku bisa sendiri, cepat turunin. Kalau tidak, aku teriak biar semua orang bangun!” ancam Noa.
“Teriak saja. Bagus kan, mama kamu jadi tahu kalau anaknya pulang dalam keadaan mabuk. Dan sikap kamu yang selalu manis di hadapan om, akan terbongkar begitu cepat.”
Mendapati kenyataan itu, kedua mata Noa terbelalak. Tentu saja yang dikatakan Shaga ada benarnya. Asmita akan marah besar jika tahu putrinya mabuk di acara perpisahan kru film. Mau tidak mau, Noa harus tenang dan menuruti ucapan Shaga. Kedua tangannya yang berontak, perlahan melingkar d leher laki-laki itu demi menyeimbangkan tubuhnya.
Shaga fokus berjalan, meniti anak tangga untuk mengantar Noa ke kamar. Suasana begitu hening sehingga deru napas mereka terdengar. Aroma alkoloh tercium jelas dari tubuh Noa. Terang saja gadis itu mabuk karena minum cukup banyak.
Lain lagi dengan Noa, diam-diam menatap wajah Shaga dengan rahangnya yang tegas dan matanya yang indah. Sejujurnya laki-laki ini sangat tampan. Hanya saja sikap dingin dan ketusnya menutupi semua itu.
“Jangan Noa, jaga mata dan pikiranmu. Manusia menyebalkan ini nggak boleh dipuji tampan, bisa-bisa dia besar kepala,” batinnya.
Shaga menangkap basah apa yang sedang Noa lakukan. Pandangan mata mereka bertemu, hingga menyebabkan gadis itu menjadi gugup dengan wajah memerah.
“Kenapa? Suka lihat wajah ganteng?” tanya Shaga santai.
Noa berdecis tidak percaya. “Jangan besar kepala. Aku sudah puluhan kali ketemu laki-laki yang jauh lebih ganteng dari kamu.”
“Oh… baguslah. Agak ngeri juga kalau nanti kamu jatuh cinta karena setiap hari lihat kegantenganku.”
Seketika Noa tidak bisa menahan tawa hambarnya. Sebuah kekonyolan yang tercetus dari sosok Shaga yang terkenal irit bicara.
“Sepertinya yang mabuk bukan aku, tapi kamu. Aku masih waras, suka atau jatuh cinta sama keponakan Om Gandhi, yang benar saja. Nggak akan pernah dan nggak mungkin!” ucapnya tegas. “Aku nggak mau merusak karir yang sudah aku bangun susah payah. Apa kata dunia kalau khayalan kamu itu terjadi?” sambungnya.
Laki-laki itu mengangguk masih dengan raut wajah santai. Hanya mengangguk tanpa memberi tanggapan lagi. Celetukan bercandanya ternyata ditanggapi cukup serius oleh Noa. Dan jelas, sikapnya ini semakin memancing kekesalan Noa. Nampak dari wajahnya yang semakin ditekuk.
Sesampainya di kamar Noa, Shaga membawa gadis itu duduk di sofa berwarna putih. Mendudukkan Noa di sana, bukan di atas tempat tidur.
“Duduk di sini, aku mau cek kaki kamu,” ucapnya.
Seperti sudah tidak memiliki tenaga, Noa hanya diam saja. Bahkan saat Shaga menyentuh permukaan kulit kakinya, ia hanya meringis akibat nyeri namun tidak terlalu keras. Memperhatikan Shaga dengan sisa kesadarannya.
Shaga mendongak, menangkap basah Noa yang tengah menatapnya lekat. “Sepertinya tidak terlalu parah. Tunggu di sini, aku ambilkan es batu dulu.”
Laki-laki itu pergi begitu saja tanpa menunggu tanggapan dari Noa. Sementara itu, Noa hanya diam sambil menahan kepalanya yang semakin pusing. Matanya pun sulit untuk tetap terbuka, ingin segera tidur.
“Harusnya nggak usah pura-pura baik. Paling dia balik ke paviliun, bukan ngambil es batu,” gerutunya. Noa kembali ingat dengan perkataan Shaga saat menggendongnya. Ia tertawa hambar, menahan kesal. “Kenapa aku harus ingat lagi? Omongan konyol orang itu, harusnya nggak bisa menjadi pengganggu pikiranku.”
Sesampainya di kamar Noa dengan membawa kantong berisi es batu, Shaga mendapati gadis itu sudah tertidur di atas sofa. Ia menghela napas, lalu mendekat. Berlutut di hadapan Noa sambil menatap dengan tatapan ragu.
“Kalau aku kompres, bisa-bisa dia bangun. Tapi kalau tidak, besok kakinya bisa saja bengkak.”
Akhirnya Shaga berada pada keputusan akhir. Perlahan-lahan meletakkan es batu di pergelangan kaki Noa. Mengopresnya dengan hati-hati agar tidak terbangun. Walaupun kenyataannya Noa tidak akan bangun karena berada dalam pengaruh alkohol.
Setelah selesai mengompres dengan aman, kini saatnya Shaga memindahkan Noa ke atas tempat tidur. Menggendongnya dengan hati-hati sekali. Tiba-tiba tangan Noa bergerak melingkar ke lehernya dalam keadaan mata terpejam. Sedikit kaget, namun semuanya masih aman. Entah kenapa, meski mendapat perlakuan buruk, Shaga tidak tega membiarkan Noa tidur dalam keadaan kaki tidak dikompres.
Shaga membaringkan tubuh Noa ke atas tempat tidur. Tangannya ditarik pelan, agar bisa memindahkan tangan Noa dari lehernya. Tetapi Shaga tidak siap dengan gerakan yang tiba-tiba Noa lakukan dalam keadaan tidak sadar. Menarik lehernya dengan tangan melingkar, hingga membuat Shaga hilang keseimbangan. Terlambat mengantisipasi, tubuhnya jatuh ke tubuh Noa dan menyebabkan bibirnya mendarat keras di bibir gadis itu. kedua mata Shaga membola dengan raut wajah kaget. Buru-buru ia menarik diri, mencerna apa yang barusan terjadi.
“Kenapa aku seceroboh ini?” batinnya dengan perasaan tidak percaya.
Kedua mata Shaga menatap Noa yang tidak sadar sama sekali. Bagaimana reaksi gadis itu jika tahu kalau baru saja terjadi sesuatu yang seharusnya mereka hindari. Shaga tidak sanggup memikirkannya di hadapan Noa. Lantas buru-buru keluar dari kamar gadis yang kini menjadi saudaranya.
“Ini bukan salahku tapi ini kejadian yang tidak disengaja. Jelas tangan Noa yang menarik, bukan aku yang melakukannya,” gumam Shaga.
Tanpa diduga, tangannya menyentuh bibir miliknya yang sempat menyentuh bibir Noa. Bahkan masih teringat jelas bagaimana lembutnya bibir gadis itu dengan aroma alkohol yang masih tersisa. Shaga mengacak rambutnya karena merasa frustrasi.
“Sial! Apa aku kena karma karena menggodanya dengan kata-kata konyolku tadi?”