Part 12

1723 Kata
Semua sudah di persiapkan dan Arif sudah di pindahkan ke ruang rawat karena semua pembayaran sudah Raline tangani lebih dulu. Nadira menatap ayahnya yang terlihat masih terlelap di atas ranjang. Gadis itu sudah menggunakan pakaian bersih dan sudah membersihkan wajahnya dari rasa lelah seharian. Nadira menatap jam dinding di ruangan tersebut menunjukkan pukul 18.00 ia merasa bingung harus pulang atau tidak. Pasalnya Desi tidak mengetahui kepergiannya, dan Nadira juga harus memberitahu keadaan ayahnya saat ini kepada ibu tirinya tersebut. Nadira masih sibuk dengan pikirannya, terdengar seseorang masuk ke dalam ruangan tersebut membuat Nadira menoleh melihat siapa yang datang. Raline tersenyum menatap Nadira saat melihatnya. Raline membawa beberapa makanan untuk Nadira, gadis itu pasti lapar karena belum makan apapun. "Kamu makan dulu ya?" tawar Raline tanpa luput dari senyum cantik di wajahnya. "Terima kasih, Dok, tapi sepertinya saya terlalu banyak merepotkan Dokter." Raline tersenyum lebar mendekati Nadira yang masih duduk di samping ayahnya. "Tidak apa-apa, ini tidak repot kok, lagian kamu pasti lapar, saya perhatikan dari siang belum makan apapun." Nadira hanya tersenyum kecil mendengar penuturan Raline. Ia memang belum makan apapun, karena khawatir dengan ayahnya entah kemana rasa lapar yang biasa ia rasakan. Ia bahkan merasa tidak berselera makan apapun. "Sekali lagi terima kasih, Dok." ucap Nadira dengan wajah tidak enak. "Sudah, jangan terima kasih terus, kamu makan dulu ya, yuk?" Nadira menurut lalu mereka duduk di kursi tunggu yang ada di dalam ruangan tersebut. Raline membuka makanan dengan lauk ayam panggang dan beberapa sambal serta jus jeruk sebagai temannya. Nadira makan dalam diam di temani Raline yang juga ikut makan sedikit dengan Nadira. "Kamu tidak apa-apa sendiri?" tanya Raline menatap Nadira dengan dahi berkerut. "Tidak apa-apa, Dok, saya bisa kok." ucap Nadira tidak ingin merepotkan orang baik seperti wanita di hadapannya ini. "Saya akan pulang setelah ini, tapi besok pagi pasti kembali lagi, kalau ada sesuatu tekan saja tombol darurat di atas itu, nanti perawat jaga dan Dokter pasti datang ke ruangan ini." Nadira mengangguk mengerti melihat Raline menjelaskan bagaimana nantinya. Raline sangat berterimakasih atas bantuan wanita cantik ini. Kelak ia ingin menjadi wanita yang berguna dan berbudi pekerti seperti wanita di hadapannya ini. "Terima kasih, Dok, Dokter jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja, Ayah juga terlihat tidur dengan nyaman." Raline hanya tersenyum tipis mendengar rasa syukur gadis remaja tersebut. Karena keadaan sebenarnya bukanlah seperti itu, ayah Nadira bahkan harus terus di rawat di rumah sakit karena penyakitnya yang serius. Raline tidak bisa bicara kepada gadis remaja ini, tentang keadaan ayahnya yang sebenarnya. Ia akan bicara pada ibunya saja, besok ia yakin ibu Nadira pasti tiba di sini. "Sejauh ini dia akan tetap baik, selama kamu tidak membawanya pulang, dia masih perlu perawatan Dokter." Nadira mengangguk mengerti, Raline pamit undur diri setelah menemani Nadira makan malam hingga tuntas. Nadira mengantar Raline hingga pintu masuk rumah sakit dan kembali ke ruangan Arif. Nadira merasa khawatir karena hari sudah malam tapi ia belum juga kembali. Desi pasti marah besar jika tahu ia belum kembali sampai malam hari. Nadira juga tidak memiliki ponsel untuk menghubungi ibu tirinya itu, akhirnya Nadira memilih untuk menjaga ayahnya saja hingga pagi hari. *** Pagi-pagi sekali Nadira sudah meninggalkan ayahnya dan menitipkan Arif pada suster jaga. Nadira kembali ke rumahnya dengan berjalan kaki dari rumah sakit hingga tiba di rumahnya. Gadis itu tidak punya pilihan karena tidak memiliki sepeserpun uang. Nadira tiba di rumahnya saat matahari mulai terbit dan menunjukkan cahaya pagi. Nadira mengetuk pintu dengan tangan gemetar, beberapa kali mengurungkan niatnya untuk mengetuk rumah tersebut. Tapi keadaan sang ayah membuatnya mau tidak mau langsung memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah dan memberitahu Desi tentang keadaan ayahnya. Tok tok tok "Bu, buka pintunya, Bu, ini Nadira." ucap Nadira sedikit keras, lalu mengetuk pintu rumah itu kembali. Nadira mengintip beberapa kali dari jendela luar memastikan ibunya ada di rumah. Seharusnya pagi seperti ini Dinda sudah bangun dan bersiap ke sekolah. Tapi kenapa rumah terlihat tidak ada orang. Nadira kembali mengetuk pintu rumah dan kali ini kunci di putar membuat Nadira bernafas lega. Wajah bangun tidur Desi menjadi pemandangan pertama Nadira. Wanita itu terkejut melihat anak tirinya berdiri di hadapannya saat ini. "Kamu!" Desi menatap Nadira terkejut dengan mata melebar. "Kemana saja kamu? Hebat kamu ya, mau jadi perempuan gak bener, kamu jam segini baru pulang!" tanya Desi sambil mengikat rambutnya yang terlihat berantakan karena baru saja bangun dari tidurnya. "Dari rumah sakit, Bu." jawab Nadira dengan nada takut. "Oh, jadi kamu beneran membawa Ayah kamu yang sakit-sakitan itu ke rumah sakit?" tanya Desi sambil bertolak pinggang. "Ayah sakit parah, Bu, ia bahkan tidak sadarkan diri di perjalanan." Desi tidak perduli bagaimana keadaan pria penyakitan itu. Ia menarik rambut Nadira membawanya masuk ke dalam rumah dengan menarik rambut Nadira. Gadis itu meringis kesakitan akibat tarikan kuat yang Desi lakukan. Desi membawa Nadira ke kamar mandi lalu mendorong tubuh Nadira menghadap pakaian kotor. "Kamu lihat itu, sudah berapa banyak pakaian kotor yang tidak kamu cuci, kamu pikir kamu siapa? Orang kaya? Orang banyak duit? Sampai-sampai kamu bawa Ayah kamu ke rumah sakit tanpa memberitahuku!" Desi terus marah membuat Nadira takut dan menangis terduduk di kamar mandi. "Bu, Ayah sendiri di sana, ia bahkan belum sadar." "AKU TIDAK PERDULI!" teriak Desi menatap tajam Nadira di hadapannya. Wanita itu menarik kembali rambut Nadira lalu memasukkan kepala Nadira ke dalam rendaman pakaian yang sudah menumpuk. Nadira memberontak sambil mencoba melepaskan tangan Desi dari rambutnya, namun sulit karena wajahnya terendam air. Desi kembali menarik kepala Nadira membuat Nadira menarik nafasnya kuat. "Bu, sakit, Bu." Nadira memegang rambutnya merasa sakit karena Desi terus menjambaknya kuat. "Kalau kamu tahu sakit, seharusnya tahu tugas kamu apa, cuci semua baju ini, lalu setrika, dan bersihkan semua pekerjaan rumah, tugas kamu itu hanya perlu berberes rumah, tidak usah sok pintar membawa Ayah kamu ke rumah sakit, kamu pikir semua itu tidak butuh uang! Kamu pikir mencari uang itu tidak susah? Kalau sudah waktunya mati, ya mati saja, jangan menyusahkan orang yang masih sehat!" Nadira menunduk menangis mengepalkan tangannya kuat mendengar semua ucapan Desi yang menusuk hatinya. Tidak hanya lelah fisik, Nadira lelah hati dan pikiran karena Desi benar-benar tidak perduli lagi kepada ayahnya. "Jangan hanya menangis, membuatku muak saja, cepat ganti bajumu, buatkan sarapan untuk Ibu dan Dinda, Dinda akan ke sekolah sebentar lagi, aku tidak mau dia terlambat!" Nadira terisak dalam diam merasakan hidupnya begitu berat. Nadira mengusap wajahnya yang berair lalu bangkit dengan pakaian yang sudah basah. Nadira berjalan keluar dari kamar mandi lalu menuju kamarnya. Baru saja masuk ke dalam kamar, Dinda masuk begitu saja melemparkan pakaian seragam sekolahnya. "Kak, setrika baju aku ya, ini belum di setrika, hari ini harus pakai seragam ini." dengan senyum tanpa rasa bersalah Dinda keluar begitu saja membuat Nadira menarik nafasnya panjang dan melepaskannya secara perlahan-lahan. Kesal, sedih, marah, kecewa, marah semua bercampur jadi satu di dalam hati Nadira. Merasa lelah dengan semua ini, tapi ia harus tetap kuat untuk sang ayah. Nadira menghela nafasnya panjang lalu menatap baju yang Dinda berikan padanya, ia tidak ingin menjadi lebih