1. TERJEBAK DI RUMAH ASING
Suasana hangat dan penuh haru tengah memenuhi tempat berlansungnya acara pernikahan. Semua yang hadir turut berbahagia setelah janji suci pernikahan pasangan pengantin selesai diucapkan. Wajar saja semua orang merasa demikian. Pasangan pengantin berada di usia yang tidak muda lagi, namun memutuskan untuk bersama dalam ikatan perkawinan. Asmita dan Arghandi berjanji untuk saling setia, hingga maut memisahkan.
Suara helaan napas panjang terdengar dari sosok gadis cantik yang duduk di deretan paling depan. Mengusap sudut matanya yang terasa basah. Setelah sekian lama akhirnya bisa melihat ibunya tersenyum lebar bersama dengan suami barunya. Mengakhiri masa sendiri, setelah kepergian ayah dari Noara Joy Laurance.
Gadis yang sering dipanggil Noa lalu beranjak dari duduknya. Meninggalkan tempat acara demi mencari udara segar. Gaun yang digunakan terasa sedikit sesak padahal ia buat dari desainer terkenal yang menjadi langganannya. Bukan karena berat badannya yang bertambah, tapi hati kecilnya sedikit tidak senang dengan pernikahan ini.
“Kamu mau ke mana, Noa?” tanya Anjani – manajer Noa.
Noa menoleh pelan. “Aku haus. Aku perlu minum.”
Meski menjadi pusat perhatian karena beranjak dari tempat duduk sedangkan yang lain masih fokus pada acara, tidak membuat Noa malu atau gugup. Sejak kepergian ayahnya, ia sudah didik untuk menjadi kuat dan tidak takut akan apa pun. Terutama berbagai jenis tatapan dari orang-orang. Ia dikenal penuh percaya diri dan ceria oleh para penggemar. Akan tetapi, semua itu palsu. Dan Noa seperti menggunakan dua topeng di dalam hidupnya.
Begitu kakinya siap keluar dari tempat itu, di depan pintu berdiri sosok dengan pakaian rapi, menatap Noa begitu dingin dan tidak bersahabat. Tetapi sikapnya itu tidak dipedulikan oleh gadis itu. Sebab ia tidak punya urusan dengan laki-laki bernama Shaga Keizaro.
“Acaranya belum selesai, kenapa sudah pergi?” tanya Shaga dingin.
Noa menghentikan langkah tepat di sebelah Shaga. Gadis itu menoleh, menatap tidak antusias keberadaan laki-laki itu. “Aku mau ke toilet, apa tidak boleh? Atau kamu mau menemani biar percaya?”
Shaga tidak menjawab. Masih berdiri tegak selayaknya seorang bodyguard yang merupakan pekerjaannya. Tatapan matanya lurus ke depan, tanpa peduli dengan senyum sinis Noa. Dan tanpa diduga, gadis itu pun mendekatinya.
Tangan Noa terangkat, lalu menyentuh sedikit dasi berwarna hitam yang dikenakan oleh Shaga. “Jangan pernah berpikir ikut campur urusanku, meski nanti kita tinggal satu rumah.”
Setelah mengatakan itu, Noa pergi dengan angkuhnya. Meninggalkan Shaga yang belum memberikan tanggapan. Sebelumnya, mereka hanya pernah bertemu satu kali dan tidak terjadi interaksi apa pun. Namun entah kenapa, mereka seperti dua kutub yang sulit untuk disatukan tanpa ada alasan jelas.
Sementara itu, Shaga menghela napas panjang. Berusaha fokus tanpa peduli apa yang Noa katakan. Baginya, tidak ada yang perlu ditanggapi. Ia hanya orang yang bekerja untuk keluarga Arghandi Cakrawangsa. Jika nanti harus keluar dari kediaman laki-laki itu, Shaga akan melakukannya dengan senang hati.
***
Satu minggu sudah sudah Asmita dan Arghandi resmi menjadi pasangan suami istri. Semuanya berjalan normal. Rumah mewah milik Arghandi terasa hangat akan kehadiran sosok wanita. Sejak meninggalnya sang istri berpuluh tahun lalu, pria itu seperti hidup tanpa tujuan. Hidupnya hanya tentang bekerja dan membesarkan perusahaan. Namun kini, ada teman hidup yang memberi warna, yang siap melayani dan memberikan perhatian.
“Gimana Pa, makanannya layak untuk dimakan, kan?” tanya Asmita pada acara makan malam.
“Tentu saja, ini sangat enak. Rasanya senang sekali bisa makan makanan dari orang spesial.”
Wanita itu tersenyum malu. “Yang benar, Pa? Jangan memuji karena kasihan, Mama jarang masak, jadi kurang pede.”
“Kalau tidak percaya, coba tanya Shaga,” ujar Arghandi.
Lalu semua mata tertuju pada sosok yang duduk di hadapan Asmita, fokus dengan makanan di atas piring.
“Shaga, memangnya benar masakan Tante, enak?”
Shaga yang menunduk, mengangkat kepalanya. Lalu mengangguk dengan senyum tipis yang sangat terpaksa diulas. “Iya Tante. Rasanya enak, beda dengan buatan Mbok Arum.”
“Syukurlah, kalau semua bilang enak, rasanya bisa dipercaya,” ucap Asmita lega.
“Oh iya, Ma. Noa jadi pulang malam ini?”
“Jadi Pa. Tadi sudah kasih kabar kalau lagi dalam perjalanan pulang ke rumah.”
Arghandi mengangguk pelan. “Kenapa dia harus bawa mobil sendiri keluar kota?. Harusnya minta supir Papa yang antar. Atau Shaga bisa menemani.”
“Dia nggak sendiri, Pa. Ada manajer dan asistennya, jadi semuanya aman,” ucap wanita itu menenangkan.
Baru saja Asmita menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke ruang makan. semua mata tertuju ke sumber suara, kecuali Shaga yang nampak cepat-cepat ingin menghabiskan makanannya.
“Mama!”
“Hai Sayang. Akhirnya kamu pulang juga,” ucap Asmita senang.
“Maaf aku terlambat. Tadi agak macet, jadi lama di jalan,” balasnya. Noa lalu menghampiri Arghandi untuk memberi salah. “Halo Om. Apa kabar?”
Laki-laki itu tersenyum hangat meski Noa belum bisa memanggilnya dengan sebutan papa. “Baik, Noa. Kamu sendiri gimana? Seminggu ke luar kota untuk kerja, pasti capek. Iya, kan?”
Noa menggeleng dengan senyum di wajah. “Enggak kok, Om. Sudah terbiasa, jadi nggak masalah.”
“Ya sudah, ayo makan dulu. Setelah itu kamu istirahat,” ucap sang ibu.
“Iya Ma.”
Noa memilih duduk di sebelah ibunya. Dengan begitu, ia bisa menatap Shaga yang sejak tadi tidak bersuara. Noa membuang muka, tidak peduli dengan sikap laki-laki itu. Ia hanya merasa beban, harus tinggal dengan orang asing.
“Shaga, nanti bantu Noa bawa kopernya ke kamar. Mbok Arum pasti nggak bisa angkat karena berat,” ucap Arghandi.
Shaga mengangguk, membalas tatapan laki-laki yang sudah seperti ayah baginya. “Iya Om.”
“Nggak usah, Om. Aku bisa bawa sendiri kok. Barangnya nggak terlalu banyak, masih ada yang di rumah lama.”
“Tidak apa-apa. Biar kamu dan Shaga juga banyak interaksi. Walaupun bukan saudara kandung, kalian tetap menjadi keluarga Cakrawangsa.
Noa melirik Shaga, lalu mengangguk dengan terpaksa. “Baik Om.”
Setelah selesai makan malam, Noa seperti bisa bernapas lega. Sejujurnya, momen seperti ini sangat memuakkan baginya. Gadis yang sebentar lagi berulang tahun yang ke 24 tahun, harus berpura-pura tenang dan kalem, sedangkan dirinya tidaklah begitu. Apalagi berada di keluarga baru, menuntutnya agar menahan diri untuk tidak membuat Asmita kecewa atau marah.
Noa mengikuti Shaga yang tengah membawa kopernya menuju kamar barunya di rumah mewah milik ayah tirinya. Ini kali pertama datang sehingga belum tahu di mana letaknya. Dengan malas ditambah lelah, Noa ingin sekali cepat berbaring. Menikmati waktunya untuk beristirahat.
“Kamarnya sudah dibersihkan, jadi silakan istirahat,” ucap Shaga setelah sampai di kamar milik Noa.
Noa menatap Shaga yang hendak pergi meninggalkan kamarnya. “Kamar kamu di mana?”
“Kenapa harus tahu?” tanya Shaga dingin.
“Jelas. Biar kita sama-sama tidak melewati batas atau mengganggu. Aku terbiasa tinggal berdua dengan mama, jadi selalu santai kalau mau melakukan apa pun. Dan sekarang, aku harus terjebak di rumah asing ini.”
Shaga menoleh, menatap Noa yang nampak tidak ada takut-takutnya. “Aku tidak tinggal di rumah ini. Aku tinggal di paviliun belakang, jadi jangan khawatir. Kita akan jarang bertemu.”
Noa berdecak. Sinis. “Baguslah. Aku nggak mau privasiku terganggu.”
Shaga pergi tanpa bicara lagi. Seakan muak menghadapi sikap Noa yang sejak awal tidak pernah bersahabat. Begitu juga Noa, tidak peduli apa yang dipikirkan laki-laki itu atas ucapannya.
“Aku harap keponakan Om Arghandi nggak buat masalah denganku. Setidaknya aku bisa tenang tinggal di rumah ini,” gumam Noa.