1 - Masa Lalu Pemenangnya
“Zahra!” panggil Meisya dengan cepat begitu panggilan tersebut tersambung.
“Kenapa? Ada apa?” tanya Zahra balik yang bingung dengan nada Meisya saat ini.
“Lo ada di mana?” tanya Meisya sambil berbisik.
“Ada di rumah, namanya juga lagi libur. Kenapa harus bisik-bisik gitu sih? Emang lagi di mana?” tanya Zahra penasaran.
“Berarti lo lagi nggak sama Daffakan?” tanya Meisya memastikan.
“Enggaklah, kalau sama Daffa pasti nggak di rumah. Emang kenapa sih?” tanya Zahra bingung.
“Lebih baik sekarang coba lo telepon Daffa tanya ada di mana, gue kayak ngelihat Daffa. Gue lihat dia sama cewek, makanya gue pastiin apa itu lo atau bukan. Gue sih tadi mikirnya itu bukan lo karena rambutnya beda, makanya gue mau mastiin,” kata Meisya membuat Zahra berdecak.
“Apaan sih Meisya, jangan buat gue jadi overthingking gitu dong. Tadi dia bilang kalau hari ini di rumah aja karena kecapekan, makanya kita nggak jalan,” kata Zahra berusaha tenang walaupun jantungnya sudah berpacu dengan sangat cepat.
“Buruan lo telepon dan pastikan, gue akan coba mendekat dan foto diam-diam supaya jadi barang bukti, oke?” Setelah mengatakan itu Meisya mematikan sambungannya. Zahra langsung saja mencoba menghubungi Daffa sesuai perintah Meisya. Panggilan pertama tak di angkat, lalu Zahra berusaha menghubunginya lagi dan panggilan ke dua akhirnya di angkat.
“Hallo Daf, kamu ada dimana?” tanya Zahra begitu sambungan tersebut tersambung.
“Kenapa? Aku lagi main game di rumah, kamu telepon ganggu aja,” kata Daffa dengan nada ketusnya. Zahra menghela napasnya panjang.
“Kamu benar lagi di rumahkan? Kamu lagi nggak bohong sama akukan?” tanya Zahra memastikan. Ia yakin jika Meisya juga tak akan mungkin bohong padanya.
“Kamu nggak percaya sama aku? Kenapa jadi kayak gini? Udahlah, kamu ganggu aja. Aku mau lanjut main,” kata Daffa ketus sambil mematikan sambungan tersebut.
Zahra kembali menghela napasnya dengan perubahan sikap Daffa itu. Tak lama sebuah pesan masuk dari Meisya dan mengirimkan sebuah foto. Zahra membelakkan matanya saat melihat bahwa foto tersebut bahwa Daffa memang sedang bersama dengan seorang wanita. Pria itu merangkul wanita itu dan mencium pipinya dengan mesra dari samping. Zahra langsung saja menghubungi Meisya kembali.
“Lo ada di mana? Kasih tahu gue tempatnya sekarang, gue bakalan datang ke sana,” kata Zahra dengan cepat.
“Lo udah telepon Daffa? Dia bohong sama lo?” tanya Meisya.
“Iya, dia bilangnya di rumah. Buruan kirim sama gue nama tempatnya sekarang, gue mau lihat langsung siapa orangnya!” ketus Zahra.
“Oke, gue kirim sekarang. Hati-hati dijalan, tenang oke? Gue bakalan tungguin lo di sini,” kata Meisya menenangkan. Zahra langsung saja mengganti pakaiannya dan segera turun ke bawah.
“Zahra! Kamu mau kemana?” tanya Vania dengan berteriak ketika melihat anaknya turun dan berjalan dengan cepat.
“Mau ketemu sama Vania sebentar Bunda, pergi dulu ya,” balas Zahra dengan berteriak.
Terlihat bahwa Zahra memang sangat terburu-buru. Vania tidak lagi menahan Zahra dan membiarkan anak sulungnya itu pergi. Dengan kecepatan yang tinggi Zahra mengendarai mobilnya menuju tempat yang sudah di kirim oleh Meisya. Zahra sudah tidak sabar ingin tiba di sana. Setelah sampai di parkiran Zahra dengan berlari masuk ke dalam dan mencari Daffa. Benar saja bahwa pria itu berada di sana dengan seorang wanita yang sangat dikenal olehnya.
“Jadi ini yang kamu bilang lagi ada di rumah main game?” tanya Zahra sarkas membuat Daffa serta wanita yang bernama Gina itu terkejut melihat kedatangan Zahra.
“Sayang, kenapa kamu ada di sini?” tanya pria itu panik sambil melepaskan pelukannya serta bangkit berdiri mendekati Zahra. Daffa hendak menggenggam tangan Zahra namun wanita itu melepaskannya. Meisya yang melihat Zahra sudah datang dan langsung menghampiri Daffa segera menyusul.
“Ini alasan kamu berubah sama aku dalam satu tahun belakangan ini? Ternyata kamu masih punya hubungan sama mantan terindah kamu ini? Masa lalu kamu belum selesai sama dia?” tanya Zahra marah pada Daffa.
“Bukan kayak gitu, aku sama Gina han—“
“Jangan bohong Daffa, jangan bohong!” teriak Zahra kuat. Beberapa orang yang ada di sana kini melihat mereka dan mulai ingin tahu apa yang terjadi. Meisya datang dan berdiri di samping Zahra.
“Zahra, lo harus tenang. Semua orang ngelihatin kalian,” kata Meisya berusaha menenangkan. Daffa terkejut melihat Meisya juga ada di sana.
“Biarin aja semua orang tahu apa yang udah dilakukan mereka!” desis Zahra. “Jawab aku Daffa, ini alasan kamu berubah? Kamu masih cinta sama mantan kamu ini? Setelah apa yang udah kita lalui selama dua tahun belakangan ini? Perjuangan aku buat hubungan kita, harapan dan rencana yang udah kita pikirkan ke depan. Bahkan kamu juga udah janji mau nikahin aku sama Papa, tapi kamu di belakang aku balikan sama Gina?” tanya Zahra lagi membuat Daffa mengusap wajahnya kasar.
“Lo harus terima kenyataan kalau Daffa masih cinta sama gue. Kita putus bukan karena keinginan kita, sekarang gue udah kembali. Jadi kita bisa kembali bersama, jadi tolong jangan tahan dan tekan Daffa seperti ini. Biarkan Daffa bahagia sama gue,” kata Gina pada Zahra membuat wanita itu tertawa mengejek.
“Aku minta maaf, aku salah. Aku seharusnya jujur sama kamu,” jawab Daffa akhirnya. Zahra menampar pipi Daffa membuat Gina menjerit.
“Lo gila ya?” teriak Gina.
“Lo yang gila! Kalau lo jadi gue gimana? Apa lo nggak sakit?” tanya Zahra marah. “Jadi benarkan ini yang buat kamu berubah sama aku? Padahal kamu tahu gimana berjuangnya aku untuk hubungan kita. Dimulai dari Papa yang nggak suka sama kamu, tapi aku berusaha meyakinkan Papa supaya mau menerima kamu! Gimana kamu yang udah janji sama Papa akan segera nikahin aku tapi balasan kamu ke aku kayak gini?” tanyanya marah.
“Aku minta maaf, aku dibuat bingung. Aku masih sayang sama Gina, tapi aku juga nggak mau lepasin kamu. Aku juga sayang sama kamu,” kata Zahra membuat wanita itu tertawa mengejek.
“Kamu pikir aku bakalan percaya? Emang kamu pikir bisa mencintai dua orang sekaligus? Aku benar-benar nggak habis pikir sama kamu. Kalau kamu emang masih cinta sama manta kamu, harusnya kamu jujur dan jangan buat aku berharap kayak gini. Kamu udah nyakiti aku namanya! Kamu benar-benar jahat! Aku benci sama kamu! Aku nggak akan pernah maafin kamu! Mulai dari sekarang jangan pernah hubungi aku lagi, hubungan kita berakhir! Kita putus! Aku nggak mau kenal sama kamu lagi!” teriak Zahra dengan keras. Sekeliling mereka akhirnya tahu apa yang terjadi di antara mereka. Setelah mengatakan itu Zahra langsung saja pergi dari sana. Meisya menampar pipi Daffa dengan tempat yang sama.
“Itu buat lo karena udah berani nyakiti sahabat gue, jangan sampai gue ngelihat muka lo lagi dihadapan Zahra. Gue bakalan balas perbuatan lo,” ancam Meisya.
Setelah mengatakan itu Meisya mengejar Zahra yang menuju parkiran. Meisya masuk ke dalam mobil yang tak dikunci dan duduk di kursi penumpang. Zahra sudah menangis dengan menelungkapkan wajahnya di setir mobil. Bahunya bergetar, mobil itu penuh dengan suara tangisan.
“Zahra, gue paham sama perasaan lo sekarang. Lo bisa lepasin semuanya di sini, gue minta maaf udah kasih tahu lo. Tapi sebagai sahabat yang baik gue harus kasih tahu, gue nggak mau lo disakiti sama cowok kayak Daffa. Lo pantas bahagia Zahra, jadi jangan mau nangis hanya untuk pria jahat kayak dia,” kata Meisya yang berusaha menghibur. Zahra mengusap air matanya dan menatap Meisya.
“Lo tahukan gimana perjuangan gue buat dia? Lo tahukan gimana gue ributnya sama Papa hanya supaya direstui? Lo tahu gimana Papa sama hubungan kitakan? Gue sayang sama Daffa Mei, gue berusaha untuk hubungan kita. Tapi kenapa dia sejahat itu sama gue? Apa salah gue? Apa kurangnya gue sampai Daffa lebih milih kembali sama mantannya? Orang lama tetap jadi pemenangnyakan Mei?” tanya Zahra masih dengan menangis.
“Lo nggak salah Zahra, lo juga nggak punya kekurangan yang menjadikan itu alasan untuk dia selingkuh di belakang lo. Gue juga sangat tahu gimana perjuangan lo, ini bukan salah lo. Dia aja yang nggak bersyukur sama lo, dia emang pria brenggsek. Dia nggak tahu diri, dia nggak pantas buat lo. Gue yakin kalau lo bisa dapatin yang lebih dari dia, masih banyak yang mau dan ngantri untuk bisa dekat sama lo Zahra,” kata Meisya.
Namun Zahra masih saja menangis, hatinya masih terasa sakit. Dua tahun bukanlah waktu yang singkat dengan segala perjuangan yang dilalui. Bahkan mereka juga sudah punya rencana untuk menikah namun langsung saja dihancurkan begitu saja. Meisya menarik Zahra dan memeluk sahabatnya itu dengan erat, Meisya mengusap punggung bergetar milik Zahra.
“Udah, jangan larut. Gue ada di sini buat lo, lupain perlahan oke?” bujuk Meisya. Namun Zahra masih saja menangis. Sampai akhirnya Meisya meringis kesakitan, membuat Zahra berhenti menangis dan menghapus air matanya dengan cepat.
“Lo kenapa? Ngerasa sakit lagi?” tanya Zahra panik. “Lo ngapain ke sini tadi kalau masih ngerasa nggak enak badan?” tanya Zahra marah.
“Gue lagi kepengen makan di sini, Mas Arhan belum pulang. Makanya gue datang sendirian,” jawab Meisya. Zahra menaikkan lengan baju milik Meisya karena memang wanita itu memakai tangan panjang.
“Kulit lo masih ruam kayak gini, lo udah minum obatnya belum?” tanya Zahra.
“Udah, tapi kepala gue sakit banget sekarang,” kata Meisya sambil memegang kepalanya. Zahra mengelus kepala Meisya, rambut pendek sebahu yang ditipis itu membuat Zahra meringisi. Rambut Meisya begitu panjang dan tebal dulu tapi kini rambut itu pendek dan tipis.
“Gue bawa lo ke rumah sakit sekarang,” kata Zahra sambil menghidupkan mobilnya.
Zahra menurunkan kursi milik Meisya lalu memakaikan sabuk pengaman untuk sahabatnya itu. Wanita itu mulai menjalankan mobilnya dan mencoba menghubungi Arhan, suami dari Meisya untuk memberitahu keadaan wanita itu.