sulit, Desi pasti marah besar jika ia tidak melakukan perintah Dinda. Gadis menyebalkan itu hanya tahu menyusahkannya. Nadira mempercepat kegiatannya lalu segera menyetrika baju Dinda lalu ke dapur menyiapkan sarapan untuk ibu tiri dan adik tirinya. Ia tidak ingin semua ini berlalu lama, Nadira ingin semua ini cepat berakhir dan ia bisa pergi ke rumah sakit menemui ayahnya. Percuma ia bicara pada Desi jika akhirnya semakin menambah beban pikirannya dan menyulitkan hidupnya. Nadira meletakkan makanan di atas meja makan. Ia menutupnya dengan tudung saji, dan beralih ke kamar mandi untuk mencuci pakaian yang sudah menumpuk. Nadira merendamnya dengan sabun pencuci lalu membiarkan baju itu beberapa menit terendam sementara ia keluar membersihkan rumah dan halaman. Desi dan putrinya terlihat keluar dari kamar menuju meja makan. Nadira masuk ke dalam rumah melihat keduanya dengan melirik sekilas. Setelah menyapu halaman rumah dan memastikannya bersih, ia mencuci piring yang sudah banyak menumpuk bahkan bekas makan mereka beberapa hari lalu tidak tersentuh. Nadira menghela nafasnya mengapa ada orang seperti ini, tidak melakukan apapun di rumah yang mereka tinggali. Nadira mencuci piring sambil melamun tiba-tiba tersentak saat Desi menoyor kepalanya. "Kerja, jangan melamun saja!" Nadira langsung mempercepat kerjaannya sementara Desi meletakkan piringnya dan Dinda di cucian Nadira. "Cuci ini sekalian, setelah semua kerjaan selesai baru kamu boleh makan, kalau belum selesai jangan berani-beraninya kamu makan, ngerti!" Nadira tidak menjawab hanya melanjutkan cucian piringnya. Desi duduk di meja makan memperhatikan Nadira yang hanya diam membisu. "Bagaimana keadaan Ayah kamu?" tanya Desi sambil duduk santai di meja makan menatap Nadira. "Sudah lebih baik!" jawab Nadira singkat. Desi terdengar tertawa mendengarkan ucapan Nadira. "Kalau begitu sudah bisa kerja dong." ucap Desi membuat Nadira menggenggam erat spons pencuci piring. "Ibu kenapa tidak pernah melihat, Ayah?" tanya Nadira dengan nada geram. Desi tidak terlalu tertarik untuk melihat suaminya di rumah sakit. "Untuk apa?" ucap Desi santai. "Dia suami, Ibu, Ayah pasti senang jika Ibu melihat Ayah di rumah sakit." Desi terkekeh mendengar ucapan Nadira. "Untuk apa berharap pada pria penyakitan, aku menikahinya bukan untuk hidup susah!" Nadira memejamkan matanya merasa sakit hati. Nadira tidak menjawab dan langsung mempercepat pekerjaannya agar lebih cepat pergi dari wanita tidak tahu diri ini. Nadira mencuci tangannya setelah membersihkan area dapur lalu berniat masuk ke kamar mandi untuk mencuci pakaian yang ia rendam tadi. "Nadira," panggil Desi membuat langkah Nadira terhenti. Nadira menoleh menatap Desi yang memanggilnya dengan nada serius. "Ya, Bu?" "Kenapa kamu diam saja, Ibu bicara padamu!" ucap Desi menatap Nadira marah. "Nadira harus jawab apa, Bu, kalau Ibu tidak suka dengan Ayah lagi, itu urusan Ibu!" jawab Nadira bercampur kesal. Desi menatap Nadira sinis merasa tidak suka mendengar ucapan anak kecil ini. "Kalau begitu kamu setuju jika aku menceraikan Ayahmu?" tanya Desi membuat Nadira menunduk bingung, mengapa Desi mengajaknya bicara tentang hal yang ia tidak mengerti. "Kasihan Ayah, Ibu tahu semuanya tergantung Ibu sekarang!" Desi terkekeh mendengar ucapan Nadira. "Kamu bilang itu urusan Ibu, kalau begitu, Ibu maunya Ayah kamu tidak perlu kembali ke rumah ini, biarkan saja dia sekarat di rumah sakit, itu lebih baik!" Nadira meremas tangannya mendengar ucapan Desi. Gadis itu terus menunduk tidak ingin menjawab ucapan Desi. "Sudahlah, kamu juga akan tahu nanti, apa yang terjadi, Ibu pergi dulu, awas jika kamu tidak pulang lagi, lebih baik enggak usah pulang sekalian, bikin susah saja!" Desi bangkit dari duduknya sementara Nadira meneteskan air matanya merasa geram dan kesal karena Desi begitu kurang ajar terhadap ayahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN