Part 9

1861 Kata
Desi langsung masuk ke dalam rumah setelah Tristan benar-benar pergi dari kediamannya. Wanita itu tidak ingin tinggal diam dan langsung menuju kamar Nadira bersama ayahnya. Desi masuk begitu saja membuat Nadira yang sedang duduk di hadapan Arif terkejut melihat kedatangan Desi yang tiba-tiba. "Katakan padaku, kalian sengaja berbohong untuk mengelabuiku, begitu?" Desi bertolak pinggang sambil menatap ayah dan anak tersebut. "Tidak, Desi, Nadira tidak berbohong," jawab Arif dengan nafas terengah. "Lalu? Kamu yang berbohong padaku, Mas? Demi putri tercinta kamu ini?" Nadira menatap ayah dan ibu tirinya dengan tatapan bingung. Apa ini yang Nadira tidak tahu karena pertanyaan Desi di depan rumah tadi tentang kerja kelompok. "Tidak, Bu, Nadira tidak bermaksud untuk berbohong." jawab Nadira menatap Desi yang terlihat mulai kesal. "Lalu, katakan yang sebenarnya Nadira, kamu itu dari mana saja, sampai sore seperti ini baru pulang ke rumah, kamu bohongkan soal kerja kelompok dengan anak laki-laki itu?" Nadira menatap gugup ke arah Desi karena memang tidak melakukan tugas kelompok bersama Tristan. "Sebenarnya ... Nadira," "Aku yang berbohong, Desi." jawab Arif dari belakang Nadira. Nadira langsung menatap sang ayah dan mengerutkan dahinya bingung. "Ayah," "Oh, kamu berani bohong kepadaku, Mas?" Desi menatap Arif dengan tatapan meremehkan. Wanita itu mendekati suaminya dan berdiri di samping Arif. "Bu, sebenarnya Nadira bekerja!" ucap Nadira merasa khawatir dengan kesehatan ayahnya. Arif menatap putrinya bersalah karena tidak bisa melindungi Nadira sepenuhnya. "Bekerja?" Desi cukup terkejut mendengar ucapan Nadira saat ini. "I-Iya, Bu, Nadira bekerja." jawab Nadira sambil tertunduk di hadapan Desi. "Apa aku tidak salah dengar, Ayah kamu mengatakan jika kamu pergi untuk tugas kelompok, ternyata kamu bekerja, kerja apa kamu?" Desi melipat kedua lengannya di d**a sambil menatap Nadira tidak suka. "Kerja di Cafe temen, Bu." Desi menatap sinis Nadira lalu menatap Arif kembali. "Kalau mau bekerja, kerja saja, tidak perlu sekolah, sayang uang yang aku keluarkan untuk biaya sekolah, kalau kamu malah bekerja seperti ini, lebih baik kerja saja terus, dan urus Ayah kamu itu." ucap Desi dengan nada tinggi merasa tidak suka. "Tapi, Bu.." "Tapi apa? Benarkan? Biar aku tidak susah payah memberi kamu uang saku, kamu bisa urus hidupmu sendiri!" Nadira berkaca-kaca mendengar ucapan Desi. Wanita yang sudah ia anggap ibunya sendiri tidak pernah sepenuhnya menyayanginya. "Tapi Nadira masih mau sekolah, Bu." Desi berdecak mendengar ucapan Nadira dan memilih duduk di kursi singel di dekat Arif. "Halah, sekolah juga tidak penting buat kamu, kamu itu harus sadar diri Nadira, selama ini siapa yang membutuhi kamu kalau bukan aku, Ayah kamu hanya bisa tidur di rumah, tidak bisa membantu mencari nafkah, seharusnya kamu sadar, kalau bukan Ibu yang bekerja mau makan apa Ayah kamu!" Nadira meneteskan air matanya mendengar ucapan Desi, memang benar yang di katakan Desi, semua kebutuhan memang Desi yang memenuhinya. Tapi Desi juga mendapatkan semua itu dari toko klontong milik ayah Nadira, bukankah semua ini masih