Part 13

1749 Kata
Nadira baru saja siap menyelesaikan pekerjaan rumah setelah hampir siang hari. Pukul 13.00 Nadira menatap jam dinding merasa tidak tenang meskipun baru saja sebentar duduk mengistirahatkan diri. Ia tidak tahu bagaimana keadaan ayahnya di rumah sakit sendiri. Ia juga terlalu lama meninggalkan ayahnya hingga siang hari seperti ini. Nadira masuk ke dalam kamarnya mengambil beberapa potong pakaian ganti untuknya dan pakaian ganti sang ayah. Ia juga membawa seragam sekolah miliknya dan berniat sekolah dari rumah sakit saja. Nadira tidak punya waktu jika seperti ini setiap hari. Bisa-bisa ia bolos sekolah seperti hari ini karena pekerjaan rumah yang menumpuk. Nadira keluar dari rumah dengan membawa tas ranselnya. Ia tidak akan pamit pada Desi, karena semua itu percuma, Desi hanya akan marah padanya dan malah membuatnya semakin sulit. Nadira berjalan menyusuri jalanan kota dengan ransel di pundaknya. Mau naik angkutan umum ia tidak memiliki uang sama sekali, sore ini sepertinya dia bisa bekerja di cafe milik keluarga Tristan. Tapi bagaimana ayahnya nanti, Nadira terus berjalan dengan pikiran yang terus berkecamuk di dalamnya. Tanpa Nadira sadari ia melewati toko kelontong milik ayahnya yang saat ini di kelola oleh Desi. Nadira menyadari kemana langkahnya berjalan dan berhenti di seberang jalan. Gadis itu menatap toko kelontong yang terlihat ramai, banyak pengunjung yang keluar masuk ke dalam toko tersebut. Bahkan nama toko tersebut sudah berganti bukan lagi nama toko yang ayahnya berikan. Nadira mengerutkan dahinya merasa heran, apa Desi mengubah toko itu menjadi miliknya. Nadira hendak melangkah menuju toko itu namun ia urungkan karena tidak ingin waktunya semakin lama bertemu sang ayah. Nadira hanya menatap nelangsa ke arah toko tersebut. Toko yang dulunya di rintis oleh ayah dan ibunya kini menjadi milik orang lain. Nadira tidak cukup kuat untuk mengambil itu semua dari genggaman Desi. Ia hanya bisa berharap semoga ayahnya cepat membaik dan keadaan kembali seperti sebelumnya. Nadira kembali melanjutkan langkahnya menuju rumah sakit agar lebih cepat sampai. Nadira tiba di kamar Arif dan melihat ayahnya tampak sudah siuman. Dokter pria yang Nadira temui kemarin tampak berada di ruangan tersebut. Arif menoleh melihat kedatangan putrinya membuat Nadira mempercepat langkahnya. "Ayah, Ayah sudah siuman." Nadira langsung memeluk tubuh ringkih Arif. Pria dengan wajah pucat itu ikut memeluk putrinya mengusap tangan Nadira berulang-ulang. Nadira menangis bahagia melihat ayahnya sudah sadar sekarang. "Dok, bagaimana keadaannya?" tanya Nadira membuat dokter Andi menatapnya tersenyum. "Saat ini sudah lebih baik, dimana orang tuamu?" tanya dokter Andi membuat Nadira mengerjabkan matanya bingung. "Oh, Ibu, dia tidak sempat kesini." jawabnya terdengar aneh. Andi mengerutkan dahinya menatap Nadira lalu menghela nafasnya panjang. "Baiklah, saya akan kembali lagi nanti, tolong jangan terlalu membuat ayah kamu lelah, biarkan ia beristirahat ya?" ucap sang dokter membuat Nadira mengangguk cepat. Dokter dan suster itu keluar membuat Nadira tersenyum pada ayahnya. "Nak, kenapa kita ada di sini?" tanya Arif dengan wajah lesu. "Ayah sedang sakit, bagaimana Nadira tidak membawa Ayah kesini." ucap Nadira sambil memijit tangan Arif yang bebas dari selang infus. "Tapi, Nak, semua ini butuh biaya." ucap Arif lirih. "Nadira tahu, Ayah. Ayah harus segera di rawat, Nadira tidak punya pilihan, Nadira akan lunasi semua biayanya, Nadira akan bekerja." ucap Nadira dengan percaya diri. "Kita pulang saja hari ini." Arif mencoba untuk bangkit namun Nadira menghalanginya. "Ayah jangan seperti ini, Nadira mohon Ayah, Ayah terlihat baik-baik saja semenjak berada di rumah sakit, Nadira tidak ingin melihat Ayah sakit ketika di rumah." Arif menghela nafasnya sambil memejamkan matanya, menyandarkan kepalanya di ranjang empuk rumah sakit. Ruangan ini terlihat bukan ruangan umum, sepertinya ruangan kelas menengah, bagaimana putrinya bisa mendapatkan fasilitas ini. "Tapi semua ini butuh biaya banyak, Nak. Kita tidak punya uang, apa mereka tidak memberitahu kamu untuk membayar biaya rumah sakit ini?" Nadira menatap ayahnya cukup lama lalu menggeleng pelan. "Tidak," "Bagaimana bisa? Apa mereka tidak mengusirmu?" Nadira kembali menggeleng karena memang pihak rumah sakit tidak pernah mengusirnya, malah memberikan ruangan bagus ini untuk ayahnya. "Ayah tidak ingin kamu terlilit hutang dan menyusahkan kamu, Nak, kita pulang saja, tanyakan pada kasir rumah sakit, berapa total yang sudah kita gunakan selama Ayah disini, setelah itu kita pulang ke rumah." Nadira terdiam mendengar ucapan ayahnya. Ia memang tidak memeriksa kasir, apa semua ini sudah di bayar oleh dokter Raline. Apa benar seperti itu, Nadira merasa tidak enak jika ia terlalu merepotkan wanita yang sudah baik dan menolong dirinya. "Ayah, Ayah tunggu di sini dulu ya, Nadira mau ke depan memeriksa biaya rumah sakitnya." Arif hanya mengangguk mendengar ucapan putrinya. Nadira langsung keluar dari ruangan itu menuju ruang administrasi. Nadira berjalan mendekati ruang administrasi dan bertanya di sana. "Sus, saya mau bertanya ruangan atas nama pasien Arif, berapa biayanya saat ini?" suster yang berjaga dengan ramah melayani Nadira mencari nama atas nama ayahnya. Nadira menunggu beberapa saat dengan rasa tidak tenang. "Atas nama Bapak Arif, ruangan Anggrek sudah di bayar lunas selama satu minggu, Mbak." jawab suster tersebut membuat Nadira terkejut. Apa benar yang melunasi semuanya adalah dokter cantik itu. Nadira merasa tidak enak jika semua ini adalah perbuatannya. "Total biaya keseluruhan selama satu minggu itu berapa banyak, Sus?" Suster tersebut tersenyum lalu menyebutkan nominalnya membuat Nadira tidak bisa berkata-kata lagi. "Terima kasih, Sus." jawab Nadira lemas, bagaimana ia membayar hutang itu, mendengarnya saja sudah membuat Nadira bingung. Kemana ia mencari uang sebanyak itu, ia hanya bisa menghasilkan uang sedikit dari pekerjaannya. Nadira berjalan dengan langkah lesu menuju ruangan sang ayah. Gadis itu masuk ke dalam ruangan ayahnya dan melihat Raline tampak memeriksa keadaan ayah Nadira. Nadira langsung berjalan cepat mendekati Raline yang sibuk bertanya pada Arif. "Dok," panggil Nadira membuat Raline menoleh melihat kedatangan Nadira. "Kamu sudah kembali? Saya mencari-cari kamu sejak tadi, Nadira." ucap Raline membuat Nadira terkejut karena Raline mengetahui namanya, mereka belum sempat berkenalan sejak kemarin membuat Nadira merasa bersalah. "Dokter mencari saya?" tanya Nadira membuat Raline tersenyum. "Iya, nama kamu cantik ya, seperti orangnya." Nadira hanya tersenyum tipis mendengar banyolan Raline, pikirannya masih terpaku pada biaya rumah sakit ayahnya. "Dokter bisa saja, Dokter lebih cantik, baik lagi, Dokter kok bisa tahu nama saya?" Raline menunjuk ayah Nadira membuat Nadira mengerti jika ayahnya mengatakan pada dokter tersebut. "Maaf, Dok, kita belum berkenalan secara resmi dari kemarin." ucap Nadira sambil menyodorkan tangannya mendekati Raline. "Saya Raline, Dokter Raline." ucap Raline sambil tersenyum menghadap Nadira seutuhnya. Ia selesai memeriksa Arif dan mengajak Nadira keluar dari ruangan tersebut. "Nama yang cantik, Dok!" ucap Nadira menguji Raline kembali. Raline terkekeh lalu merangkul gadis remaja itu keluar dari ruangan Arif. Mereka duduk di cafetaria rumah sakit sambil menikmati segelas jus di hadapan mereka. Nadira menatap Raline gugup karena bingung harus memulai dari mana ia bertanya pada wanita di hadapannya ini. "Dok," panggil Nadira membuat Raline memusatkan pandangannya pada gadis remaja itu. "Ya, ada apa?" Nadira memajukan tubuhnya mendekati Nadira. "Apa semua biaya rumah sakit Ayah, Dokter yang melunasinya?" Raline berdehem singkat mengangguk pelan. Nadira meremas bajunya merasa bingung harus bagaimana berterima kasih pada Raline. "Kenapa.Dokter melakukan itu? Aku tidak tahu harus bagaimana membalas semuanya, Dok." ucap Nadira lirih sambil menunduk di hadapan Raline. "Tidak apa-apa, Nad, kamu bisa menyicilnya, mulai sekarang saya yang menangani Ayah kamu, jadi jangan sungkan seperti itu." Nadira menghela nafasnya berat, ini malah semakin membuatnya tidak enak, Raline terlalu baik padanya dan saat ini ia menjadi dokter ayahnya. "Empat puluh juta, Dok, bagiamana aku melunasinya, bahkan bekerja selama setahun belum tentu terkumpul segitu banyak." Raline hanya tersenyum mendengar ucapan Nadira. "Sudahlah, kita jangan membahas itu sekarang, kalau kamu sudah ada uangnya baru kita bahas lagi." Nadira menunduk merasa tidak enak jika seperti ini. "Tapi, Dok," "Sudahlah, kamu mengingatkan adik bungsu saya, dia juga masih sekolah seperti kamu, saya merasa tidak tega jika meninggalkan kamu begitu saja, Nadira." ucap Raline membuat Nadira menatap Raline tidka percaya. "Tapi, Dok, kita baru saja kenal, Dokter terlalu baik kepada saya." Raline tersenyum tipis mendengar ucapan Nadira. "Tidak masalah, berbuat baik tidak harus kepada orang yang kita kenal saja," jawab Raline membuat Nadira tersenyum. "Adik Dokter masih sekolah?" Raline mengangguk cepat. "Iya, tahun ini lulus sekolah, tapi adik saya laki-laki, kapan-kapan kamu harus berkenalan ya?" Nadira hanya tersenyum tipis merasa tidak tertarik, ia hanya mengangguk mengiyakan apa yang Raline katakan. "Berarti dia lebih tua dari saya, Dok." "Oh ya, kamu kelas berapa saat ini?" "Aku masih kelas satu, Dok." Raline mengangguk mengerti. "Wahh anak baru dong." ucap Raline membuat Nadira tersenyum. "Yah begitu lah," jawab Nadira merasa tidak bersemangat, karena di awal sekolah sudah membuatnya merasa lelah dengan semuanya. "Kamu tidak masuk hari ini?" tanya Raline membuat Nadira menggelengkan kepalanya. "Kenapa?" Nadira menatap Raline dengan tatapan seketika gugup, bagaimana bisa ia mengatakan jika ia sibuk berberes rumah membuatnya tidak bisa pergi sekolah. "Tidak ada yang menjaga Ayah, Dok." jawab Nadira berbohong. "Oh iya, kamu tadi pagi kembali ke rumah, Ibu kamu tidak ikut? Saya ingin bicara dengannya." ucap Raline membuat wajah Nadira bingung. Gadis itu tampak terdiam gelisah membuat Raline menyadari jika ia bertanya dengan pertanyaan yang salah, tapi ia harus cepat mengambil tindakan untuk pengobatan Arif jika tidak ada wali seperti ini, Raline semakin di buat bingung harus melimpahkan tanggung jawab ini pada siapa. Mungkinkah pada gadis remaja ini saja, apa yang akan ia lakukan dengan keadaan ayahnya jika ia tahu ayahnya mengidap kanker yang kapan saja bisa pergi meninggalkannya. "Ibu tidak bisa kesini, Dok." jawab Nadira lirih. Raline tersenyum mendengar ucapan Nadira lalu mengusap punggung Nadira menguatkan. "Ya sudah, tidak apa-apa, jangan sedih gitu wajahnya, kamu harus semangat!" Nadira mengangkat wajahnya menatap Raline yang tersenyum cantik di hadapannya. Raline selalu memberikan aura positif pada Nadira membuatnya kembali semangat dan tidak merasa sendiri. "Terima kasih, Dok!" Raline mengusap punggung Nadira menenangkan. "Untuk apa? Saya tidak melakukan apapun untuk kamu, Nadira." Nadira tersenyum mendengar ucapan Raline. "Dokter selalu ada di samping saya, Dokter juga selalu menguatkan saya, mengingatkan saya jika semua ini hanya ujian yang perlu saya lalui." jelas Nadira membuat Raline menghela nafasnya panjang. Ia menatap lurus kedepan menerawang kehidupannya selama ini. "Saya merasa senang bisa mengenal kamu, Nadira, kamu anak yang kuat, kamu mengingatkan saya saat dulu masih sekolah, kamu perempuan yang tangguh, saya bahkan tidak pernah berpikir bagaimana kehidupan orang tua saya saat membesarkan saya, kamu juga tidak pernah mengeluh, kamu gadis yang optimis, saya menyukainya, dan karena saya tidak memiliki adik perempuan, kamu cukup menghibur saya." Nadira merasa senang mendengar ucapan Raline yang apa adanya. "Bukannya Dokter memiliki adik laki-laki?" tanya Nadira memastikan. "Iya, adik laki-laki, kami memiliki jarak usia yang cukup jauh, dia sedikit susah untuk di dekati, kamu tahu sendiri anak laki-laki itu punya dunianya sendiri!" Nadira mengangguk mengerti, percakapan itu tidak berangsur lama, Raline akhirnya meninggalkan Nadira di sana sendiri karena tugasnya sudah memanggil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN