9 - Bertemu Calon Mertua

1581 Kata
“Kita buat itu sebelum Bella lahir, kita emang sepakat mau melihat pergerakan Bella sekalian pantau Bella kalau diasuh sama pengasuh gimana. Jadi semua titik rumah aku kasih CCTV, termasuk kamarnya Bella,” jawab Arhan. “Kamar kamu sama Meisya juga Mas?” tanya Zahra memastikan membuat Arhan tertawa. “Kenapa? Kamu takut kalau nanti nikah sama aku dipantau di kamar kita?” tanya Arhan membuat Zahra mengernyitkan keningnya. “Kamar kita?” beo Zahra tanpa sadar membuat Arhan terdiam. “Iya kamar kita, emang kamu berpikir kita tidak akan satu kamar? Kamu akan pindah ke rumah ini dan kita akan tempati kamar yang sama, apa aku salah?” tanya Arhan membuat Zahra akhirnya terdiam. Tak pernah terpikirkan olehnya sampai sejauh ini, berpikir untuk menikah dengan Arhan saja tak pernah terpikir bagaimana dengan satu kamar? “Zahra,” panggil Arhan membuat Zahra sadar dari lamunannya. “Aku lapar Mas, bisa kita makan sekarang? Aku juga harus pulang karena mau siapin materi ngajar untuk besok,” kata Zahra mengalihkan agar mereka tak lagi membahas hal tersebut. “Yaudah ayo,” ajak Arhan sambil bangkit berdiri. Zahra merasa lega karena mereka tak lagi membahas hal intim tersebut, wanita itu ikut bangkit berdiri dan menyusul Arhan yang sudah berjalan terlebih dahulu. *** “Kamu kenapa turun Mas?” tanya Zahra panik ketika Arhan turun dari mobilnya. Arhan sudah berjanji akan mengantar Zahra pulang, maka itu kini keduanya berada di depan rumah Zahra. “Mau ngantar kamu sampai ke dalam. Aku belum ketemu sama orangtua kamu, kemarin aku nggak sempat. Aku nggak mau dibilang nggak sopan bawa kamu nginap tapi nggak ada bilang makasih,” kata Arhan sambil mengunci mobilnya. “Ayo,” ajak Arhan dengan berjalan lebih dahulu. Zahra membuka pintu rumahnya karena memang belum dikunci lalu mengucapkan salam. Adrian dan Vania sedang menonton film bersama sambil berpelukan. “Malam,” sapa Zahra membuat Vania menoleh dan melepaskan pelukannya dari Adrian. Suami dari Vania itu ikut menoleh dan menatap Zahra tak suka, lebih tepatnya dengan seseorang yang berada di samping Zahra. “Selamat malam Pak, Bu,” sapa Arhan sambil tersenyum. “Selamat malam, akhirnya putri Bunda pulang juga,” sapa Vania hangat sambil bangkit berdiri. “Selamat malam Arhan, terima kasih sudah mengantar Zahra pulang dengan selamat. Bagaimana pekerjaan dan perjalannya? Berjalan dengan baik?” tanya Vania sebagai bentuk basa-basinya membuat Arhan merasa hangat. “Lancar Bu, terima kasih sudah mengizinkan Zahra untuk menginap di rumah menjaga Bella,” kata Arhan dengan tulus. Adrian bangkit berdiri hendak masuk ke dalam namun berhenti begitu melihat sesuatu yang aneh. “Itu kening kamu kenapa?” tanya Adrian tak suka pada Zahra. Sedangkan Zahra langsung saja panik dan memegang keningnya, padahal Zahra sudah sebisa mungkin menutupi keningnya dengan rambutnya namun Adrian tetap saja mengetahui hal itu. “Tadi nggak sengaja jatuh kesandung mainannya Bella, jadi kena meja. Nggak luka parah, hanya tergores aja,” jawab Zahra cepat dan singkat. Setelah mendapat jawaban Adrian memilih pergi dari sana membuat Zahra menghela napasnya panjang karena kesal dengan sikap Papanya itu. Vania tersenyum dan mengelus lengan putrinya untuk menenangkan. “Bun, aku pamit ke kamar ya. Mau mandi dan ada sedikit kerjaan,” kata Zahra dan Vania menganggukkan kepalanya. “Aku tinggal ya Mas, hati-hati dijalan,” kata Zahra pada Arhan. “Iya, selamat istirahat. Nanti aku kasih tahu kalau udah di rumah,” kata Arhan membuat Zahra mengernyit. Namun wanita itu tak menanggapi dan langsung saja naik ke atas menuju kamarnya. “Maaf atas sikap Papanya Zahra yang tidak hangat sama kamu. Tolong dimaklumi, kelak kamu akan paham kenapa Papa Zahra seperti itu. Terutama kamu punya anak perempuan, sepertinya seorang Papa akan bersikap seperti itu kepada pacar anak perempuannya. Mereka takut tergantikan,” kata Vania bercanda sambil tertawa. Arhan ikut tertawa dan merasakan bahwa Vania memang Ibu yang baik. “Iya, saya paham Bu. Apa lagi terakhir kali keluarga saya yang menjelekkan Zahra pasti buat marah, saya benar-benar minta maaf atas perkataan mereka,” kata Arhan. “Iya saya bisa paham. Kamu harus berjuang lagi untuk meyakinkan Papanya Zahra. Semua pacarnya Zahra juga diperlakukan seperti itu bukan hanya kamu saja, jadi jangan takut. Semua pria yang datang ke rumah ini untuk mencoba mendekati Zahra juga seperti itu. Bukan hanya Zahra, adiknya Zahra juga seperti itu,” kata Vania guna mencairkan suasana. “Iya Bu, saya paham. Kelak saya mungkin akan bersikap seperti itu pada Bella. Tapi saya mau bicara dengan Ibu dan Bapak tentang niat baik saya ingin menikahi Zahra. Apa bisa?” tanya Arhan pelan membuat Vania tersenyum. “Jangan sekarang, waktunya lagi tidak tepat. Kita coba atur waktunya lagi bagaimana? Saya akan coba bicara dengan Papanya Zahra, saya akan coba yakinkan untuk mau ketemu dan bicara sama kamu. Tapi hanya kita bertiga tanpa Zahra, apa kamu siap?” tanya Vania dan Arhan langsung saja menganggukkan kepalanya dengan cepat. “Saya juga berniat seperti itu, saya mau meyakinkan tanpa ada Zahra. Tolong bantu saya untuk meyakinkan Bapak,” kata Arhan membuat Vania tertawa. “Jangan panggil saya Bapak dan Ibu, katanya calon mertua. Panggil Om dan Tante saja juga boleh, nanti setelah menikah panggil saja dengan panggilan yang sama seperti Zahra,” goda Vania membuat Arhan tertawa. “Baik, saya akan coba Tante. Tolong bantu saya untuk meyakinkan Om untuk bisa menerima saya. Saya janji akan membahagiakan Zahra, saya tidak akan menyakiti Zahra. Walaupun kita menikah karena permintaan Meisya, tapi saya tak pernah menganggap pernikahan itu suatu permainan,” ucap Arhan serius. “Jangan menjanjikan suatu hal yang buat kamu masih belum yakin. Jangan berani menjanjikan apapun, tapi berusahalah agar itu tercapai. Janjinya manusia bisa saja ingkar, begitu juga dengan cara saya meyakinkan Papanya Zahra bisa saja gagal. Tapi saya percaya usaha tidak akan mengkhianati hasil, kamu buktikan saja semuanya. Semoga Papanya Zahra bisa terima kamu akhirnya,” kata Vania dengan bijak. “Baik, saya akan ingat itu dan berusaha. Bisa minta nomor Tante supaya saya tahu untuk bertanya?” tanya Arhan sambil mengeluarkan handphonenya. “Boleh,” jawab Vania lembut sambil mengetikkan nomornya di handphone Arhan. “Lebih baik kamu pulang saja, sudah malam. Kasihan Bella ditinggal sendirian, semangat ya,” ucap Vania tulus. Arhan tersenyum dan menganggukkan kepalanya, pria itu pamit dan tak lupa mencium punggung tangan Vania sebagai bentuk baktinya. Vania mengantar Arhan ke depan sampai pria itu pergi begitu masuk ke dalam suaminya sudah menunggunya dan menatapnya dengan tajam. “Kenapa Mas?” tanya Vania lembut. “Kenapa lama banget? Kamu juga pake kasih nomor kamu sama dia, jangan pikir aku nggak tahu ya. Kamu mau genit sama dia?” tanya Adrian sarkas membuat Vania tertawa. “Gausah aneh-aneh, udah punya empat anak kayak gini mana ada yang mau. Dia itu calonnya anak kamu, buat apa aku genit sama calon menantu? Aku kasih nomor telepon juga karena untuk silahturahmi, nggak usah sok cemburu nggak mempan sama aku,” ejek Vania. “Siapa bilang nggak ada yang mau sama kamu? Aku mau sama kamu, bahkan kalau kita jalan masih ada yang lihatin kamu,” kata Adrian kesal buat Vania tertawa. “Iya kamukan suami aku mau nggak mau ya harus terima. Udah ahh ayo tidur, aku udah ngantuk,” ajak Vania sambil menggandeng lengan suaminya. Tak lupa Vania mematikan televisi yang menyala dan mematikan lampu. “Aku nggak akan buat kamu tidur malam ini, aku akan menghukummu sayang!” pekik Adrian. “Mas Adrian! Turunin!” pekik Vania kaget saat Adrian menggendongnya. Sedangkan Zahra sedang menatap layar laptop miliknya untuk menyiapkan materinya yang akan dibawanya besok. Zahra menghela napasnya panjang dan melepaskan kacamata yang dipakainya, wanita itu memang memakai kacamata disaat sedang memakai laptopnya. Handphonenya bergetar tanda sebuah pesan masuk lalu dengan cepat dibalas oleh Zahra. Pesan tersebut dari Sarah sahabatnya yang sedang berada diluar negeri. Zahra, Meisya dan Sarah memang bersahabatan, namun sahabatnya itu sedang tak bersama dengannya. Saat asyik dengan ponselnya handphonenya berdering dan Arhan yang sedang menghubunginya. Tanpa pikir panjang Zahra langsung saja mengangkat panggilan tersebut. “Hallo,” sapa Zahra. “Kenapa Mas?” tanya Zahra bingung karena Arhan menghubunginya. “Kenapa kamu bertanya kenapa? Emang aku nggak boleh menghubungi kamu?” tanya Arhan membuat Zahra terdiam. “Aku mau ngabarin kalau aku baru aja sampai rumah, Bella juga udah tidur. Kamu masih siapin materi?” tanya Arhan ketika Zahra tak memberikan tanggapan apapun. “Iya,” jawab Zahra singkat. “Masih lama?” tanya Arhan. “Apanya?” tanya Zahra bingung. “Masih lama siapin materinya? Jangan terlalu malam tidurnya nggak baik untuk kamu, besok ngajar jam berapa? Mau aku antar?” tawar Arhan. “Ngapain? Nggak usah, aku bisa bawa mobil. Ini sebentar lagi selesai,” jawab Zahra cepat. Zahra masih merasa aneh dengan perhatian yang diberikan Arhan untuknya. Bagi Zahra, Arhan itu masih suami dari Meisya. Zahra belum bisa menerima itu semua. “Kamu yakin? Aku bisa antar kamu kalau emang mau, kamu nggak usah bawa mobil,” kata Arhan lagi dengan berusaha. “Nggak perlu Mas, aku bisa sendiri. Mas udah ya, aku mau lanjut lagi nih,” kata Zahra berusaha menghindar. Arhan terdiam karena tak mendapat jawaban Zahra ingin mematikan sambungannya. Namun tak jadi karena Arhan tiba-tiba memanggilnya. “Zahra,” panggil Arhan lembut. “Ya Mas? Kenapa?” tanya Zahra, Arhan terdiam cukup lama dan Zahra menunggunya. “Selamat malam, selamat beristirahat ya,” ucap Arhan. “Oke, Mas Arhan juga,” balas Zahra. Setelah itu Zahra mematikan sambungannya dan menghela napasnya kasar. Zahra tahu Arhan sedang berusaha mendekatinya dengan memberi perhatian, namun Zahra belum bisa menerima itu. Masih ada bayang-bayang Meisya di dalamnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN