Part 1
Seorang gadis berlari kencang dengan seragam sekolah menengah atas berlari sambil melirik jam di pergelangan tangannya. Dia adalah Nadira, gadis yang telah di tinggal sang ibu saat berusia 10 tahun. Nadira baru melanjutkan sekolahnya di tingkat SMA, tahun ini Nadira duduk di kelas 10. Gadis itu terlambat sekolah karena memiliki pekerjaan rumah yang sangat banyak, serta mengurus sang ayah yang sakit-sakitan. Nadira tinggal bersama ibu tirinya, dan satu adik tiri yang masih sekolah di tingkat SMP. Nadira mempercepat jalannya saat melihat satpam sekolah hampir menutup gerbangnya.
"Pak, tunggu!" Nadira berlari kencang mendekati gerbang dengan nafas terengah-engah, keringat menetes di dahinya karena berlari sepanjang jalan.
"Nadira, cepat masuk. Kamu kenapa setiap hari terlambat. Cepat masuk ke kelasmu, apa kamu mau di hukum dan tertinggal pelajaran?" Nadira menggelengkan kepalanya cepat. Gadis itu tersenyum menatap satpam bernama Sukirman.
"Terima kasih, Pak, aku janji besok enggak terlambat lagi!" Sukir mengangguk sambil menggerakkan tangannya.
"Iya sudah, cepat sana!" usirnya pada gadis di hadapannya ini. Nadira jalan menuju kelasnya. Ia mengusap dahinya yang terlihat bulir- bulir keringat membasahi wajahnya. Nadira menyempatkan ke toilet untuk mencuci wajahnya terlebih dahulu. Gadis itu menghela nafasnya menatap dirinya di pantulan kaca. Ini baru semester awal Nadira masuk sekolah, tapi ia tidak pernah semangat karena memikirkan kesehatan sang ayah. Nadira keluar dari toilet itu lalu berjalan melewati beberapa kelas dan masuk ke kelasnya. Belum ada guru yang masuk disana, Nadira bisa melihat banyak teman- teman satu kelasnya saling bercengkrama. Gadis itu hanya duduk dan membenamkan kepalanya dengan berbantalkan tas yang ia bawa. Sungguh Nadira lelah, ia selalu terjaga setiap malam menemani sang ayah yang selalu susah tidur karena mengalami sesak nafas.
Nadira merasakan tangannya di sentuh, ia mengangkat kepalanya menatap siapa yang mengganggunya. Ternyata Nur, teman Nadira yang memegangnya, Nur beda dari yang lainnya. Gadis itu bisa menjaga dan mengerti keadaan Nadira. Hanya kepada Nur ia bisa berbicara tentang keadaannya, tapi tidak semua yang Nadira alami ia ceritakan pada Nur. Nur adalah teman sekolah Nadira di sekolah dasar. Hingga masuk sekolah menengah atas, mereka kembali satu sekolah. Nur juga tinggal tak jauh dari rumah Nadira, ia tahu Nadira kehilangan ibunya saat masih kecil dan tinggal bersama ayahnya saja. Hingga akhirnya memiliki ibu tiri.
"Kamu gak enak badan, Nad?" tanya Nur dengan wajah khawatir.
"Enggak kok, Nur, aku cuma ngantuk. Kamu bangunkan saja nanti, kalau guru udah masuk ya?" Nur mengangguk, gadis bertubuh sedikit berisi itu duduk di depan Nadira sedikit menutupi Nadira.
Bel istirahat berbunyi..
Nadira masih berada di tempat duduknya, ia tidak berniat sama sekali untuk keluar kelas. Bukan tidak ingin, ia sedang tidak membawa uang. Hari ini Nadira tidak sempat menerima uang saku dari ibunya karena terburu- buru pergi sekolah. Ia memilih tidur di kelas menambah staminanya saja. Jika lapar, ia bisa makan nanti saat tiba di rumah. Nadira merasakan sentuhan membuatnya mengangkat wajahnya. Wajah Nur terlihat di hadapannya kembali, gadis itu tersenyum menatap Nadira, lalu menyodorkan roti ke hadapan Nadira.
"Ini, ambilah. Aku tadi membelinya lebih, kita makan sama-sama!" Ucap Nur membuat Nadira tak bisa menolak. Ia menerima roti itu lalu mengangguk terima kasih.
"Terima kasih, Nur!" ucap Nadira menegakkan punggungnya.
"Kita sudah lama berteman, santai saja. Kalau kamu butuh apa-apa. Katakan saja padaku!" ucap Nur dengan segenap hati yang tulus, Nadira tahu, Nur memang tulus padanya. Gadis itu tak pernah bertanya bagaimana kehidupannya, dan tak pernah mau tahu hingga Nadira sendiri yang akan cerita padanya. Hanya Nur yang selalu perhatian padanya dan mengkhawatirkan Nadira, ia bersyukur memiliki Nur.
"Kenapa kamu baik sama aku, Nur?" Nur menatap Nadira terkejut, lalu tersenyum pada sahabatnya itu.
"Sudah aku katakan, kita sudah berteman sejak lama. Tidak perlu sungkan, kalau kamu butuh bantuanku, katakan saja!" Nadira tersenyum mendengar ucapan Nur.
"Terima kasih, tapi tidak perlu repot-repot. Aku baik-baik saja kok!" jawab Nadira sambil menunjukkan senyum di wajahnya yang ayu.
"Bagaimana kabar Ayah mu? Apa dia sudah sehat? Aku belum sempat berkunjung ke rumahmu, Umi sedang sibuk mengurus warung. Aku tidak bisa meninggalkannya!" Orang tua Nur memiliki warung makan yang cukup terkenal dan ramai. Nadira tahu hal itu karena pernah beberapa kali mampir ke rumah Nur.
"Tidak apa-apa, Nur, teruslah berbakti, kamu beruntung masih memiliki seorang ibu! Ayah masih seperti biasa." Ucap Nadira malah membuat suasana menjadi haru. Nur mencoba mengalihkan pembicaraan mereka.
"Bagaimana kalau hari ini aku traktir makan mie ayam di depan gang sekolah nanti, hari ini aku ada uang lebih karena kemarin warung Umi ramai. Kita sudah lama tidak makan bersama!" ajak Nur membuat Nadira mengangkat wajahnya menatap Nur. Ia sedikit berpikir membuat Nur menatapnya khawatir.
"Sepertinya aku tidak bisa Nur, Ayah mungkin belum makan. Dia pasti sedang menungguku untuk mengambilkan makannya. Aku harus pulang cepat!" Nur terdiam, ia merasa sedih melihat Nadira harus mengurus sang ayah. Hidup berdekatan dengan Nadira tentu banyak tahu apa yang sudah tetangga katakan. Ibu tiri Nur menjadi tulang punggung, menjaga toko milik ayah Nadira, namun ibu tirinya hanya mengurus tokonya saja. Tanpa mengurus Nadira dan ayahnya, mungkin hanya kebutuhan sehari- hari yang di penuhi oleh ibu tiri Nadira. Selebihnya ibu tiri Nadira tidak perduli hal lain, bahkan pengobatan sang ayah Nadira yang tak lain adalah suaminya sendiri. Nur menghela nafasnya lalu tersenyum.
"Ya sudah, lain kali aku akan mengajakmu kembali. Pastikan kamu memiliki waktu untuk kamu nikmati, Nad!" Ucap Nur sarat akan kesedihan dari ucapannya.
Nadira tak memiliki waktu untuknya bermain. Hidupnya cukup sibuk dengan pekerjaan rumah yang dibebankan padanya. Nur hanya bisa berdoa semoga sahabatnya ini bisa hidup damai dan bahagia bersama ayahnya.
Nadira masuk kedalam rumah yang sudah ia tinggali selama 16 tahun hidupnya. Nadira mengucapkan salam saat masuk kedalam rumah itu. Rumah itu tampak sepi dan tidak tampak ada siapapun, sepertinya sang ibu sudah pergi ke toko untuk menjaga toko milik ayahnya. Suara batuk terdengar dari kamar ayahnya, Nadira langsung mendekati pria yang baru mendekati usia empat puluhan. Masih terbilang muda, namun penyakit sang ayah membuatnya terlihat kurus dan lemah. Nadira melihat sang ayah duduk sambil memegang dadaanya yang terasa sesak.
"Ayah, Ayah sudah minum obatnya?" tanya Nadira sambil meletakkan tas sekolahnya asal. Ia mendekati ayahnya mengusap tangan sang ayah.
"Kamu baru pulang, Nak?" Arif ayah Nadira balik bertanya.
"Sudah, Yah, baru aja Nadira sampai. Ayah sudah makan?" Arif mengangkat tangannya mengusap kepala putrinya.
"Kamu sudah makan, Nak?" Nadira menatap ayahnya lalu tersenyum menenangkan.
"Belum, kita makan sama-sama ya, Yah. Nadi ambilkan dulu!" Nadira bangkit dari duduknya berjalan ke dapur. Ia melihat di meja makan tidak ada apapun. Nadira menghela nafasnya lalu membuka lemari es melihat ada apa di dalamnya. Cukup lengkap, ada telur, ayam, dan ikan laut lainnya. Nadira mengeluarkan sayuran hijau dari dalam lemari pendingin itu, lalu mulai meracik masakan. Ia menggoreng ayamnya untuk Nadira dan ayahnya serta ibu dan adik tirinya. Nadira sengaja memasak tumisan dan ayam goreng yang cepat saji untuk ayahnya terlebih dahulu. Ia membawa sepiring nasi dan yang lainnya untuk ayah dan dirinya. Nadira dan sang ayah makan bersama, meskipun sedikit yang masuk kedalam mulut ayah Nadira, setidaknya ia tenang dan bisa memberikan obat untuk ayahnya.
"Ayah tidur saja, Nadira masih banyak pekerjaan, kalau butuh sesuatu Ayah panggil Nadira ya, Nadira di belakang kok!" jawabnya lemah lembut. Arif hanya mengangguk, sambil memejamkan matanya. Nadira mengganti seragamnya dengan pakaian biasa. Ia mulai membersihkan rumah yang memang sengaja di tinggalkan oleh sang ibu saat pagi hari.
Selang beberapa jam ia selesai mengerjakan semuanya, mencuci piring, masak, dan mencuci baju mereka semua. Nadira mengusap dahinya yang berkeringat, suara pintu terbuka membuat Nadira menoleh menatap ke arahnya. Tampak sang ibu dan adik tirinya masuk ke dalam rumah. Mereka pulang untuk mengambil makan siang, Nadira juga mendapat bagian memasak untuk sehari- hari.
"Masak apa, Kak? Aku laper nih?" Dinda mendekati Nadira yang duduk di meja makan yang terletak di dapur. Rumah mereka terbilang sederhana. Hanya ada tiga kamar di rumah itu, satu kamar milik ayah dan ibu tiri Nadira. Dan satu untuk Dinda, satu untuk Nadira. Tapi sejak ayah Nadira jatuh sakit, ayah Nadira berada di kamar Nadira, Arif tidur bersama putrinya setiap malam. Sedangkan sang ibu tidur sendiri di kamarnya. Dinda membuka tudung saji yang ada di meja makan. Gadis berseragam SMP itu menatap lapar makanan di hadapannya.
"Wah, ada ayam goreng!"
"Ganti baju, terus makan!" Ucap Nadira pada adik tirinya. Dinda hanya mendengus lalu meletakkan asal tas sekolahnya.
"Entar aja, aku mau makan dulu. Laper!" Ia tidak menghiraukan ucapan Nadira, Dinda langsung menyantap makanan di hadapannya. Desi masuk melihat Nadira dan Dinda di meja makan bersama.
"Sudah kamu cuci semua baju, Nadi?" Tanya sang ibu membuat Nadira mengangguk.
"Jangan lupa nanti setrika baju, kamu sudah tiga hari tidak setrika baju. Ibu mau kondangan di kampung sebelah malam ini, tolong setrika baju Ibu yang berwarna merah itu. Hati- hati setrikanya, jangan sampai kamu merusak gaun ibu ya!" Desi duduk di dekat putrinya dan ikut makan disana. Nadira enggan berada disana memilih bangkit. Namun Desi menghentikannya.
"Ini, uang untuk belanja ke pasar." Desi menyodorkan beberapa lembar uang pecahan lima puluh ribuan. "Kamu cari apa saja yang habis kebutuhan di rumah. Setelah itu kamu bisa temui ibu Jum yang rumahnya ada di ujung gang?" Nadira mengangguk mengetahui. "Dia hutang sudah lama di toko kita, kamu minta uang sisanya. Ibu gak mau tahu Nadi, kamu harus pulang membawa uang hutang ibu Jum. Ibu gak mau tahu alasan dia. Hutang di kita, belanja cash di tempat lain," gerutu Desi, ia menatap anak sambungnya.
"Kamu mengerti!" Nadira mengangguk kaku, bagaimana jika ibu Jum tidak memiliki uang. Haruskah Nadira tidak kembali ke rumah. Ia menghela nafasnya mendapat perintah dari ibu tirinya.