Part 8

1252 Kata
Hari ini Nadira lebih banyak diam karena berpikir keras bagaimana ia bisa bekerja siang ini. Ia sudah di ancam oleh ibu tirinya jika ia pulang terlambat Nadira akan mendapatkan akibatnya. Nadira menghela nafasnya berat merasa hidup ini begitu tidak adil. Apa yang harus ia lakukan, haruskah ia putus sekolah saja dan bekerja dari pagi hari demi uang untuk pengobatan sang ayah. Nur yang sejak pagi sudah mencoba untuk menghibur Nadira tidak tahu lagi harus berkata apa. Gadis bertubuh sedikit berisi itu mendekati Nadira yang hanya duduk sendiri menatap kosong mata pelajaran di hadapannya. "Nad," Nadira terkejut saat Nur berpindah kursi di sampingnya ketika guru sedang menjelaskan di depan kelas. "Kamu kenapa kesini?" tanya Nadira menatap Nur sekilas lalu kembali fokus menatap ke depan kelas. "Kamu lagi ada masalah ya?" tanya Nur untuk kesekian kalinya, Nadira menghela nafasnya lalu melirik Nur. "Ibuku tidak mengijinkan aku pulang sampai sore, aku bingung harus bagaimana, sementara hari ini sudah mulai bekerja di cafe kak Tristan. Aku bener-bener bingung, Nur. Takut Ayah jadi bulanan Ibu aku." ucap Nadira dengan wajah gelisah. Nur menghela nafasnya panjang mendengar ucapan Nadira. "Kamu bicara saja sejujurnya dengan Kak Tristan, katakan padanya kalau hari ini memang belum bisa masuk bekerja." ucap Nur memberi solusi, sambil terus menatap ke arah depan kelas menatap guru yang sedang menjelaskan pelajaran. "Aku takut, aku juga tidak enak pada Kak Tristan, dia sudah membantu, kenyataannya aku semakin buat kecewa." Nur menatap Nadira bingung, ia juga tidak tahu harus memberi solusi bagaimana lagi. "Tapi kamu juga tidak bisa ambil resiko, Ayah kamu juga kasihan, Nad." ucap Nur mengingatkan. "Aku coba dulu satu hari ini, aku mampir ke rumah sebentar lalu pergi bekerja." ucap Nadira membuat dahinya berkerut. "Emangnya keburu, Nad?" tanya Nur heran. "Mungkin akan terlambat sedikit, tapi aku akan katakan dengan Kak Tristan untuk pulang sebentar." "Aku mendukungmu selagi itu baik menurutmu, semangat Nad." Nadira tersenyum mengangguk, ia akan merapikan rumah dan memberi ayahnya makan siang lalu pergi untuk bekerja. *** Nadira sudah berpamitan dengan Tristan untuk pulang ke rumah lebih dulu. Tristan mengijinkan hal itu, Nadira menolak Tristan mengantarkan ia pulang ke rumah. Nadira tidak ingin terlalu merepotkan pria itu. Ia keluar menuju halte bus, menunggu bus yang lewat. Saat itu Rangga melewatinya dan menghentikan motornya ketika mendapati Nadira terlihat celingukan menunggu bus kota. Pria itu mendekati Nadira mencoba menawarkan tumpangan pada gadis tersebut. "Butuh tumpangan?" tanya Rangga dengan senyum manisnya. "Tidak." seperti biasa, Nadira menolak dengan halus ajakan Rangga. Gadis itu kembali memperhatikan jalanan, namun bus tidak juga terlihat. "Sepertinya kamu buru-buru?" tanya Rangga lagi yang masih berusaha untuk membujuk Nadira. Nadira menatap Rangga cukup lama, ia memang terburu-buru, dan sangat butuh tumpangan. Tapi mengapa harus pria ini, Nadira tidak ingin terlalu dekat dengan pria yang terkenal di sekolahnya. Tapi kali ini benar-benar sangat darurat. Nadira akhirnya mengangguk setuju membuat senyum tipis terbentuk di wajah Rangga. "Oke, baiklah. Aku harus mengantarmu ke rumah malam itu kan?" tanya Rangga sembari memberikan helm kepada Nadira. Nadira mengerjabkan matanya menatap Rangga sedikit terkejut. Pria ini masih mengingat alamat rumahnya. "I-Iya," jawab Nadira dengan nada sedikit gugup. Rangga sudah bersiap menghidupkan motornya dan Nadira naik di belakang Rangga. Pria itu menoleh ke belakang memberitahu jika mereka akan melaju. Nadira menarik ujung baju Rangga kanan dan kiri sebagai pegangannya. Rangga hanya tersenyum lalu melaju menuju kediaman Nadira. Nadira menghabiskan waktunya satu jam membersihkan rumah serta mengurus ayahnya. Nadira juga berpamitan pada ayahnya untuk pergi bekerja. Ayah Nadira tidak kuasa melarang putrinya dalam keadaannya saat ini. Ia bahkan tidak bisa memberi uang jajan untuk putrinya sendiri. Arif hanya bisa berkaca-kaca sambil mengangguk mengusap kepala putrinya. Mengatakan hati-hati sebelum Nadira pergi. Istri Arif pulang saat Nadira sudah tidak berada di rumah. Ia tidak begitu kesal saat mengetahui semuanya sudah bersih rapi dan makanan tersedia di meja makan saat putrinya hendak makan siang. Desi menghampiri Arif di kamarnya melihat pria penyakitan itu dengan tatapan tidak ramah. Arif yang sedang duduk bersandar sembari mengusap dadanya yang terasa sesak. Desi menghampiri suaminya lalu duduk di ujung ranjang di hadapan Arif. "Kemana putrimu, Mas?" tanya Desi membuat Arif menatap istrinya. "Dia pergi keluar." jawab Arif tidak ingin panjang lebar bicara pada Desi. "Kemana?" tanya Desi lagi dengan melipat kedua lengannya di dadaa. "Ia sedang melakukan tugas kelompok bersama teman sekolahnya." ucap Arif berbohong. Desi menganggukkan kepalanya mengerti. Wanita itu bangkit dari duduknya lalu berdiri mendekati Arif. "Syukur deh, anak itu tahu diri dengan tugasnya, kalau seperti ini aku tidak akan marah dengannya. Jangan lupa katakan padanya saat Nadira pulang, setrika baju sudah numpuk. Aku mau kembali ke toko." ucap Desi dengan nada seperti biasa lalu keluar dari kamar Arif. Arif hanya menarik nafasnya mengusap dadaanya yang terasa sesak. Semoga Desi tidak menyusahkan putrinya, cukup ia yang sakit-sakitan, tapi tidak untuk putrinya. *** Nadira cukup cekatan melakukan pekerjaannya. Karena menurut Nadira semua ini cukup mudah, hanya melayani beberapa pesanan dan membersihkan meja serta menyajikan pesanan pelanggann yang datang. Ia juga menikmati waktu bekerjanya, karena teman kerja Nadira cukup bersahabat. Tidak terasa hari sudah sore, jam kerja Nadira telah usai. Gadis itu bersiap pulang dan mengganti seragam pelayan dengan baju yang ia pakai dari rumah. Nadira keluar dari cafe tersebut dan mendapati Tristan sudah berada di luar cafe dengan setelan santainya dan senyum di wajah manis Tristan menyambut Nadira. Gadis itu terdiam sejenak lalu berjalan mendekati Tristan. "Kak Tristan ngapain di sini?" tanya Nadira dengan wajah bertanya. "Jemput kamu, sudah waktunya pulang kan?" Nadira mengangguk kaku, ia tidak ingin seperti ini. Bagaimanapun Tristan adalah anak pemilik restoran ini. Nadira merasa tidak enak jika seperti ini. "Enggak perlu repot-repot, Kak. Aku bisa pulang naik ojek." jawab Nadira dengan menolak halus sikap perhatian Tristan. "Tidak repot kok, ini." Tristan menyodorkan helm untuk Nadira tanpa bertanya kepada gadis tersebut. Nadira menerimanya dengan ragu-ragu. Gadis itu tidak enak untuk menolak tapi semua ini membuatnya merasa tidak nyaman. "Oke, baiklah." ucap Nadira akhirnya naik keboncengan. Lima belas menit mereka tiba di kediaman Nadira. Nadira langsung turun dari motor Tristan. Bertepatan Desi dan putrinya Dinda kembali dari toko. Karena hari memang sudah hampir gelap dan sudah waktunya toko tutup. Nadira melirik kedatangan Desi dan adik tirinya, Tristan merasa tidak enak jika langsung pergi akhirnya turun dari motor dan mendekati Desi dan mencium tangannya. "Loh, berdua saja?" tanya Desi sambil melirik Nadira saat mendekati keduanya. Dinda ikut mendekati Nadira menyenggol lengan Nadira dan berbisik di telinga Nadira. "Enak banget ya, punya pacar ganteng, kayanya tajir ya?" ucap Dinda membuat Nadira melotot ke arahnya. "Iya, Tante." ucap Tristan dengan senyum di wajah manisnya. "Kalian sedang belajar kelompok atau berpacaran?" tanya Desi membuat Nadira dan Tristan saling menatap satu sama lain. Nadira mencoba memberi isyarat agar ia saja yang bicara. "Temen yang lain pulang masing-masing, Bu." jawab Nadira cepat. Tristan hanya mengangguk mengerti mengikuti ucapan Nadira saja. Desi melipat kedua lengannya di dadaa melirik Nadira yang menunduk di hadapannya. "Oh, begitu, kalau begitu masuk sana." ucap Desi membuat Nadira mengangguk lalu menatap Tristan sebagai tanda pamitnya. Tristan tersenyum kepada Nadira dan segera berpamitan dengan ibu tiri Nadira. "Kamu teman satu kelas Nadira?" Tristan menggeleng singkat. "Tidak, Tante saya kakak kelas Nadira." jawab Tristan jujur, Dinda yang masih di sana seketika mengulurkan tangannya mencoba berkenalan dengan Tristan. "Aku adiknya Nadira, Dinda." ucap Dinda membuat Tristan tersenyum dan menyambut uluran tangan Dinda. "Tristan, maaf Tante, saya pamit pulang, Tante. " pamit Tristan tidak ingin berlama-lama di sana. Desi mengangguk sambil tersenyum. Ia berpikir mengapa anak kelas satu bisa belajar kelompok dengan kakak kelas. Apa ayah dan anak itu sedang membohongi dirinya, Desi menatap kedalam rumah dan segera melangkah masuk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN