Part 14

1716 Kata
Nadira terbangun dari tidurnya saat hari mendekati pagi. Tadi malam ia cukup lelah karena pekerjaan rumah yang di lakukan terlalu banyak. Hari ini Nadira akan ke sekolah, ia tidak akan mampir ke rumah. Nadira sudah menyiapkan semua perlengkapannya yang ia bawa dari rumah kemarin. Gadis itu beranjak dari sofa di ruang rawat Arif dan mendekati ayahnya. Ia melihat ayahnya masih tertidur pulas, Nadira bersyukur semenjak berada di rumah sakit ayahnya tidak kesulitan bernafas lagi seperti saat di rumah. Terlihat normal, namun Nadira belum tahu jelas penyakit apa yang ayahnya derita. Nadira yakin ayahnya tidak sedang sakit biasa, melihat penyakitnya tidak sembuh hanya menggunakan obat yang di resep dokter saja. Nadira merapikan selimut sang ayah lalu berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap ke sekolah. Pikirannya terus berkelana bagaimana ia melunasi biaya rumah sakit yang Raline lunasi selama satu pekan. Hari ini sudah hari ke tiga Nadira di rumah sakit, ia harus bekerja, tapi bagaimana ayahnya ketika ia bekerja hingga sore hari. Nadira keluar dari kamar mandi dengan seragam sekolah yang sudah rapi. Gadis itu tersenyum saat mendapati perawat jaga sedang memeriksa keadaan sang ayah. Ayah Nadira juga terlihat sudah terbangun dari tidurnya menatap Nadira dengan senyum di wajahnya. "Ayah, Nadira hari ini mau ke sekolah, Ayah tidak masalah kan sendiri di sini?" Arif hanya menggelengkan kepalanya tidak keberatan. Nadira tersenyum lalu mencium tangan Arif dengan kelembutan. Gadis itu berjalan merapikan barang-barangnya menyusunnya dengan rapi lalu menatap jam dinding di ruangan tersebut. Hampir pukul 07.00 pagi. Nadira tidak tahu ia akan tiba tepat waktu atau tidak, yang pasti ia ingin pergi ke sekolah hari ini dengan berjalan kaki. Nadira merapikan tasnya lalu mendekati Arif kembali. "Ayah, Nadira pergi sekarang ya?" Arif menatap putrinya dengan tatapan sedih, putrinya belum sarapan, bahkan ia tidak tahu apakah putrinya memiliki uang atau tidak. Arif meraih tangan putrinya lalu menggenggamnya erat. "Maafkan Ayah, Nak, Ayah selalu menyusahkan Nadira." ucap Arif dengan tatapan sedih dan berkaca-kaca. Nadira tersenyum membalas genggaman tangan ayahnya. "Ayah jangan bilang seperti itu, cuma Ayah yang Nadira punya, apapun akan Nadira lakukan demi kesembuhan Ayah." Arif mengusap kepala putrinya lembut. "Hati-hati, Nak." ucap Arif membuat Nadira mengangguk dan beranjak pergi dari ruangan tersebut. Gadis itu berjalan cepat keluar dari rumah sakit, melihat matahari mulai naik membuatnya takut terlambat masuk sekolah. Nadira baru saja keluar dari area rumah sakit menatap kehadiran dokter Raline dan dokter pria yang menangani ayahnya pertama kali. Nadira berniat menyapa keduanya, namun saat mendekati kedua dokter itu ia mendengar percakapan keduanya. "Bagaimana, Dok, sudah ada keputusan?" Raline tampak menggelengkan kepalanya, posisi mereka masih berdiri di samping mobil membelakangi Nadira. "Belum Dokter Andi, saya juga bingung harus mengambil tindakan bagaimana dengan pasien tersebut, sepertinya mau tidak mau saya harus bicara pada putrinya." Andi mengangguk setuju dengan ucapan Raline. "Mau gimana lagi, Dok, kita harus segera menangani pasien tersebut, karena penyakitnya akan terus menyebar, dan itu membahayakan nyawa pasien, segera lakukan tindakan Dok, karena pasien harus segera di operasi." Raline mengangguk mengerti, Nadira merasa tidak enak harus menyela pembicaraan keduanya. "Saya akan bicara pada Nadira pelan-pelan, semoga gadis itu mengerti dan bisa menerima keadaan Ayahnya." ucap Raline membuat Nadira yang berdiri di belakang keduanya tampak terkejut seketika menutup mulutnya. Ia tidak menyadari sejak tadi mereka membahas masalah kesehatan sang ayah. Nadira mendadak bingung, ia merasa dunianya terhenti, apa yang terjadi sebenarnya kepada sang ayah. Gadis itu berjalan mundur, dengan langkah pelan dan lalu berlari menjauhi kedua dokter itu. Ia keluar dari rumah sakit melalui pintu keluar lainnya. Nadira berjalan dengan pikiran berkecamuk. Hatinya takut dan sedih, apa yang sedang di alami oleh ayahnya. Mengapa para dokter itu tidak bicara padanya saja, Nadira berhenti dan berjongkok di pinggir jalan menutup wajahnya menangis terisak di sana. Ia tidak perduli orang-orang melihatnya, ia hanya ingin menumpahkan kesedihan di hatinya agar sedikit hilang beban yang ia rasakan saat ini. Nadira menatap jalanan dengan tatapan mengabur lalu mengerjabkan matanya membuat pandangan Nadira kembali jelas. Ia bangkit dari sana dan kembali berjalan dengan pandangan kosong. Langkahnya seperti tanpa tujuan, ia tidak tahu lagi apa yang ia akan hadapi kedepannya, haruskah ia kehilangan ayahnya, cuma itu yang Nadira punya. Gadis itu menangis sambil terus berjalan menyusuri kota menuju sekolahnya. Entah berapa lama ia sudah berjalan, yang pasti Nadira yakin ia sudah terlambat masuk ke sekolah. Wajah sembab karena banyak menangis membuat Nadira terlihat pucat. Meskipun Nadira sudah dekat dengan sekolahnya, tapi gadis itu memilih duduk di bangku pinggir jalan dengan tatapan kosong melamun di sana. Ia merasa tidak bersemangat untuk masuk sekolah, haruskah ia bolos sekolah lagi hari ini. Dari arah kiri terlihat Rangga mengendarai motornya dengan kecepatan laju. Karena jam masuk sekolah sudah tiba, tidak ada waktu untuk berkendara dengan santai, namun saat dia melewati Nadira pria itu memutar kembali arah motornya menghampiri gadis yang terlihat melamun di pinggir jalan dengan tatapan kosongnya. Rangga mengerutkan dahinya melihat Nadira di sana membuat Rangga turun dari motornya mendekati Nadira. Rangga menggoyangkan tangan di depan wajah Nadira namun gadis itu tidak merespon sedikitpun. "Nadira," panggil Rangga namun Nadira tidak merespon panggilannya. "Nadira, hey." Rangga menepuk pundak gadis itu membuat Nadira mendongak melihat siapa yang memegangnya. Nadira hanya menatap Rangga lalu kembali menatap lurus jalanan. "Hey, kamu kenapa? Kesambet setan? Masih pagi juga." ucap Rangga ikut duduk di samping Nadira yang tidak meresponnya sama sekali. Rangga semakin di buat heran mengapa gadis ini bisa berubah menjadi bisu. "Hey, kamu mau sekolah enggak nih, kita sudah terlambat, malah bengong disini." ucap Rangga membuat Nadira menatap kakak kelasnya tersebut. Rangga mendadak salah tingkah karena Nadira menatapnya serius, namun sedetik kemudian tatapan Nadira berubah berkaca-kaca seperti ingin menangis. Rangga mengerutkan dahinya bingung dengan perubahan wajah Nadira seketika. "Nad, kamu tidak apa-apa kan?" tanya Rangga merasa bingung. Nadira hanya menggelengkan kepalanya menjawab ucapan Rangga. Gadis itu benar-benar menangis di samping Rangga membuat pria itu seketika terkejut dan bingung harus berbuat apa. "Nadira, kamu kenapa? Hey, jangan nangis, kamu di lihatin orang yang lewat loh." ucap Rangga membuat Nadira malah semakin menangis tersedu-sedu. Rangga di buat serba salah di dekat Nadira, gadis yang biasanya tidak pernah menunjukkan emosinya. Hari ini ia malah menunjukkan emosi sedih yang membuat Rangga kebingungan. Pria itu mencoba menenangkan Nadira mencoba mengusap pundak Nadira pelan tanpa bersikap tidak sopan. Tapi Nadira terus menangis tidak juga berhenti, Rangga akhirnya memberanikan diri merangkul Nadira mencoba untuk memberikan pundaknya untuk Nadira. Gadis itu menurut dan langsung terisak di pundak Rangga. Rangga merasa senang meskipun saat ini Nadira menangis tanpa tahu apa penyebabnya. Setidaknya ia bisa mendekati gadis ini, gadis yang selama ini ia coba dekati. Rangga mengusap lengan Nadira pelan dengan gerakan berulang-ulang mencoba menenangkan Nadira. Mereka berdua terdiam cukup lama di sana, sementara Nadira terlihat lebih tenang dan sudah tidak terdengar menangis di pundak Rangga. "Maaf, baju kamu jadi basah." ucap Nadira menjauhkan tubuhnya dari Rangga. Rangga tersenyum tidak masalah dengan semua itu, bahkan jika ia harus basah-basahan asalkan Nadira senang ia akan melakukannya, terdengar lebay memang. "Tidak apa-apa, nanti juga kering sendiri." ucap Rangga dengan wajah ramah. Nadira menunduk menutupi wajah sedihnya dari tatapan Rangga. "Terima kasih!" ucap Nadira lirih hampir tidak terdengar. "Jadi, kita tidak sekolah? Ayo, kita sudah sangat terlambat ini." ajak Rangga membuat Nadira mengangkat wajahnya menatap pria itu dengan dahi berkerut. "Ini sudah siang, aku pulang saja!" Rangga menatap Nadira terkejut lalu mencoba membujuknya. "Tidak apa-apa, paling juga kita di hukum, ayo cepat, kita bisa minta Pak Sukir bukain gerbang sekolah." Nadira menatap Rangga ragu. "Kalau tidak di buka gimana?" "Kita dobrak saja," ucap Rangga asal, Nadira menahan tawanya cukup terhibur. "Tapi aku sudah tidak berniat ke sekolah, kamu saja yang pergi." Rangga terdiam menatap Nadira cukup lama. "Kenapa?" "Tidak apa-apa." jawab Nadira cepat. "Kamu ngajakin aku bolos? Aku bakalan lulus tahun ini, tidak sempat untuk jadi anak berandalan lagi." Nadira menaikkan alisnya mendengar ucapan Rangga. "Yang ngajakin kamu bolos siapa? Aku bilang aku mau pulang, kamu saja yang pergi." ucap Nadira kembali dalam mode datarnya. Rangga tersenyum tipis melihat perubahan wajah Nadira lalu mencoba untuk mendekatinya kembali. "Oke baiklah, tapi bukannya semua sia-sia jika kamu kembali pulang, kita sudah sampai sini kenapa tidak ke sekolah saja, urusan di hukum itu belakangan." Nadira terdiam berpikir, ucapan Rangga ada benarnya, ia juga tidak punya tujuan, kembali ke rumah membuatnya semakin pusing, kembali ke rumah sakit, Nadira belum siap mendengar vonis dokter terhadap ayahnya. Nadira menatap Rangga lalu mengangguk setuju. "Oke, aku ikut!" jawab Nadira membuat Rangga tersenyum, Rangga berjalan mendekati motornya menggunakan helem lalu menatap Nadira yang mengikutinya dan naik di boncengan. Nadira tidak menyangka ini kali kedua ia menaiki motor Rangga. Jika di pikir-pikir, Rangga cukup baik dan sopan, pria itu juga ramah, tapi mengapa Nadira selalu kesal setiap melihatnya. Sepertinya Nadira harus membuang kekesalan itu, dan berterima kasih pada Rangga karena sudah peduli padanya untuk hari ini tanpa bertanya kenapa dan apa yang terjadi sebagai bentuk kelancangan. Rangga melajukan motornya menuju sekolah, meskipun sudah terlambat Rangga tetap optimis dan terus berjalan menuju sekolah mereka. Terlihat suasana sudah sepi di area luar sekolah, Rangga melirik Nadira yang duduk diam di belakangnya. "Kalau kita di hukum bagaimana? Tidak apa-apa kan?" tanya Rangga sebelum mendekati gerbang sekolah. "Santai aja, aku udah biasa kok, kamu sendiri gimana, kamu kan sebentar lagi mau lulus sekolah, emang yakin mau cetak prestasi terlambat dan di hukum?" tanya Nadira membuat Rangga tersenyum tipis, tidak masalah di hukum asalkan hukumannya bersama Nadira, batinnya berdoa. "Santai saja, kita juga enggak boleh terlalu jadi anak baik, sekali-sekali harus ada warna di sekolah biar kenangannya lebih indah." jawab Rangga sambil tersenyum. Nadira hanya menghela nafasnya tidak ambil pusing, toh itu urusan kakak kelasnya sendiri, bukan urusan Nadira. Mereka sampai di depan pintu gerbang sekolah Nadira, Rangga turun lebih dulu di ikuti oleh Nadira yang juga turun dari motor tersebut. Untung saja hari ini bukan hari senin yang biasanya mengadakan upacara bendera. Rangga melirik Nadira yang menunggunya di belakang, Rangga celingukan mencari satpam sekolah agar bisa membukakan pintu pagar sekolah untuk mereka. Nadira mendekati Rangga yang tampak mencari satpam penjaga pagar. "Panggil saja!" ucap Nadira membuat Rangga menatapnya terkejut. "Hah, ada-ada saja kamu, kamu kira ini rumah." Nadira menahan tawanya mendengar jawaban Rangga. "Jadi kita mau ngapain kalau enggak masuk, percuma dong udah di sini juga!" jawab Nadira membuat Rangga berpikir setuju. "Jadi panggil nih?" tanya Rangga merasa tidak yakin, Nadira mengangguk setuju. Rangga menggaruk kepalanya merasa tidak yakin namun mencoba cara yang Nadira katakan dengan volume sepelan mungkin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN