Vigo membanting tasnya kesudut kamar sambil merebahkan tubuh lelahnya dikasur, ditatapnya langit-langit kamar saat bayangan kesedihan melayang disana. Lebih dari dua belas tahun lalu, saat papanya duduk disebuah ruangan dan disaksikan banyak orang, setelah itu seorang dengan baju merah-hitam memukul palu tiga kali.
Bayangan-bayangan besi penjara masih membekas jelas dibenaknya, meski saat itu dia masih berusia lima tahum. Ia mengingat betul bagaimana papanya harus mendekam disana, bahkan ia ingat bagaimana orang menatap sinis dan mengatakan ia pembunuh.
Ia tak terima saat itu, dirinya memberontak pada semua orang. Tapi, semakin ia memberontak semakin mereka sering mengata-ngatainya. Mamanya harus meneruskan pekerjaan papnya, seperti seorang single parent. Bahkan adiknya yang masih kecil ikut menangung hinaan orang sekitar.
Setiap pulang bermain, Chaca selalu saja menangis tersedu dan mengatakan sesuatu yang dihapalnya. “Katanya pa... papa bunuh o...orang.” dan dengan tenang mamanya menyudahi tangisan Chaca.
Sejak hari itu jiwanya dan jiwa Chaca memberontak tak jelas. Papanya boleh keluar dari penjara, tapi bagaimana dengan wajahnya didepan orang banyak. Vigo menjadi anak nakal yang tak berkesudahan mencari masalah, bahkan ia lebih senang beradu pukul ketimbang berbicara. sikapnya itu mendapatkan elusan d**a dari kedua orang tuanya, mereka tak bisa melakukan apa pun untuk hanya diam.
“Vigo, kamu dikamar ya?” terdengar jelas sebuah suara berseru dengan detikan pintu kamar Vigo.
Luna masuk ke dalam kamar Vigo dan melihat cowok itu berbaring tak berdaya, tatapan matanya masih terbang kemanapun berada. Saat melihat itu Luna hanya bisa melihat bingung, Vigo seperti orang yang kemasukan setan. Digoyangnya tangan Vigo pelan sambil berucap, “kamu nggak apa-apa, Go?”
Vigo tak menjawab, ia malah duduk seperti orang linglung.
“Heh, Vigo?” lanjut Luna sambil menggoyangkan dagu Vigo.
“Lun?”
“Ehm...”
“Kadang-kadang gue merasa gak nyaman sama semua ini, tapi gue gak bisa berbuat apa-apa.”
“Maksudnya?” Luna menggaruk-garuk kepala belakangnya yang sebenarnya tidak terasa gatal, di hanya bingung dengan omongan Vigo.
“Gue gak peduli mau loe amnesia apa alzaemar, tapi gue mau cerita kalau gue gak mau kayak dulu. Gue gak bisa dapat masalahlagi gara-gara orang disekitar gue.” Vigo berceirta panjang, Luna sedikit tk paham tapi dia berusaha memahami apa yang dikatan Vigo.
Lama dia memikirkan dari omongan Vigo, tapi tak menemukan apa pun. Otaknya terasa buntu.
“Eh Go, tadi aku ketemu orang ditempat buku-buku banyak.” Luna mengalihkan topik pembicaraan, “siapa tadi namanya ya... Ngga-Ngga, oh iya Angga.”
Vigo melotot mendengar Luna menyebut nama Angga. Rasanya ubun-ubun Vigo mulai memanas dengan omongan Luna. “Siapa?”
“Angga.” Luna kembali mengulang nama itu yang semakin membuat Vigo benci.
“Jangan pernah sekali lagi loe deket sama cowok itu, gue gak suka.”
“Tapi, kenapa Go? Dia ramah kok.”
“Gue bilang gak boleh! Ya gak boleh!” suara Vigo meninggi dan dia berdiri dari duduknya.
Vigo tak membiarkan Luna dekat dengan orang yang sudah membuatnya dipermalukan didepan orang banyak.
“Aku kan butuh alasan, Go.”
“Loe b***k ya. Gue gak suka loe deket sama itu anak. Sekali lagi loe deketan sama dia, gue persilahkan loe pergi dari rumah dan hidup gue.”
Dia tak mampu menjawab omongan Vigo lagi. Kemana dia akan pergi kalau nggak disitu, bahkan sampai hari itu dia belum tahu kemana perginya rombomngannya. Bisa-bisa dia ditangkap pemburu jika hal itu terjadi.
“Udahlah, ganti baju sana terus ikut gue jalan-jalan.” Lanjut Vigo.
Luna tersenyum dan langsung pergi dari kamar Vigo, dia takut Vigo marah lagi.
%%%
Alunan lagu The Beatles terdengar berteriak dari kamar Angga, menggetarkan seisi rumah besar itu hingga terasa hampir roboh. Angga, tak memperdulikannya ia senang menyetel musik begitu kencang saat berada dikamar mandi. Dikamar mandi? Sudah menjadi kebiasaanya, menyetel musik dan mandi adalah satu-kesatuan yang sulit untuk dipisahkan.
Dengan gaya menyabuni badan atau keramas, teriakan suaranya beradu merdu dengan suara tape dikamar. Bahkan saat keluar kamar mandi pun, ia masih sempat menggetarkan suara sumbangnya. Seperti saat ini, masih dengan lilitan handuk disetengah tubuhnya, ia menyanyikan lagi White a little help frommy friend-nya The Beatles, dengan gaya sok memegang gitar. Cowok senorak itu masih memiliki fans banyak? Seandainya gayanya itu dijadikan Vlog mungkin sebagian fansnya akan mengerutkan kening. Dan kabur sambil bilang ilfeal.
Tapi, semua kekonyolannya hilang seketika saat HPnya berbunyi dengan keras. ID yang tertera Rama.
“Hallo, Ram?” katanya menyapa sahabatnya.
“Santai banget ya loe. Katanya loe ngajak kita latihan, malah loe gak dateng-dateng.”
“Latihan kan jam dua.” Diliriknya jam didinding kamarnya yang tak menggerakkan jarunya sedikitpun keangka lain, tetap dititik satu. “Astaga jam gue mati. Oke-oke gue kesana.”
Dilemparkannya Hpnya itu kekasur setelah menutup pembicaraan. Dengan gerakan gabungan antara Flasht dan Superman ia mengenakan pakainnya.
Sementara itu didekat taman, Rama kesal menunggu Angga yang tak kunjung datang.
“Gimana, Angga jadi datang gak?” tanya salah seorang anggota tim Garuda Raya.
“Dia datang kok, masih siap-siap.” Jawab Rama dengan bingung. Ia lagi yang harus menyembunyikan kebohongan Angga, selalu.
Sejak ditinggal mamanya, Angga memang sedikit aneh. melakukan hal bodoh dan konyol, bersikap kocak hanya untuk menutupi kesedihannya. Rama tahu semuanya, semua hal menyangkut tentang Angga, karena ia yang menjadi sandaran Angga ketika curhat.
“Angga gak pernah konsisten sama omongannya.” Kata anggota lainnya.
“Maksud loe?” tanya Rama berlagak b**o’.
“Halah. Mentang-mentang dia captain tim dan papanya donator, dengan seenaknya dia bisa datang terlambat. Sukanya marah, katanya buat kebaikan tim. Mana buktinya?”
“Bener kata loe, Angga itu sebenarnya gak jauh beda sama Vigo. Sama-sama gak bener.” Salah seorang anggota yang berdiri sejajar dengan Rama ikut nyeletuk.
“Heh, jangan asal omong ya kalian. Gitu-gitu dia captain tim, dia yang udah ngesuport semuanya buat tim kita. Gak ada dia kita gak bakalan dapat fasilitas kayak gini. Seragam baru, sepatu baru, bola baru, sampai tempat latihan khusus buat kita!” suara Rama sedikit meninggi saat mengatakan hal itu, tapi teman-temannya seperti tidak peduli.
Dari arah belakang, tanpa disadarinya Angga datang dengan senyuman khasnya yang manis. Tanpa mendehem atau melakukan apa pun, ia mendengarkan Rama yang terus saja membelanya. Tapi, kemudian ia berucap. “Kita bisa mulai latihannya.”
Mendengar hal itu anggota tim Garuda Raya Cuma bisa tertegun bingung, mereka sebagian takut untuk berbicara lagi. Bahkan dari mereka yang angkat bicara tadi hanya bisa menatap langit.
Dan... latihan itu dimulai seperti biasanya.
%%%
Hembusan angin sore ditaman cukup menyejukkan, menyibak daun-daun yang perlahan gugur direrumputan hijau. Vigo dan Luna baru saja datang dan duduk disalah satu bangku taman, disaksikannya guguran daun itu sambil tersenyum.
“Rasanya nyaman ya lihat ginian.” Celetuk Vigo sambil mengunyah kacang kulit yang dibawanya dari rumah.
“Ginian?”
“Maksudnya daun-daun itu, yang kuning gugur.”
Dengan seenaknya Luna mengambil bungkusan kacang yang dipegang Vigo, dan memakannya seperti yang dilakukan Vigo.
“Seingat ku. Dulu saat dihutan sering sekali aku melihat dau-daun seperti tiba-tiba tertiup angin, jatuh dan kemudian pergi. Apakah selalu begitu?”
“Seharusnya emang gitu. Setiap musim kering, pepohonan memang menggugurkan daunnya nanti bakalan ganti daun baru. Itu yang gue pelajarin disekolah. Eh tunggu dulu... loe udah mulai inget hutan itu?”
“Sedikit. Kadang bayangan cahaya bulan yang menembus pohon, gubuk ditengah hutan, sampai tatapan burung hantu, masih sering menggangguku.”
“Bagus, pertahanin itu. Siapa tahu loe bisa inget, siapa loe dan keluarga loe.” Vigo kemudian tersenyum, sembari kembali berucap, “gue beli minum dulu ya. Eh atau loe mau ice crem?”
“Ice crem?”
Vigo tak menggubris kelola-an Luna, ia lebih memilih pergi menjau. Duduk disana dua puluh menit bersama Luna saja, rasanya otaknya mulai mengencang dan tiba-tiba outus begitu saja. Sementara Vigo pergi, Luna masih sibuk mengunyah kacang kulit yang dari tadi belum habis-habis. Tingkah musangnya mulai muncul dengan sendirinya.
Dipandanginya suasana taman sore itu. Ada anak-anak dan orang tuanya yang tengah bermain, sebagian pasangan muda tengah joging sore, dan beberapa ada yang sedang bermain sepak bola didekat taman itu. Luna semakin betah saja disana, hidup sebagai manusia ternyata nggak sesulit yang dibayangkannya, memang kadang mereka ceroboh dan aneh, tapi itu nggak mengurangi sedikitpun keeksotisan mereka.
Saat matanya terus menjelajah, sebuah bayangan hitam menghalangi pandangannya. Bayangan itu berdiri didekatnya duduk, menggunakan baju dan celana pendek sambil membawa dua botol minuman.
“Kok loe disini?” tanya Angga bingung melihat Luna ada ditaman itu juga.
“Iya, aku sama kakakku kesini. Kamu sendiri ngapain kesini?”
Angga duduk didekat Luna duduk, dengan tersenyum ia berusaha menarik hati Luna. Anak konyol itu mulai melancarkan jurus ampuhnya untuk membuat Luna jatuh cinta.
“Gue baru selesai latihan sepak bola disana.” Angga menunjuk segerombol anal yang bermain sepak bola. “Eh gue belum tahu siapa nama loe. Kan curang kalau loe tahu nama gue doang.”
“Kamu juga sih, aku belum ngenalin kamu udah pergi duluan.”
Angga menggaruk-garuk kepala belakangnya sambil cengengesan. “Hehe sorry deh, habisnya kemaren buru-buru.”
“Aku Luna.”
“Lu-Na, nama yang bagus. Peri yang terlihat hanya dimalam hari. Siapa yang ngasih nama itu? bokap apa nyokap loe?”
“Bokap? Nyokap?”
“Ayah sama ibu.”
“Sepertinya ayahku.”
Keduanya terlibat obrolan seru, saat diantara mereka mulai bercanda satu sama lain. Sesekali kekocakan Angga ditimpali dengan tawa renyah Luna. Mereka terlihat nyambung bahkan terkesan tak ada yang dibuat-buat, semuanya real keluar drai mulut masing-masing.
“Nih minum buat loe.” Angga memberikan sebotol minuman dingin pada Luna yang seharusnya diberikannya pada Rama. “Gokil, loe lucu juga ya. Gue sampai susah berenti ketawa.”
“Ah masa, ya memang sih. Kata orang tua dan kakakku aku emang lucu. Banget malahan.”
“Gaya bicara loe juga khas. Kalau boleh tahu loe pindahan dari mana?”
Luna berpikir sejenak, mengingat setaiap apa yang dipelajari dari Vigo. Bahwa dia harus mengaku dari London, kota entah dimana yang sebenarnya dia sendiri pun tak tahu. Tapi, belum sempat dia berbicara, Angga lebih dulu angkat bicara. “Eh gue dipanggil temen-temen tuh, besok lagi kita ketemu disekolah ya, bye.”
Angga berlalu pergi menuju teman-temannya yang melambaikan tangannya. Saat menuju kearah temannya, Angga sesekali masih tersenyum geli mengingat tingkah Luna. Gadis yang baru dikenalnya itu membuat dadanya bergetar dan bergemuruh, rasanya ada sesuatu yang hendak keluar dari sana yang nggak bisa dijelaskannya. Yang pasti ia menyukai hal itu.
Saat Luna yang belum pergi dari bangku itu hanya mampu diam, ketika Vigo datang dengan ice cren ditangannya. Tapi, senyuman Vigo menurun saat dilihatnya ada sebotol minuman orange.
“Minuman siapa tuh?”
“Dikasih orang,”
“Orang siapa? Emang loe punya kenalan siapa aja?”
“Angga tadi kesini, terus ngasih minuman ini.”
“Angga, cowok konyol itu? ngapain dia kesini?” Vigo merebut botol minuman yang dipegang Luna, dan langsung menedangnya hingga masuk ketempat sampah. Tepat sekali. Tendangannya masih sangat bagus, bahkan lebih dari tim Garuda Raya lainnya. Coac Arman pun tahu hal itu.
“Kenapa kamu buang?” tanya Luna bingung.
“Udah gue bilang kan, jangan deket atau nerima apa pun dari cowok konyol itu. Titik.”
“Tapi, kenapa?”
“Enought. Gue bilang titik ya titik. Udah nih makan ice crem ini, dari pada loe banyak tanya.”
Luna menerima ice crem coklat itu dan langsung menjilatinya seperti yang dilakukan Vigo.