Pagi sekali Noa sudah bangun dari tidurnya. Meski masih lelah karena pekerjaan di luar kota selama satu minggu, ia harus melawan semua itu. Ada sisa jadwal syuting film yang sebelumnya tertunda akibat lawan main sekaligus pacarnya mendadak sakit. Mau tidak mau, Noa harus mengumpulkan sisa tenaganya, untuk menyelesaikan tanggung jawab.
“Bikin susah saja. Harusnya aku tetap di rumah lama, nggak harus di sini. Semua barang penting untuk syuting, masih ada di sana. Semoga Anjani nggak lupa ambil di sana,” gumam Noa kesal.
Masih mengenakan bathrobe, Noa mencari pakaian yang akan digunakan untuk pergi. Rambut panjang tergerai dan masih setengah basah. Keadaan Noa benar-benar polos tanpa polesan makeup.
“Yang mana, ya?”
Saat dilanda kebingungan, terdengar suara ketukan pada pintu. Noa mengerang pelan karena merasa aktivitasnya diganggu padahal ia sedeng buru-buru. Dengan terpaksa, akhirnya ia melangkahkan kaki, menuju pintu untuk membukanya.
“Ada apa?”
Noa terkejut dengan mulut terbuka dan kedua mata membola. Siapa sangka, orang yang datang bukan ibu atau bibi pengurus rumah, melainkan Shaga. Laki-laki itu nampak memalingkan pandangan dari Noa.
Shaga berdeham tanpa menatap Noa karena penampilannya saat ini. “Ditunggu om dan tante untuk sarapan. Cepat turun.”
Suara berat laki-laki itu menyadarkan Noa. Kedua tangannya segera membenarkan posisi bathrobe yang sedikit terbuka dan bagian bawahnya yang pendek.
“Aku nggak ikut sarapan. Silakan tinggal, aku masih siap-siap.”
Shaga mengangguk tanpa bicara lagi. Membalik badan, siap meninggalkan Noa yang masih nampak kurang nyaman akan kemunculan laki-laki itu.
“Lain kali jangan mau disuruh manggil aku ke kamar. Aku nggak nyaman, jadi tolak saja.”
Mendengar perkataan Noa, Shaga memutar kembali badannya. Menatap gadis itu dengan dingin. “Lain kali, jaga pakaian kamu sebelum keluar kamar. Kamu tinggal di tempat baru, jadi sesuaikan dengan kondisinya. Jangan minta orang lain mengerti karena aku juga tidak nyaman.”
Kedua mata Noa terbelalak dengan raut wajah kesal. Bahkan wajahnya nampak merah karena tidak menyangka dengan apa yang Shaga katakan. Ia menghentakkan kaki, merasa tidak terima. Apalagi Shaga pergi begitu saja, setelah melontarkan kalimat yang menjengkelkan.
“Hah? Dia pikir dia siapa? Aku juga nggak betah tinggal di sini, kalau bisa mending aku pulang!” gerutunya sebal.
Setelah kepergian Shaga, Noa melanjutkan kegiatannya yang tertunda. Tidak ada waktu lagi, ia harus buru-buru. Apalagi jarak dari tempat tinggalnya yang baru, cukup jauh dari lokasi syuting. Noa tidak mau membuat timnya kesulitan hanya karena ia terlambat.
“Noa, kamu yakin nggak sarapan dulu?” tanya Asmita yang tengah mengekori putrinya ke garasi mobil.
Noa membuka pintu dan memasukkan beberapa barang ke dalam mobil. “Aku sarapan di lokasi saja, Ma. Sudah terlambat, aku harus buru-buru,” jawabnya tanpa menatap ibunya.
“Mama nggak mau tahu, kamu harus sarapan. Jangan sampai maag kamu kambuh dan buat kekacauan seperti waktu itu.”
Noa menutup pintu mobil sambil menarik napas dalam lalu menoleh. Menatap ibunya dengan senyum di wajah. “Mama tenang saja. Aku nggak akan buat Mama malu atau kecewa. Oke?”
“Ya sudah, hati-hati di jalan.”
“Iya Ma, aku pergi dulu,” balas Noa lalu mencium pipi ibunya.
Begitu masuk ke dalam mobil, Noa berusaha menyalakan mobilnya. Namun sepertinya sesuatu yang buruk terjadi. Mobil gadis itu tidak mau menyala meski terus dicoba. Hal ini membuatnya nampak frustrasi.
“Kenapa mobilnya?” tanya Asmita yang masih menunggui Noa.
Gadis itu menggeleng. “Aku nggak tahu. Tapi sepertinya nggak bisa aku bawa, Ma.”
“Serius?”
“Iya. Aku nggak tahu masalahnya di mana.”
“Ada apa, Noa?”
Noa dan Asmita menoleh bersamaan setelah mendengar suara Arghandi. Laki-laki itu muncul diikuti oleh Shaga dengan pakaian rapi, siap untuk pergi.
“Mobilnya nggak mau nyala, Om. Sepertinya harus dibawa ke bengkel.”
“Kamu bawa mobil Mama saja.”
Noa menggeleng. “Hari ini Mama ada jadwal arisan. Aku naik taksi online saja.”
“Kamu bisa bawa salah satu mobil di garasi. Silakan kamu pilih,” ujar Arghandi.
“Makasih banyak, Om. Tapi aku bisa naik taksi online, kok,” jawab Noa sopan.
“Nggak bisa. Terlalu berisiko kalau kamu naik taksi online,” cegah sang ibu.
Arghandi lalu menoleh ke samping, tempat Shaga berdiri tanpa mengatakan sepatah kata sejak tadi. “Kamu saja yang antar Noa. Jadi dia nggak perlu bawa mobil atau naik taksi.”
Shaga sedikit terkejut namun berusaha bersikap tenang. “Tapi hari ini Om ada pertemuan dengan …”
“Tidak masalah. Om yakin semuanya akan berjalan lancar. Kamu antar Noa dan hari ini kamu bisa ambil waktu sendiri,” jawabnya.
Jika sudah Arghandi yang bicara, maka semuanya tidak bisa mengelak lagi. Meski bersikap tenang dan hangat, laki-laki itu terkenal dengan sikapnya yang tegas dan tidak senang dibantah. Asmita sendiri tahu betul bagaimana suaminya, meski baru menikah tapi mereka sudah kenal lebih dari satu tahun.
“Harusnya tolak dan tolak. Kenapa susah sekali tetap pendirian. Menyebalkan!”
Tidak ada jawaban dari Shaga. Laki-laki itu fokus mengemudikan mobil hitam miliknya. Ocehan Noa seperti suara nyamuk, kecil namun mengganggu. Akan tetapi ia tidak menanggapi sampai gadis itu lelah sendiri.
“Kamu sengaja kan biar Om Ghandi berpikir kamu ini anak yang penurut?” Noa menoleh ke samping, menatap Shaga dengan tatapan sangat kesal. “Aku nggak suka satu mobil dengan orang asing. Apalagi menyebalkan seperti kamu!”
Shaga menghentikan mobilnya di pinggir jalan dengan begitu mendadak. Tindakannya ini seketika mengejutkan Noa. Laki-laki itu menatap Noa dengan tajam.
“Kamu gila? Kenapa berhenti mendadak? Kalau kita kecelakaan gimana?” cecar Noa emosi.
“Sejak awal kita tidak pernah ada masalah. Kita sama-sama memilih untuk menjaga jarak. Tapi bukan berarti kamu bisa bersikap seperti ini? Aku lebih tua dari kamu, apa susahnya untuk saling menjaga sopan santun?”
Mulut Noa terbuka dengan mata membola. Ekspresi terkejut tidak dapat disembunyikan atas apa yang Shaga katakan. Biasanya irit bicara, tapi kali ini berbeda.
“Aku tidak suka wanita yang banyak bicara. Jadi tolong tutup mulutmu kalau sedang denganku. Paham, kan?”
Noa berdecis, lalu kembali pada posisi duduknya. Ia seperti ingin menarik rambut Shaga yang panjangnya nyaris menyentuh bahu. Baru kali ini ia dibentak orang asing selain ibu dan sutradara. Rasanya seperti tidak terima dan ingin membalas.
“b******k!” gumamnya.
Shaga menoleh. Ia tidak tuli sehingga masih mendengar gumaman Noa. “Kamu bilang apa?”
“Berhenti bicara dan ayo segera pergi. Aku bisa terlambat kalau kamu terus saja mengomel,” protes Noa tanpa rasa bersalah.
Laki-laki itu hanya bisa menghela napas lalu kembali fokus mengemudikan mobil. Semakin cepat ia mengantarkan Noa, maka semakin cepat sakit kepalanya mereda. Menghadapi gadis di sebelahnya ternyata cukup membuat kepalanya pening. Dan sepertinya mereka tidak akan pernah bisa akur sampai kapan pun juga.
Sesampainya di lokasi syuting, Shaga tidak bisa untuk tidak turun. Ia harus mengeluarkan beberapa barang bawaan Noa. Walaupun ia yakin, tidak ada kata terima kasih yang akan terucap dari bibir gadis itu, tetap saja ia lakukan.
“Beb?”
Noa menoleh saat suara yang dikenal menyebut namanya. Senyum gadis itu langsung mengembang saat seroang laki-laki tampan mendekat.
“Hai, kamu sudah sembuh?” tanya Noa sambil membalas pelukan Keano – pacar Noa.
“Tentu saja. Semalam aku telpon, kamu nggak jawab. Pasti capek, ya.”
Noa mengangguk manja. “Aku tidur cepat. Untung saja bisa tidur, padahal di tempat baru.”
Pandangan mata Keano tertuju pada sosok Shaga yang sedang menutup pintu mobil setelah selesai mengeluarkan barang milik Noa. “Dia siapa? Supir baru kamu?”
“Bukan. Dia keponakan Om Ghandi yang tinggal dengan kami,” jawab Noa malas.
“Oh. Aku kira papa tiri kamu langsung kasih supir.”
Noa tertawa hambar. “Kalaupun itu terjadi, aku nggak akan pernah mau.”
“Barangnya sudah turun semua. Aku pergi dulu,” ucap Shaga dingin. Lalu matanya bertemu pandangan dengan Keano.
“Oke. Silakan pergi,” sahut Noa tidak tahu diri.
Keano seperti tersenyum mengejek. “Jangan ketus begitu. Dia juga saudara kamu.”
“Enggak. Aku anak tunggal dan nggak punya saudara!”
Shaga tidak memedulikan ucapan Noa karena kenyataannya memang begitu. Ia pun segera meninggalkan tempat tersebut bersama mobilnya. Tidak untuk pulang, melainkan ke sanggar judo miliknya.
Dari kaca spion mobilnya, Shaga melihat Noa masih berdiri di tempat yang sama bersama dengan Keano. Ia tahu mengenai hubungan mereka, hanya saja kesan pertama bertemu laki-laki itu, membuat Shaga merasa tidak nyaman.
“Mereka berdua sangat cocok. Sama-sama terlihat angkuh dan menyebalkan,” gumam Shaga.