menjadi haknya. "Desi, jangan terlalu keras dengan putriku." Arif mencoba menghentikan Desi yang terus berbicara pada Nadira. "Sudahlah, Mas, kamu tidak tahu apa-apa enggak perlu ikut campur, kamu mau anak kamu ini bekerja di luar sana, gak tahu kerja apa, dan bagaimana, jangan-jangan jual diri." ucap Desi membuat Nadira menggenggam tangannya erat, merasakan cemas, takut dan khawatir melihat kemarahan ibu tirinya. "Kerjaan Nadira baik, Bu, Nadira tidak bekerja di tempat sembarangan." ucap Nadira menjelaskan. "Terserah, mau kamu kerja sembarangan, jual diri, aku tidak peduli, kalau kamu masih mau bekerja, semua kebutuhanmu dan Ayahmu, tanggung sendiri, aku tidak mau tahu." ucap Desi lalu pergi dari kamar itu membuat Nadira terpaku di tempat. Apa maksud ucapan Desi, apa Nadira harus hidup mandiri tanpa biaya apapun darinya. Apa Nadira juga tidak bisa sekolah lagi. Nadira ikut keluar mengejar Desi yang keluar dari kamarnya. "Bu, apa maksud Ibu bilang seperti itu?" tanya Nadira dengan mata berkaca-kaca. "Apa belum jelas? Kamu kan sudah bekerja, biaya sekolah, obat Ayah kamu, uang jajan, ini itu, kamu cari sendiri, dan jangan lupa pekerjaan rumah ini juga harus beres, Ibu tidak mau tahu kamu gimana, itu kan mau kamu?" "Bu, Nadira tidak bisa melakukan semua itu, Nadira tidak punya cukup waktu, Bu. Lagian ini baru pertama kali Nadira bekerja paruh waktu, Nadira belum memiliki uang, Nadira tidak bisa melakukan semuanya sendiri, Dinda bisa melakukan pekerjaan rumah yang sama seperti Nadira." Desi menatap Nadira dengan tatapan tak percaya. Wanita itu menarik sudut bibirnya tersenyum. "Dinda masih kecil, dia juga harus ikut banyak kegiatan sekolah, ini kan rumah peninggalan Ibu kamu, kamu urus dengan baik, jangan melibatkan Dinda." ucap Desi merasa tidak suka putrinya harus ikut andil dalam pekerjaan rumah. Nadira menggenggam erat baju yang ia gunakan menatap Desi mulai kesal. "Tapi biaya sekolah Nadira sudah jadi tanggung jawab Ibu." ucap Nadira spontan karena mulai emosi membuat Desi mengerutkan dahinya. "Kenapa begitu, enak sekali kamu bicara begitu, sudah berani kamu sama, Ibu!" Desi menatap Nadira dengan tatapan kesal karena merasa kurang ajar. "Semua hasil keuntungan toko Ayah ada sama, Ibu, itu masih menjadi milik Ayah juga, Bu, dan Nadira juga memiliki hak di sana." "Plak!" Desi menampar Nadira kuat membuat seisi rumah mendadak hening dan terdengar suara gelas terjatuh dari kamar Arif. Dinda yang sejak tadi hanya duduk menyaksikan turut terkejut melihat ibunya memukul Nadira. Nadira memejamkan matanya merasa panas dan perih merambat di pipinya "Berani sekali kamu bicara begitu, itu urusan saya, mau saya gunakan semua hasilnya untuk saya dan anak saya, itu sudah menjadi hak saya, kalau kamu keberatan kamu bisa pergi dari rumah ini bersama Ayah kamu, selama ini saya sudah sangat baik kepada kamu dan Ayahmu, kamu hanya tinggal makan dan sekolah, sekarang malah bersikap seperti tahu segalanya, selama Ayah kamu sakit, toko berkembang atas jeripaya Ibu, apa kamu tahu toko itu akan bangkrut atau tidak? Kamu tidak tahu, cuma saya yang berjuang mati-matian untuk mempertahankannya." ucap Desi dengan amarah di wajahnya. Nadira menunduk meremas bajunya dengan erat merasa tidak berkutik. "Pergilah dari hadapanku, aku muak melihat wajah polosmu itu." Desi mendorong tubuh Nadira berlalu masuk ke dalam kamarnya diikuti putrinya Dinda yang hanya tersenyum miring mengejek Nadira saat melewatinya. Nadira langsung mengusap air matanya cepat dan berjalan menuju kamarnya, ia melihat sang Ayah sudah duduk dengan kaki menggantung di kasur. Tampaknya Arif berniat keluar kamar, namun karena lemas dan tidak kuat ia hanya bisa berdiam diri seperti itu. "Maafkan Ayah, Nak." lirih Arif sambil mengusap kepala Nadira. Gadis itu hanya menggeleng singkat sambil tersenyum. Meskipun tatapan Nadira berkaca-kaca, putrinya tetap menunjukkan senyum di wajah ayunya. Mengatakan pada ayahnya semua baik-baik saja. Nadira duduk di lantai sambil merebahkan kepalanya di atas pangkuan Arif. Gadis itu menahan tangisnya agar tidak bersuara, namun Arif tahu, Nadira menangis di pangkuannya, membuat Arif mengusap lembut kepala putrinya sambil memejamkan mata, merasa benar-benar tidak berguna sebagai seorang ayah. *** Rangga duduk termenung di balkon kamarnya mengingat seseorang yang semakin menjadi pemilik pikirannya. Suara langkah pelan mendekati ke arahnya membuat Rangga hanya menolehkan kepalanya sejenak lalu kembali menatap langit malam. "Lagi mikirin apa sih?" tanya wanita cantik yang usianya terlihat lebih dewasa dari Rangga. Wanita cantik dengan profesi seorang dokter tersebut adalah kakak kandung Rangga. Raline dan Rangga memang memiliki jarak usia yang cukup jauh. Jika orang yang tidak mengenali keduanya, mungkin mengira mereka adalah sepasang kekasih karena tubuh Rangga jauh lebih tinggi dari sang kakak. "Mbak Raline kebiasaan sih masuk gak ketuk pintu dulu." jawab Rangga merasa tidak suka. "Tadi Mbak kebetulan lewat kamar kamu, pintunya terbuka, ya udah, Mbak masuk aja, lagian kenapa sih? Takut ketahuan ya, rahasianya." Rangga berdecak kesal lalu beranjak masuk ke dalam kamarnya. "Rahasia apa sih, kan gak enak aja kalau Mbak masuk, gue lagi gak pake baju." Raline hanya tersenyum tipis melihat ke arah Rangga lalu mengacak rambut adiknya. "Mbak, jangan gitu ih, gue dah gede, bukan anak SD lagi." ucap Rangga mencoba mengelak dari pegangan kakaknya. "Iya deh, udah tahu cewek ya udah gede pastinya." jawab Raline sambil menaik turunkan alisnya. "Apaan sih, mana ada." "Ihh, masih bilang enggak ada, tuh anaknya temen Mama, cantik, keliatannya suka sama kamu, tadi sore kesini sama Mamanya." Rangga mengerutkan dahinya mendengar ucapan saudaranya. "Siapa? Thalita dan Mamanya?" tanya Rangga tepat sasaran. "He'em, Tadi sore waktu Mbak pulang dari rumah sakit mereka di sini, tapi pas Mbak keluar selesai mandi, udah enggak ada, kata Mama sih cuma mampir bentar," Rangga merasa tidak tertarik mendengar cerita tentang Thalita. Ia hanya diam tidak berkomentar membuat Raline menyenggol lengan adiknya. "Kok diem, gak suka ya sama Thalita?" tanya Raline membuat Rangga merebahkan tubuhnya ke ranjang. "Males, Mba, ribet." jawab Rangga singkat. "Ribet gimana?" "Ribet aja, dia itu terlalu berlebihan Mba, Rangga gak suka, pokoknya males aja." Raline tertawa melihat raut wajah Rangga yang terlihat ogah-ogahan menceritakan gadis bernama Thalita tersebut. "Tapi dia cantik loh," goda Raline kepada adiknya. "Cantik aja gak cukup, Mbak," Raline menautkan kedua alisnya mendengar jawaban adiknya. "Jadi harus yang gimana?" Rangga melirik tajam ke arah kakaknya dengan tatapan malas. "Mbak kenapa lagi ada di rumah? Enggak ada pasien?" Raline tersenyum tipis dan ikut berbaring di samping Rangga. "Emangnya kamu gak kangen gitu sama Mbak, selama ini udah jauh tinggal di Singapura, sekarang udah di sini masih di suruh kerja juga." Rangga seketika tersenyum lalu menatap Raline sepenuhnya. "Sorry Mbak, Rangga gak bermaksud begitu, biasanya jadwal Mbak padat, sampai bertemu saja susah." ucap Rangga membuat Raline mengacak rambut tebal adiknya. "Sekarang katakan, kamu maunya cewek yang gimana? Masak secantik Thalita tidak doyan." ucap Raline sambil mengerutkan dahinya menatap Rangga. "Bukan tidak doyan," "Lalu?" "Ada salah satu adik kelas di sekolah, dia juga cantik, tapi tidak ribet seperti Thalita, kayanya Rangga suka, tapi," Raline mengangkat tubuhnya dan duduk sambil menatap adiknya. "Tapi kenapa? Dia sudah punya pacar?" "Bukan, dia sepertinya tidak suka melihat Rangga." jawab Rangga ikut duduk di samping Raline. "Tidak suka gimana? Tapi adik Mbak yang paling ganteng di sekolah." Rangga memutar bola matanya merasa risih mendengarnya. "Bukan tidak suka sih, lebih tepatnya benci sepertinya." ucap Rangga menerawang jauh membayangkan wajah Nadira, adik kelasnya yang tidak pernah ramah, bahkan menunjukkan senyum di wajahnya sekalipun. "Kok bisa? Kamu buat dia ilfil?" tanya Raline dengan wajah penasaran. "Enggak Mbak, gue juga gak ngerti gadis itu apa maunya, Rangga juga bingung salahnya dimana." "Mungkin dia memang tidak suka cowok-cowok keren dan ganteng, sudah cari yang lain saja." ucap Raline membuat Rangga menghela nafasnya. "Tapi dia dekat dengan Tristan, Mbak tahu Tristan kan? Temen aku waktu masih SD dulu." Raline terlihat mengingat sahabat adiknya itu hingga ia tersenyum mengangguk. "Tahu dong, mungkin saja dia suka dengan Tristan." "Tapi Tristan bilang tidak seperti itu." Raline mengerutkan dahinya menjadi bingung. "Lalu? Kenapa kamu bisa bilang dia dekat dengan Tristan, sementara Tristan tidak mengakuinya." Rangga terdiam beberapa saat, ia mengingat Nadira saat sedang di bonceng oleh Tristan, gadis itu terlihat santai dan nyaman, tidak seperti saat Rangga mendekatinya. "Dia terlihat nyaman bersama Tristan, sebaliknya denganku dia merasa risih." jawab Rangga dengan nada tidak yakin. "Sepertinya gadis itu sudah membuat adik Mbak patah hati." ucap Raline membuat Rangga menatap kakaknya terkejut. "Apa sih Mbak, ya enggak lah." "Wajah kamu menyedihkan soalnya." ucap Raline sambil tertawa kecil. "Perasaan Mbak Raline aja." Rangga terus mengelak merasa malu, ia menghela nafasnya merasa kesal jika mengingat Nadira dan Tristan, mengapa bisa menjadi seperti ini. Ia harus cari tahu apa yang sebenarnya salah disini, mengapa Nadira selalu menjauhinya, dan merasa tidak suka jika Rangga mendekatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN