06. Chaca dan Garuda Raya II

1586 Kata
Chaca menjatuhkan tubuhnya disofa ruang tamu dengan wajah bersungut kesal, karena kaki kirinya terkilir setelah bermain Voli. Sialnya lagi, ia baru saja melakukan smash pertama, tapi setelah lompatan ia terjatuh dilapangan semen. Bukan kakinya yang terkilir saja yang sakit, tapi dengkulnya juga ikut terluka. “s**l banget gue hari ini, udah kalah voli sama timnya Rena malah kaki gue terkilir lagi.” Katanya mendengus sambil mengurut pelan kakinya, meski pun tak ada perubahan apa pun. Sampai saat ia terus saja melakukan hal itu, sang mama datang dengan senyuman dan tawa renyah. “Kamu kenapa, Cha?” “Ini ma, kaki Chaca terkilir sekaligus nabrak semen pas main voli tadi.” Ujar Chaca merajuk manja, sambil memperlihatkan kakinya pada sang mama. “Itu sih nggak papa, kan Cuma berdarah sedikit. Tapi, kamu menang nggak?” tanya sang mama, sambil berjalan menuju lemari, dibongkarnya kotak P3K untuk mengambil obat merah dan kapas. “Boro-boro menang, aku aja langsung istirahat di kelas. Aw... sakit ma.” Chaca mengaduh pelan saat kulitnya yang luka bertemu dengan obat merah. Meskipun tidak sesakit itu. “Itu masalahnya ma. Semua kelompok ngandelin aku, pas aku kayak gini ya jadinya mereka kalah. Dan mama tahu nggak siapa musuh Chaca? Itu cewek alay yang sering banget saingan sama aku.” “Siapa? Rena?” “Iya. Ma. Si Rena itu senang banget bisa ngalahin aku. Sebel jadinya.” “Yaudah sabar aja. Ngomong-ngomong gimana kelakuan Luna pas disekolah?” pertanyaan sang mama membuat Chaca memajukan bibirnya, ia ogah jika harus membahas semua hal yang berhubungan dengan Luna. “Ngapain sih mama tanya cewek aneh itu,” “Kan dia juga anak mama, Cha.” “Anak mama? Ma, dia Cuma anak pungut yang gak tahu asal-usulnya. Dia itu... ah sudahlah.” Chaca merajuk lagu, kali ini tidak manja. Ia benar-benar membenci anak itu. “Dia kan baik, Cha. Dan mama yakin dia bis amengubah sifat Igo.” “Merubah?” Chaca mengambil tasnya dan berjalan sedikit menjauhi sang mama, dianak tangga pertama ia berucap, “nggak ada yang perlu dirubah. Sikap kak Igo atau Chaca seperti ini semua karena keegoisan dan sok jiwa kesolidaritasan papa sama mama. Luna atau siapa pun gak bisa berbuat apa-apa.” Chaca benar-benar berlalu dari ruangan itu, meninggalkan sang mama sendirian. Jiwa yang sejak dulu memberontak tetap dengan pendiriannya. Sang mama hanya bisa mengelus dadanya, nggak ada gunanya untuk mencegah kelakuan mereka. Vigo yangs ering bertengkar akan melakukan hal yang sama terus menerus sampai kapanpun. Chaca membanting pintu kamarnya, sambil melemparkan tas pundaknya dengan kencang keatas, yang membuat benda didalamnya berhamburan keluar, termasuk Ha-Pe yang ikut terjatuh. Dibuangnyay kini pandangannya menyentuh peradaban diluar kamar dari jendela yang menganga lebar, ia sampai nggak habis pikir dengan semua ini. Apa sebenarnya yang direncanakan orang tuanya, dulu mereka mengatakan hal bohong untuk mengiyakan tuduhan terhadap mereka, kini mereka malah mengadopsi anak lagi yang sampai sekarang nggak tahu asal usulnya dari mana, siapa orang tuanya, dan dimana rumahnya. Diluar jendela kamar itu, ada pemandangan sebagian ibukota yang terlihat riuh dan berantakan, dideretan bangunan itu ada stau gedung yang menyimpan banyak hal untuknya. Sekolah. Sudah lebih dari setahun disana, ada rahasia yang maish dipendamnya. Perasaan cinta yang datang tiba-tiba untuk seseorang bernama Angga. Sejak pertama kali melihat Angga, hatinya sudah berdebar kencang. Sesuatu yang jarang ia rasakan pada seorang cowok, bahkan mantan-mantan pacarnya. Angga yang rapi, lucu, dan care denagn setiap orang, membuatnya mengagumi dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tapi, seperti mimpi buruk, ia nggak mungkin lebih dekta dengan Angga. Angga masih membenci ia dan keluarganya, mungkin jika ia mengutakan perasaanya Angga hanya akan menyumpahinya sebagai gadis bodoh yang mengharapkan cinta. Lagi-lagi semua memang kesalahan orang tuanya, bahkan sampai masalah hati nggak bisa dengan mudah ia dapatkan. Karena cinta, ia harus dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit. Haruskan ia utarakan perasaan itu? Atau disimpannya sampai Angga tahu sendiri? %%% “Kalau gue boleh ngaku, skill yang dipunya Angga jauh dibawah Vigo. Vigo tu udah kayak Captai Tsubasah menurut gue.” “Halah Angga itu Cuma menang duit doang, apalagi pintar cari muka sama coac.” Itu hanya beberapa kalimat obrolan yang diingatnya saat anggota timnya beristirahat didekat loker. Sering sekali Angga mendengar omongan itu, selalu. Mereka selalu saja membandingkan skillnya dengan Vigo, mengatakan bahwa ia Cuma penjilat, selalu mengandalkan uang dan lainnya. Memang dalam urusan cewek dan uang lebih unggul, tapi dimata para cowok ia bukan apa-apa. Sejak dulu sudah disadarinya, tapi ia bersikap biasa. Sikap biasanya itu malah menimbulkan dampak buruk bagi dirinya sendiri. Bahkan tim yang dipimpinnya hanya menang beberapa kali selama diketuainya, sedangkan saat Vigo menjadi captain hampir semua pertandingan pasti selalu menang. Tapi, satu kesalahan Vigo yang didalanginya membuat gelar captein hilang dengan seketika, hal itu membuat Vigo dikenal ketua Garuda Raya paling buruk. Saat lamunanya terus mengudara, gedoran jendela membuatnya terbangun. Angin kencang menghempaskan jendelanya dan menerbangkan tirai didekatnya. Hujn akan terlihat nggak bersahabat malam ini. Lekas ditutupnya jendela kamar itu, tapi lagi-lagi ada yang mengusik pikirannya. Dua belas tahun lalu, saat hujan rintik dibarengi angin kencang, ia melihat mamanya terbaring nggak berdaya ditangan laki-laki yang sampai sekarang membencinya. Tubuh mamanya bersimbah darah sedangkan laki-laki itu berwajah pucat ketakutan. Saat itu nggak tahu melakukan apa, selain hanya menangis dan meratapi mama tercintanya. Mungkin dendamnya akan sama seperti yang dirasakn papanya, dan semua nggak akan mudah hilang meskipun si pembunuh sudah dipenjara. Dendam itu membuatnya benci pada anggota keluarga si pembunuh, yakni anak-anaknya. Maka dar itu Angga sangat membenci Vigo, meski bagaimana pun keadannya. %%% Pagi mulai nampak menyapa. Arsiran awan dilangit pagi itu membenarkan betapa cerah cahaya matahari. Sesekali burung masih bernyanyi menyambung nada dari kokokan ayam jantan. Luna menarik tirai jendela kamarnya, yang langsung menghadap cahaya matahari. Hari kesekian kalinya dia harus bangung pagi untuk pergi kesekolah bersama kedua anak manusia. Dibenarkannya kancing baju atasnya yang belum tertutup, sambil sesekali menyapukan wajahnya didepan cermin. Dia nggak mau tampil apa adanya, meski dia siluman tapi dia diajakrkan sedikit adab manusia oleh ibunya. Biasanya jika pagi begini ketika bersama rombongan siluman dia harus bersiap pergi untuk mencari makan dan bertahan dari serangan. Ada sebagian siluman jahat yang mengintai para siluman putih diluar sana, tapi semenjak penyergapan pemburu pada sabit kuning, siluman hitam itu bergabung ikut migrasi. Luna nggak melupakan semuanya, tapi ada yang lebih membutuhkannya saat ini. Dua hari lalu, mama Vigo mengajaknya berbicara berdua dan rahasia. Mama Vigo memintanya untuk menjaga dan mengawasi Vigo, karena ia tahu Vigo bukan anak kecil lagi yang mudah diatur. Saat itu Luna berkata iya dan berjanji, nggak mungkin dia mengingkarinya. Selain itu dia juga harus tahu masalah apa yang terjadi antara Vigo dan Angga, sampai-sampai kedunya nggak akur. “Lun, ayo cepet berangkat! Loe gak mau telatkan!” Vigo menggedor pintu kamar Luna begitu kencang. Membuat Luna tersentak kaget. “Iya, aku akan keluar. Tunggu ya.” Luna bergegas menyelesaikan dandannya dan langsung mengambil tas untuk berangkat. Sebenarnya ia malas untuk sekolah, nggak ada gunannya dalam hidupnya, toh akhirnya dia juga bakalana meninggalkan dunia manusia ini nantinya. Ditariknya gagang pintu kamarnya dan berjaln menuju meja makan, dimana bisanya setiap pagi ia melihat ritual yang sama. Sarapan. Hari itu sudah ada Chaca, Vigo, dan orang tua angkatnya disana. Yang setiap saat memandangnya dengan tatapan ramah, kecuali Chaca. “Selamat pagi.” Sapa Luna dengan senyuman manis tipis mengambang dibibirnya. Suatu ucapan yang tak pernah ia lakukan. “Pagi.” Mama angkatnya membalas sapaan itu sambil ikut tersenyum. Luna duduk dimeja makan, memandangi makanan yang tersusun rapi disana. Sudah seminggu rasanya, dia terus melihat banyak makanan itu. sebagian makanan daging dan ikan, sebagian lagi sayuran penuh dengan bumbu yang menyengat. Pertama kalinya Luna berkumpul makan bersama, tingkah anehnya keluar semua. Makan dengan tangan dan seperti nggak pernah makan, bukan seperti orang kampung, tapi lebih memperlihatkan dirinya sebagai seekor siluman hewan. “Igo, kamu berangkat sama Luna ya?” kata papa Vigo ramah. “Berangkat pake apa? Kan motornya disita papa. Nggak mau Igo naik angkot apa Bus.” Jawab Vigo singkat dengan nada sinis. Setelah Vigo berucap, papanya melemparkan kunci motor didekat piring. Vigo menatap dengan penuh harap, senang sekali ia bis anaik motor lagi setelah seminggu nggak diperbolekan. “Beneran ini pa?” Sang papa nggak menjawab. “Gini dong, nggak usah disita-sitaan.” Lanjut Vigo semakin sumringah. “Tapi, ingat ya. Motor itu udah papa benerin, kalau sampai kamu rusak lagi nggak bakalan papa kasih kekamu.” Vigo hanya bisa nyengir kuda. “Sip bos! Ayo Lun kita berangkat.” Setelah berucap itu Vigo menarik tangan Luna yang masih menyuapkan makanan kemulutnya. “Aku masih makan.” “Nanti aja dikantin.” Vigo begitu senang mendapatkan lagi moge kesayangannya, rasanya ia nggak bisa hidup tanpa encun-encun (nama motornya). Sampai-sampai ia menarik tangan Luna begitu kencang dan langsung memperlihatkan motornya saat mereka berada digarasi. “Ini motor kesayangan gue. Muach.” Vigo mencium lampu depan motornya. Luna melihatnya jijik. “Kenapa kamu cium, manusia aneh.” cibir Luna. Vigo tak nggak peduli. Sementara itu, dimeja makan masih ada Chaca dan prang tuanya. Chaca mendengus kesal sambil memainkan makannya, saat ia membayangkan mamanya begitu memanjakan Vigo saat bersama Luna. Padahalan dulu setiap Vigo kena masalah, Vigo selalu mendapatakan hukuman. Tapi, sekarang orang tuanya begitu menyayangi kakaknya. Semua karena Luna. “Kenapa makannya kamu mainin Cha?” tegur sang mama. “Nggak papa.” Jawab Chaca ketus. “Kamu kesal kakakmu papa kasih motor lagi?” tanya sang papa menatap Chaca yang memalingkan wajahnya. “Papa sama mama ini kenapa sih, semenjak ada Luna. Rasanya semuanya berubah, mengharapkan dia bisa bisa merubah sikap kak Igi. Apa papa sama mama pikir Luna itu malaikat yang bisa wujudin semuanya.” “Papa nggak pernah mikir begitu Cha, tapi semenjak Luna disini. kakakmu betah dirumah. “Kak Igo berubah bukan karena Luna. Tapi, karena fasilitas yang udah papa sita.” Chaca hanya bisa meninggalkan tempat makannya, ia tahu nggak ada gunanya berdebat dengan orang tuanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN