01. Gadis Aneh Bernama Luna
Bulan nampak menaung diatas sana. Warna kuning terangnya menyilaukan mata, hingga kepelosok hutan belantara. Teriakan dan ngauman anjing-anjing liar mengudara dengan nyaring. Tapi, gadis itu seperti tak takut akan kegelapan malam, dia malah terus berjalan tanpa tahu arah. Rambut hitam panjang dan bergelombangnya perlahan menyibak terkena hembusan angin dingin. Gaun putih sebatas lutut yang terbungkus mantel coklat sudah terlihat kusam dengan tanah dan lumpur, seperti corak kain yang berbulan-bulan tak tersentuh genangan air.
Kaki telanjangnya terus saja melangkah, menginjak ranting dan daun kering dibawah pohon perdu dengan tinggi puluhan meter. Dibawah pohon akasia ada gundukan batu yang cukup besar hingga menyandung kakinya.
Tubuhnya hilang ditelan keanehan, saat tiba-tiba seekor musang belang owston malah nampak mengaduh. Gadis yang sering disebut Luna itu sudah seperti tak nampak lagi, padahal dia telah menjelma menjadi seekor musang.
Sudah lebih dari tiga hari dia tertinggal, rombongan sebangsanya meninggalkannya sendiri. Bukan, mereka tak pergi begitu saja, tapi Luna tak sengaja tertinggal. Seharusnya dia sekarang berkumpul dengan yang lainnya, tapi karena kesalahanya hal itu tak akan terjadi sampai dia tahu dimana mereka pergi.
Saat tubuhnya menjadi seekor musang, nampak kilatan cahaya merah dilangit. Dengan gerakan cepat dia mengejar cahaya itu, dia berharap jatuhnya semburat merah itu ada didunianya. Semakin terang cahaya itu, hampir-hampir saja dia kehilangan jejak, bahkan rasanya sudah tertutup lebatnya pohon. Tapi, tidak. Cahaya itu kembali mengudara dengan warna yang lebih terang, terus terang, dan pergi lagi entah dimana. Sesaat kemudian ada suara ledakan mirip bom. Nyaring!
Dia tak menemukan lagi, tapi kilatan cahaya yang sama seperti yang pernah ia lihat menembus selisih pohon hutan kini terlihat sangat banyak. Lalu-lalang benda-benda besar seukuran setengah gajah beterbaran, bahkan benda dengan suara nyaring menghancurkan gendang telinga memekik tajam.
Dan disana. Lampu yang menyorot tajam menyilaukan matanya. Lagi, suara nyaring seperti teriakan kuda terjepit membuat telinganya sakit. Bahkan setelah suara itu seorang laki-laki berteriak kencang.
“Woi! Hewan, minggir loe!”teriakan Vigo tak diindahkannya, bahkan Luna hanya diam saja. Padahal berulang kali ia membunyikan klakson tapi tak ada gunanya.
Selangkah kemudian Vigo memutar stangnya kekiri sambil berusaha menghindari Luna, tapi yang ia dapatkan kesialan. Motor depannya menabrak pohon besar dipinggir jalan. Tebeng dan lampu depannya hancur tak berbekas, membuat tubuh Vigo terguling kesamping motor, helmnya terlepas dari kepala dan membuat kepalanya terbentur tanah keras. Terlihat sekarang genangan darah pekat disana.
Luna tak mau tinggal diam. Sosok gadisnya berusaha menolong, tapi dia malah bingung. Sesekali digigitnya jari kukunya dan berulang kali dia menaruh lalu menarik kembali mantel bulu coklatnya. Gelisah.
“Aduh kenapa ini cowok, apa dia mati?” tanya Luna panik sendiri. “Tidak-tidak. Tenang kamu Luna, dia nggak mati. Kamu nggak bunuh manusia ceroboh ini.” Dia berusaha terus menenangkan pikirannya yang sudah semakin kacau.
Keadaan Vigo sudah mengenaskan, tubuhnya tak bergerak sedikitpun. Bahkan tangannya tak berdaya, saat berulang kali Luna mengangkat lalu menjatuhkannya lagi.
%%%
Lampu ruangan itu terang menyilaukan mata. Tubuh Vigo mulai bergerak, matanya terbuka lebar, tapi ia mulai mengaduh saat kepalanya yang diperban kesakitan. Vigo berada dirumah sakit sekarang, sudah jelas, ruangan itu, infus ditangannya, dan bajunya yang entah kapan diganti menandakan bahwa ia sudah tertahan disana untuk beberapa saat.
Tak mau terus bingung, Vigo berusaha bangkit dengan tubuh yang masih lemas. Tapi, saat ia menggerakkan tangan kanannya sesuatu benda mencegah, ia merasakannya dan yakin kalau benda itu bukan tikus atau sejenisnya yang akan membuatnya berteriak selain kemarahan sang Mama. Saat ditengokkan wajahnya, sebuah tangan menggenggam erat tangannya. Gadis dari mana ini? Tanya batinnya bingung.
Digoyang-goyangkannya lengan gadis dekil itu, tapi tak ada reaksi. Gadis itu malah hanya menggaruk pipinya sambil melap air liurnya yang menggenang diselimut Vigo. Jorok! Vigo menggidik jijik dengan gadis itu.
“Eh loe. Hei bangun, siapa sih loe? Bangun gak, atau gue timpuk pakai botol infus nih.”
Vigo sudah naik pitam, kepalanya mulai berasap karena jengkel. Tapi, Luna tetap tak ber-respon. Bahkan disaat tidur pegangannya masih begitu erat. Vigo menarik tangannya sekencang mungkin, lalu sedikit menyepak Luna dengan kakinya. Ia kejam pada cewek! Ah mana ia peduli. Sejurus kemudian tubuh Luna terjungkal kebawah ranjang.
“Aw!” Luna mengaduh. Vigo pura-pula b**o’.
“Ngapain loe dibawah?”
“Ngapain-ngapain. Apa kamu nggak lihat. Eh kamu sudah bangun, kukira kamu bakalan mati.”
“Mati? Gak mungkinlah cuma gara-gara nabrak pohon gitu aja mati... semua ini karena hewan menjijikkan itu. Sialan.”
Luna menggeram diam mendengar Vigo menyebutnya hewan menjijikkan dan s****n. Vigo tak tahu saja bahwa gadis didepannya itu si musang yang sudah dimaki-makinya. Seandainya tahu pun mungkin ia akan menggidik takut dan lekas-lekas pergi dari rumah sakit itu, mengurung diri dikamar dan ditemukan mengenaskan. Tidak.
“Wait, loe siapa? Ngapain disini? lagian loe dekil banget.” Lanjut Vigo.
“Dekil? Kamu ini nggak tahu kalau aku yang nolongin kamu. Untung aku bawa kesini, kalau nggak kamu udah dikulitin sama anjing, digigitin tikus, terus dimakan sama serigala.”
“Udah-udah, bikin parno gue aja loe. Oke, makasih Eng...”
“Luna, panggil aku Luna.”
“Baik Sis Luna. Asal loe dari mana? Dan... sumpah loe dekil banget, berapa bulan sih loe gak mandi. Mana bau banget lagi. Huekk.”
“Bau?” Luna mencium badannya yang kata Vigo bau.
Memang harus diakuinya bahwa dia lupa kapan terakhir kali menyentuh air. Ah memang biasanya dia jarang mandi. Lagi pula musang mana yang mengenal mandi. Mereka adalah bangsa yang mengenal air hanya untuk minum. Mungkin.
Luna memajukan bibirnya, berusaha mencari alasan yang logis, karena tidak mungkin dia mengatakan pada manusia ceroboh itu kalau dia adalah silluman musang yang tertinggal jauh dari rombongannya yang bermigrasi.
“Aku juga tidak ingat siapa dan dari mana asalku, yang kuingat tiba-tiba aku menemukanmu jatuh dari benda didekat pohon.”
Vigo malah berusaha mencari cara agar si cewek itu bergegas pergi, bahkan cerita gadis itu tak sedikitpun membuat Vigo tergugah. Semua orang pasti menyangka bahwa dia gelandangan yang suka ngemis dijalanan. Kalau tidak, mungkin dia kabur dari penampungan. Sudah jelas bukan.
Tapi, kalau dilihat lebih dalam wajah Luna cukup menarik, bibirnya yang kecil dan s*****l, matanya bulat dengan iris amber seperti Edward Cullen di Twillight, dan wajahnya bulat oval atau sedikit lonjong, semua dipadu dengan rambut bergelombang mirip karakakter Aom Am (Didrama Full House versi Thailand). Tidak membosankan untuk dilihat.
“Kalau gue lihat loe lumayan juga, cuma kurang sedikit polesan atu permak (jeans?)”
“Polesan? Permak?” ulang Luna lagi-lagi dengan nada bingungnya.
Hadeh. Dia nggak begitu ngeh dengan omongan Vigo sedari tadi. Kadang cowok itu marah, merinding jorok, parno, sampai menggoda dengan mata yang dikedipkan sebelah. Bulu kuduk Luna sampai terangkat sendiri, karena ini pertama kalinya dia mengobrol sejuah ini dengan manusia.
“Udah deh, dari pada loe berdiri disitu sambil megang jari loe, mendingan ambilin gue buah.”
Seperti sebuah perintah sang komandan pada anak buahnya, Luna langsung menuruti apa yang disuruh Vigo. Dia mengambil sebuah apel dipiring yang berada diatas meja dan langsung menyodorkannya pada Vigo. Sementara Vigo nampak tak peduli, bagaimana mungkin ia bakalan kuat menggigit buah itu dalam keadaan yang tidak stabil.
“Loe nyuruh gue makan buah itu dalam keadaan kayak gini? Wah s***p nih cewek. Kan loe bisa potong sama pisau.”
“Aku nggak pernah gunain pisau.”
“Yaampun loe makhluk dari mana sih? sampai gunain pisau aja gak bisa,”
Luna mengambil pisau yang berada disamping piring buah, dipandanginya benda putih tajam itu dengan seksama. Melihat benda itu, ingatan masa lalunya terulang kembali.
Saat itu bulan sabit kuning, saat para siluman mengalami kelemahan. Para pemburu datang kehutan dan menangkap satu persatu mereka termasuk ayah Luna, menggunakan pisau perak. Tak ada yang bisa mencegahnya, bahkan siluman Bobcat pun harus tertangkap, tapi tak sampai lama, Bobcat sudah terbebas dan mengetuai migrasi besar-besaran. Mengingat hal itu keringat panas-dingin menetes dari dahinya,dia sampai bergetar takut.
“Aku nggak bisa!” Luna berteriak, lalu melemparkan pisau itu disisi ranjang.
“Kenapa sih loe? Aneh.”
Luna masih mengingat kejadian itu, sementara Vigo berusaha perlahan membuka buah jeruk mandarin. Saat pintu ruangan dibuka cepat, seorang laki-laki dan dua perempuan datang menghampir Vigo dengan wajah lemas.
“Igo, kamu nggak apa-apa kan? Apa, apa ada yang harus dioperasi? Gimana keadaanmu sekarang? Kamu nggak amnesia, kan?” rentetan pertanyaan dari sang Mama membuat Vigo hanya bisa menarik nafas panjang. Mama kebiasaan. Batin Vigo.
“Apa sih Ma? Vigo kan udah gede nggak usah dibegituin. Lagian dia kan Cuma diperban.” Imbuh sang Papa menenangkan.
Chaca si adik malah mendekati Luna yang masih diam terpaku karena melihat keluarga Vigo datang. Chaca lalu berucap, “Kak Igo, cewek dekil ini siapa?”
“Iya Igo, dia siapa? Temen kamu? Kok kotor gitu.” Mama Vigo lalu mendekati Luna, dipegang pelan pundak Luna yang tak merespon. “Nama kamu siapa?”
“Luna.” Jawab Luna singkat.
“Luna, kamu temennya Vigo ya?”
Luna diam, tak tahu harus berkata apa. Karena dia tak tahu apa hubungannya dengan Vigo, teman pun bukan. Mereka bertemu karena tak sengaja. Seandainya pun Luna tak merasa bersalah mungkin dia sudah meninggalkan Vigo dari awal.
“Iya Ma, dia temen Vigo. Orang tuanya sudah meninggal lama, dia gak punya saudara, kemarin rumahnya kebakaran. Tapi, dia baik kok Ma, buktinya dia yang ngebawa dan nungguin Vigo dari kemarin.”
“Oh ya. Kasihan sekali. Gimana kalau kita bawa Luna pulang kerumah, biar tinggal bareng Vigo dan Chaca kan, pa.”
Sang Papa mengangguk.
“Apa?! Gak bisa Ma, Chaca gak mau dia tinggal satu rumah. Asal usulnya aja gak jelas, gimana kalau ternyata dia buronan polisi atau yang lainnya.”
“Jangan ngaco’ ah. Kan Vigo tadi ngomong kalau Luna itu temannya, itu cukup. Setelah Vigo keluar dari rumah sakit Luna harus ikut pulang.”
Sang Mama masih bersemangat mengajak Luna pulang, sementara Vigo dan Chaca sebenarnya memiliki pemikiran yang sama, tidak mau kalau cewek aneh itu tinggal satu rumah dengan mereka.
Dikeadaan yang sama, Tuan Aris, Papa Vigo dan Chaca mencium keanehan tersendiri dalam diri Luna. Tuan Aris merasakan sesuatu yang tak ia rasakan pada anak-anak lain. Aroma yang begitu menyengat berbau natural tapi menusuk hidung. Mungkin hanya ia yang tahu. Belajar dari anggota selama lebih dua puluh tahun, membuatnya mengerti semuanya. Meski hal itu masih ia sembunyikan dari anak-anaknya._