Suara alarm yang bersumber dari ponsel Noa membangunkan gadis itu dari tidurnya yang nyenyak. Noa menggeliat pelan, menutup kepalanya dengan selimut tebal, seperti tidak rela membuka mata. Namun karena suara dering alarm semakin keras, memaksa gadis itu untuk menyerah. Meraba meja nakas untuk menemukan benda pipih itu.
“Astaga! Hari ini aku libur, tapi kenapa masih diganggu juga!”
Keluhan Noa seakan tertuju kepadanya yang lupa mematikan alarm hari ini. Biasanya, jika tidak ada jadwal syuting atau pemotretan, ia sengaja menonaktifkan ponselnya agar bisa istirahat lebih lama. Tetapi kali ini ia lupa dan akhirnya mengganggu waktunya.
“Duh!”
Noa merasakan sakit pada kepalanya. Tangannya meraba sambil beranjak dari posisi tidur. Pelan-pelan ia mengedarkan pandangan ke sekitar kamar dengan tangan masih memegang kepala. Noa berusaha mengingat apa yang terjadi pada dirinya sehingga mengalami sakit seperti ini.
“Aku lupa kalau semalam minum dan sepertinya mabuk,” gumamnya.
Beberapa detik kemudian, wajahnya mulai menegang. Kedua matanya membola dengan mulut menganga. Noa baru mengingat apa yang terjadi tadi malam. Meski samar-samar, ia masih bisa mengingat bagaimana ia bertengkar dengan Shaga hingga berujung terpeleset. Laki-laki itu juga yang menggendongnya hingga ke kamar.
“Setelah itu, apa yang terjadi?”
Kedua mata Noa menyipit dengan kening mengkerut sebagai tanda gadis itu tengah mengingat semua kejadian semalam. Hingga ia sadar lalu mendadak melakukan pengecekan pada pakaian yang dikenakan. Setelah itu, terdengar helaan napas panjang dan ekspresi lega.
“Syukurlah, orang itu nggak ambil kesempatan disaat aku nggak sadarkan diri,” gumamnya.
Noa lantas beranjak dari tempat tidur. Saat kakinya menginjak lantai, tiba-tiba saja mengaduh. Disentuhnya pergelangan kaki yang semalam sakit akibat terpeleset. Noa lupa sehingga bergerak tanpa melakukan kontrol.
“Untung nggak bengkak, Cuma sedikit nyeri. Kalau sampai bengkak, bisa-bisa aku dalam masalah besar.”
Setelah memastikan kakinya tidak terlalu sakit, Noa lantas pergi ke kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi serta mengganti pakaian. Saat hendak menggosok gigi, ia merasakan ada yang sakit pada bibirnya. Noa lantas melihat melalui cermin di depan wastafel.
“Luka? Kenapa bibirku bisa luka, apa semalam sempat aku gigit?” gumamnya bingung.
Tidak ingin terjebak dalam rasa pasaran, Noa mengabaikan luka kecil di bibirnya. Ia segera melakukan tujuannya agar bisa segera turun untuk sarapan. Tenggorokannya sangat kering sehingga butuh air minum. Selain itu, rasa lapar melanda, padahal hal seperti ini jarang terjadi terutama saat pagi hari.
“Selamat pagi,” sapa Noa.
“Pagi Sayang,” jawab Asmita.
Arghandi tersenyum melihat kemunculan Noa. “Selamat pagi. Ayo sarapan dulu.”
Noa mengangguk. “Iya Om.”
Satu kursi yang berada tepat di sebelah Asmita ditarik. Noa menjatuhkan tubuhnya di sana. Menatap Shaga yang fokus pada sarapan, tanpa peduli akan kemunculannya.
“Kamu mau makan apa? Jangan nasi, nanti kamu gemuk.”
Noa tersenyum miris. “Aku makan apel saja, Ma.”
“Ya sudah, biar Mama kupas dulu.”
“Iya.”
“Biar saja Noa makan nasi, Ma. Sekali-sekali nggak akan langsung buat dia jadi gemuk.”
Asmita menggeleng tegas. “Sekali coba, dia akan ketagihan, Pa. Mama nggak mau itu terjadi karena diet jauh lebih susah daripada menahan diri untuk tidak makan nasi terutama pagi hari.”
“Nggak apa-apa, Om. Sudah biasa kok makan buah untuk sarapan,” ucap Noa agar tidak menjadi masalah.
Sementara itu, diam-diam Shaga memperhatikan percakapan tersebut. Ia tidak paham kenapa Asmita harus menyiksa putrinya demi menjaga bentuk tubuh. Sedangkan semalam Noa minum hingga mabuk, yang jelas lebih bisa merusak kesehatannya.
“Bibir kamu kenapa, Noa?” tanya Asmita khawatir.
Noa menyentuh bibirnya yang luka. “Enggak tahu, Ma. Kayaknya kegigit tapi aku nggak sadar.”
“Hati-hati dong, Sayang. Kalau ada pemotretan, takut merusak tampilan kamu.”
“Tenang saja, Cuma luka kecil,” jawabnya.
Shaga melambatkan gerakan tangannya yang sedang menikmati nasi goreng. Mengira-ngira luka di bibir Noa akibat apa yang terjadi semalam. Karena penasaran, perlahan mengangkat wajahnya, lalu mengarahkan pandangannya ke Noa. Sialnya, ia tertangkap basah hingga langsung mendapat delikan oleh gadis itu.
“Semalam kamu juga pulang terlambat. Apa acara makan malamnya sampai larut? Kamu nggak mabuk, kan?”
Noa hampir tersedak buah apel yang sedang dikunyah. Pandangan matanya tertuju pada Shaga yang masih saja diam. “Enggak kok, Ma. Cuma ngobrol dengan yang lain. Aku juga pulang diantar sama Keano.”
“Baguslah. Jangan sampai mabuk dan menyebabkan skandal. Terakhir mabuk, kamu malah meluk orang asing dan menyebabkan kehebohan. Untung bisa Mama atasi, kalau tidak, habis kamu sama media.”
Tiba-tiba Shaga tersedak hingga membuatnya menjadi pusat perhatian. Tangannya buru-buru mengambil gelas berisi air dan segera diteguk. Dari sudut matanya, ia bisa melihat tatapan tajam dari Noa.
“Maaf,” ucapnya karena tidak enak kepada Arghandi dan Asmita.
“Kamu kaget ya kalau Noa pernah melakukan hal konyol,” kata Asmita.
Shaga menggeleng sambil tersenyum canggung. “Enggak Tante.”
Wajah Noa memerah diingatkan kejadian itu. “Sudahlah Ma. Jangan bahas lagi, toh sudah dua tahun lalu.”
Setelah selesai sarapan, Noa menyusul Shaga yang langsung ke paviliun belakang. Langkahnya tergesa-gesa, takut laki-laki itu pergi. Ada hal yang harus dikatakan kepada Shaga demi kedamaian hidupnya.
“Kenapa kamu ke sini? Ada urusan apa?” tanya Shaga tepat di depan pintu.
Pandangan mata Noa melihat ke sekitar. Ini kali pertama datang ke sini yang ternyata cukup luas, rapi dan sejuk. Ada beberapa tanaman bunga yang sedang mekar. Menduga ini semua milik Shaga.
Tangan Shaga bergerak tepat di depan Noa agar gadis itu segera sadar. “Hai, jawab dulu pertanyaanku.”
Kesadaran Noa kembali. Memasang raut wajah judes kepada Shaga. “Soal semalam. Kamu yang bawa aku ke kamar. Iya kan?”
“Iya. Kamu mabuk tapi aku yang ikut susah,” jawab Shaga sinis.
“Aku sudah bilang, nggak perlu dibantu. Tapi kamu sendiri yang maksa.”
Shaga menghela napas. “Lalu, apa tujuan kamu ke sini? Untung mengomel?”
“Jangan sampai ada yang tahu soal mabukku semalam, terutama mama. Kamu sudah dengar sendiri, mamaku nggak suka aku melakukan hal yang melanggar aturannya,” ujar Noa.
“Kalau sudah tahu begitu, kenapa harus mabuk. Mama kamu benar, seorang perempuan mabuk sangatlah berbahaya.”
Noa meminta Shaga diam dengan gerakan tangan di depan bibir. “Jangan cerewet. Kamu Cuma tinggal turutin kata-kataku. Lain kali jangan ikut campur, mau aku mabuk, nggak sadarkan diri, biar itu jadi urusanku. Aku juga terpeleset karena kamu, jadi sebaiknya kita minim interaksi demi kebaikan kita.”
Rasanya Shaga ingin bicara tepat di depan wajah Noa agar gadis itu tahu untuk berhenti menyalahkan orang lain. Justru kecerobohannya yang menyebabkan terpeleset.
“Jadi semalam kamu ingat semuanya?”
“Jelas. Sudah aku bilang, semalam aku Cuma mabuk sedikit.”
Shaga mengangguk. “Kamu ingat waktu aku kompres kaki kamu dan bawa kamu pindah ke tempat tidur?”
Gadis itu menggeleng ragu. “Aku nggak ingat. Lagian aku ketiduran, jadi mana ingat.”
“Baguslah kalau begitu,” sahut Shaga. “Sudah selesai, kan? Aku buru-buru harus pergi.”
“Tungga!” Noa menahan tangan Shaga. “Memangnya kenapa kalau aku nggak ingat? Apa yang terjadi saat aku ketiduran?”
“Tidak ada. Kalau pun ada, sebaiknya kamu nggak perlu tahu daripada kamu malu.”
Noa berdecak sebal dengan ekspresi wajah curiga. “Kamu macam-macam, ya? Kamu mengambil kesempatan waktu aku nggak sadar? Ayo jawab, kamu ngapain semalam?” cecarnya penuh emosi.
“Aku nggak melakukan apa-apa, justru kamu yang narik aku sampai terjadi …”
“Terjadi apa?” tanya Noa memaksa.
Shaga menghela napas, lalu mengusap tengkuknya karena canggung. harusnya menahan diri agar tidak lepas kontrol. Ia pun memperhatikan bibir Noa yang terlihat lukanya sehingga menjadi perhatian gadis itu.
Noa menyentuh bibirnya karena tatapan dari laki-laki di hadapannya. “Jangan-jangan, luka ini karena ulah kamu?”
“Sembarangan!” sembur Shaga. “Waktu aku mau pergi, kamu yang narik tanganku. Jadi itu bukan salahku, tapi salahmu.”
Kedua mata Noa membola. Kini ia bisa menebak, apa yang terjadi semalam. “Kamu cium aku?”
“Aku nggak cium, tapi hilang keseimbangan karena kamu. Jadi ciuman itu nggak ada artinya, Cuma kecelakaan yang nggak disengaja. Dan jangan menyalahkan aku lagi karena ini salah kamu.”
“Shaga!”
Noa tidak bisa menahan emosi dan juga rasa malu. Tangannya mengepal, wajahnya memerah, dan matanya memancarkan kilat amarah. Bagaimana bisa hal memalukan itu terjadi disaat ia tidak sadar.
“Gimana aku bisa percaya kalau kamu nggak macam-macam. Dasar b******k!”
“Terserah percaya atau tidak. Yang jelas aku nggak pernah tertarik atau ada niat menyentuh apalagi cium kamu. Nggak ada untungnya buatku karena aku juga dirugikan.”
Noa menghentakkan kaki, lalu melayangkan pukulan ke arah Shaga, namun segera dicegah.. Shaga menahan tubuhnya hingga berada begitu dekat dengan laki-laki itu. Keduanya pun beradu pandang dengan emosi yang sedang menggebu-gebu.
“Dengar baik-baik, mungkin bagi orang lain, kamu menarik. Tapi bagiku, kamu seperti serangga yang tiba-tiba datang dan mengganggu hidupku yang tenang. Jadi jangan coba-coba berpikir sempit, bahwa aku menikmati tragedi menyebalkan semalam. Kalau waktu bisa diputar, aku nggak akan peduli apa yang terjadi sama kamu semalam.”
Shaga melepaskan dengan kasar tangan Noa yang sempat ia tahan. Lantas pergi dari hadapan gadis itu yang masih mematung dengan wajah memerah. Tidak peduli jika kata-katanya menyakiti, karena Shaga muak dengan sikap Noa.
“Dasar b******k. Laki-laki gila, nggak punya perasaan!” maki Noa.