Part 10

1762 Kata
Hari ini Nadira kembali masuk sekolah, ayahnya tidak mengijinkan Nadira putus sekolah. Apapun yang terjadi Arif ingin putrinya lulus sekolah. Mau tidak mau ia harus menyudahi pekerjaan paruh waktunya. Arif terus membujuk putrinya agar tidak mengkhawatirkan keadaannya. Nadira menurut dan pergi ke sekolah dengan langkah lesu. Apa yang harus ia katakan pada Tristan, pria itu sudah baik membantunya mencari pekerjaan, tapi Nadira seperti ini seakan tidak menghargainya. Hari ini ia pergi lebih awal, Nadira tidak bisa tidur karena kemarahan Desi kemarin. Akhirnya ia terjaga hingga mendekat pagi dan cepat pergi sekolah setelah semua pekerjaan rumah selesai ia lakukan. Jalanan masih terlihat lenggang karena masih setengah tujuh pagi. Hanya beberapa anak sekolah berlalu lalang dan beberapa pekerja yang menggunakan motornya. Nadira melangkah sambil menunduk berjalan mendekati sekolah. Bunyi klakson motor membuatnya terkejut dan menoleh ke arah belakang. Ada Rangga, pria kaya yang Nadira tidak sukai. Gadis itu hanya menatapnya datar lalu kembali melanjutkan langkahnya. Rangga tidak langsung meninggalkannya, ia malah mengendarai motornya dengan pelan sambil mengikuti langkah Nadira. Gadis itu mendengkus kesal mengetahui jika pria ini malah mengikutinya. "Kamu ngapain sih?" ucap Nadira berbalik secara tiba-tiba membuat Rangga menginjak remnya cepat. "Mau ke sekolah lah." jawab Rangga santai. Nadira minggir lebih jauh ke pinggir jalan agar Rangga bisa lewat dengan mudah. Rangga menaikan alisnya melihat Nadira memberi jalan untuknya lewat, bahkan sepenuhnya ia minggir karena gadis itu berada di bibir got. "Awas jatuh," Rangga sedikit memajukan motornya secara mendadak mendekati Nadira membuat gadis itu terkejut dan reflek mencari pegangan menarik baju Rangga. "Bisa gak sih, jangan bercanda!" Nadira menatap Rangga dengan tatapan kesal sementara Rangga terkekeh melihat wajah tegang Nadira. "Kamu sih, mukanya dari tadi tegang mulu, senyum dong, nanti kesambet orang ganteng loh." Nadira memutar bola matanya mendengar ucapan Rangga lalu melangkah meninggalkan Rangga begitu saja. "Ayo, ikut sama aku, nanti kamu capek, sekolah masih jauh lagi loh." bujuk Rangga tidak di hiraukan oleh Nadira. Gadis itu terus melangkah sambil menggenggam erat tasnya merasa risih dengan adanya pria ini yang terus mengikuti langkahnya. "Nad.." "Sebentar lagi sampek kok, kamu duluan saja." ucap Nadira mencoba lebih tenang bicara pada pria menyebalkan ini. "Nanti kalau banyak berjalan kamu bau keringet loh, mending bareng aku, yuk?" Rangga masih tetap menyebalkan di mata Nadira, meskipun ia memasang wajah tampan sejuta umat. Entah mengapa Nadira merasa kesal setiap menatap wajah tampannya itu. "Bukan urusan kamu." Nadira kembali datar menjawab ucapan Rangga sambil menatapnya tajam. "Nanti terlambat loh." "Bel masuk masih lama," jawab Nadira tidak kehabisan akal. "Nad," Nadira yang hendak melangkah kembali menghentikan langkahnya, menatap Rangga yang memanggilnya pelan. "Apa?" jawab Nadira masih dalam mode datar. "Kamu kenapa sih, ada masalah sama gue?" tanya Rangga dengan wajah serius kali ini, Nadira seketika merubah mimik wajahnya menjadi gugup. "Maksudnya?" "Kamu seperti menghindari gue, gue ada salah ya?" tanya Rangga dengan kerutan di dahinya. Nadira terdiam, sebenarnya tidak ada yang salah dengan pria ini, yang salah hanya masalah Nadira dan hidupnya. Ia hanya ingin sendiri namun Rangga selalu datang mencoba untuk mendekatkan diri pada Nadira, dan itu membuatnya merasa risih. Namun Rangga bukan pria jahat yang harus Nadira jauhi, tapi Nadira mencoba untuk tidak terlibat dengan hal yang membuatnya susah nantinya. Ia ingin ketenangan, tidak ingin orang seperti Rangga yang akan membuatnya repot dengan para gadis lain jika ia berteman dengan pria di hadapannya ini, karena masalahnya sudah cukup berat. "Tidak ada." ucap Nadira lalu melanjutkan langkahnya. "Kalau gitu, kita bisa temenan kan?" ucap Rangga sedikit keras karena Nadira berjalan dengan cepat. Gadis itu tidak menjawab ucapan Rangga dan terus melangkah meninggalkan Rangga di sana sendiri. Rangga hanya menatap Nadira dengan helaan nafas panjang. Rangga kembali menjalankan motornya hingga jarak mereka cukup jauh. Nadira masuk ke dalam kelas yang masih terlihat sepi. Ia duduk di bangkunya dan membenamkan wajahnya lelah. Siswa lainnya mulai berdatangan begitu juga Nur teman dekat dan satu-satunya yang Nadira miliki. Nadira menyambut kedatangan Nur dengan senyum tipis di wajahnya. "Gimana? Pekerjaannya berat?" tanya Nur begitu tiba di bangkunya menatap Nadira penasaran. "Tidak juga," jawab Nadira singkat. "Terus, kamu bakal betah kan disana?" Nadira menghela nafasnya merasa bingung. "Aku mau berhenti saja." Nur terkejut mendengar ucapan Nadira barusan, gadis itu memegang pundak Nadira menatapnya penuh tanya. "Ada apa, Nad, ada masalah?" tanya Nur dengan wajah cemas. "Ibuku marah, kalau aku bekerja, dia menyuruhku untuk berhenti sekolah dan bekerja saja." Nur terdiam berpikir. "Kenapa dia bicara begitu?" "Entahlah, dia sepertinya tidak suka." Nur mengerutkan dahinya bingung. "Kenapa tidak suka, kan itu lebih baik, kamu bisa punya uang lebih dan dia tidak perlu repot memberimu uang saku." ucap Nur dengan pemikirannya. "Dia mengatakan percuma menyekolahkan aku kalau aku ingin bekerja, dia merasa buang-buang uang, jadi lebih baik aku bekerja dan mengurus Ayahku saja, itu lebih baik menurutnya." tatapan Nur tidak terbaca dan ia mengusap punggung Nadira menguatkan. "Jadi menurut kamu bagaimana?" "Aku tidak masalah jika harus putus sekolah, prioritasku adalah Ayah, aku bisa bekerja dan mengurus Ayah, tapi Ayah tidak mengijinkan itu, ia mau aku terus sekolah." Nur menghela nafasnya lalu memegang tangan Nadira memberi kekuatan kepada sahabatnya. "Ayah kamu benar, Nad, kamu harus lulus sekolah dulu, baru bekerja dan pikirkan Ayah kamu." Nadira menunduk sambil memainkan tali tasnya, gadis itu cukup lama terdiam membuat Nur menatapnya sedih. "Tapi itu terlalu lama, Nur, Ayah bahkan semakin parah, sudah lama Ayah tidak minum obat, aku takut penyakitnya semakin parah." Nadira ingin menangis, ia menatap keluar jendela tidak ingin menatap Nur. Nur tahu jika Nadira menahan tangisnya, matanya tampak berkaca-kaca dan gadis itu mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh. "Kamu sudah bilang pada Ibumu?" Nadira menunduk mengusap matanya cepat. "Belum, dia pasti tidak mau mengeluarkan uang untuk membeli obat." Nur merasa sedih melihat Nadira, gadis itu terlalu rapuh untuk masalah hidupnya. "Coba saja bicara, siapa tahu Ibumu mau membeli sedikit obat untuk Ayah kamu." "Dia pernah mengatakan percuma, untuk apa membuang-buang uang untuk orang sakit, dia akan mengatakan jika mencari uang itu susah, dan Ayah hanya bisa tidur, tanpa membantunya mencari nafkah." Nur tidak bisa bicara lagi, ia harus memberikan saran apa lagi, tampaknya beban ini sudah di luar kemampuannya. "Kamu yang sabar ya, Nad, aku tidak tahu harus membantu bagaimana." Nadira tersenyum tipis menggeleng singkat. "Sudahlah, tidak apa-apa, aku pasti bisa menjalani semua ini, doakan saja aku kuat menghadapinya." Nur mengangguk tersenyum, Nadira menghela nafasnya, semoga saja ada jalan dan Tuhan selalu mendengar keluhannya. *** Nadira tiba di rumah dengan wajah lelah, hari ini benar-benar melelahkan karena masalah dan semua yang ia hadapi membuat Nadira merasa tidak bersemangat. Hari ini Nadira sudah bicara pada Tristan dan Tristan malah menyuruhnya untuk libur dan melakukan pekerjaan sebisa Nadira saja. Entah apa maksud Tristan, yang pasti Nadira merasa tidak enak jika ia di perlakukan istimewa dari karyawan lainnya. Nadira mengucap salam masuk ke dalam rumah dan suara Desi menjawabnya membuat wajah lelah Nadira seketika berubah tegang. Wanita itu biasanya tidak ada di rumah saat siang hari, Nadira melangkah masuk melihat Desi ada di kamarnya. Nadira masuk ke dalam kamarnya melihat sang ayah yang terlihat semakin pucat dan lesu. Nadira mendekati pria tersebut memegang dahi sang ayah yang sedikit berkeringat. Nadira bisa merasakan jika ayahnya demam, tubuhnya panas membuat gadis itu terkejut menatap ayahnya cemas. "Ayah, Ayah demam?" Arif hanya menarik tangan putrinya yang tampak cemas menatapnya khawatir. "Ayah tidak apa-apa." jawab Arif lirih. "Ayah di sini dulu, Nadira akan panggil Ibu." Arif mencoba menghentikan putrinya namun Nadira sudah keluar kamar. Nadira menemui Desi yang kebetulan masih di kamarnya. "Bu," panggil Nadira dari pintu kamar yang sedikit terbuka. Desi yang terlihat sedang memegang sesuatu di tangannya seketika menoleh ke arah Nadira. "Ada apa?" tanya Desi sambil berjalan mendekati Nadira. "Ayah demam, Bu, kita bawa Ayah ke rumah sakit saja." ucap Nadira dengan wajah cemas dan takut. "Kamu pikir ke rumah sakit tidak butuh duit, minggir kamu." Desi mendorong tubuh Nadira lalu berjalan ke kamar Arif. Desi mendekati suaminya lalu memeriksa suhu tubuh Arif. "Cuma demam biasa, nanti juga turun, kamu tidak perlu berlebihan, Ayah kamu itu sudah tua, bukan bayi lagi, jangan terlalu di manja." ucap Desi hendak keluar kamar, namun Nadira menarik tangan Desi agar tidak meninggalkan mereka. "Bu, Ayah tidak cuma demam biasa, Ayah sudah lama tidak minum obat, Ayah sakit , Bu." Nadira mulai bingung sambil menangis memegang tangan Desi. Desi menghentakkan tangan Nadira menatapnya sinis. "Aduh, kamu itu berisik sekali sih, kalau kamu takut Ayah kamu kenapa-kenapa, kamu saja yang bawa dia ke rumah sakit." ucap Desi melepas tangan Nadira dari tangannya. Nadira hanya menatap kepergian Desi lalu mendekati Arif yang terlihat semakin pucat. "Ayah, Nadira harus bagaimana?" tanya gadis tersebut sambil menangis memegang Arif bingung. Arif menangis melihat putrinya lalu memegang tangan Nadira dengan tangan bergetar. "Sudah, jangan menangis, Ayah tidak apa-apa." Nadira semakin menangis, gadis itu mengusap air matanya cepat lalu keluar kamar melihat Desi sudah tidak ada di rumah. Nadira keluar dari rumahnya mencari bantuan untuk membawa ayahnya ke rumah sakit. Gadis itu berdiri di depan rumah mencari siapa yang bisa di mintai tolong. Nadira tidak menemukan siapapun membuatnya terisak di sana. Ia kembali melihat sang ayah dan mencari jaket ayahnya, lalu menggunakannya pada sang ayah. Nadira mencoba untuk membantu ayahnya bangkit. "Nak, kita mau kemana?" tanya Arif saat Nadira sibuk mengangkat Arif agar berdiri. "Kita ke rumah sakit sekarang." ucap Nadira tanpa berpikir lagi. "Tapi, Nak." "Sudahlah, Yah, Ayah diam saja, biar Nadira yang bawa Ayah ke rumah sakit." ucap Nadira dengan nada yakin. Arif dengan pandangan mengabur mencoba kuat untuk berjalan. Nadira menyempatkan menutup pintu rumahnya. Nadira tidak perduli bagaimana nanti, saat ini ia harus membawa ayahnya ke rumah sakit. Dengan pakaian sekolah yang masih lengkap, Nadira bersusah payah membopong Arif keluar dari gang rumahnya untuk menemukan angkutan umum. "Ayah, masih kuat kan, sebentar lagi sampai." ucap Nadira saat mendekati jalanan besar, Arif hanya terdiam beberapa kali memejamkan matanya merasa pusing. Berdoa agar tidak jatuh pingsan dan membuat putrinya semakin susah. Nadira melambaikan tangan saat tiba di depan gang dan langsung menaiki angkutan umum yang lewat. Ia menghela nafasnya merasa lelah, Nadira menatap ayahnya dengan tatapan takut dan khawatir karena Arif tampak tidak baik-baik saja dengan nafas terengah-engah terlalu banyak berjalan dalam keadaan seperti ini. Mereka tiba di rumah sakit terdekat dari kediaman Nadira, Nadira merogoh sakunya dan melihat pecahan lima ribu dan dua ribuan dari dalam kantongnya. Ia bertanya pada supir angkutan tersebut dan uangnya tidak cukup untuk membayar ongkosnya. "Maaf, Bang, aku cuma punya ini." Nadira menyodorkan uang senilai tujuh ribu rupiah yang ia miliki dari sakunya. Supir angkutan tersebut menatap Nadira sedikit kesal namun tetap menerimanya. "Ya sudah, terima kasih, Neng." ucap supir tersebut membuat Nadira menghela nafasnya lega. Nadira mendekati sang ayah dan membawanya keluar dari angkutan umum tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN