Bagas dan Dea saat ini tengah duduk santai di ruang keluarga, televisi menyala dan memutarkan salah satu film Disney yang cukup terkenal.
Sepulangnya dari rumah sakit, mereka memilih langsung pulang ke rumah dan bersantai. Benar-benar santai.
Lengan Bagas ia taruh di pundaknya dan merangkul pundak wanita hamil itu, tak lupa keripik bawang menemani kegiatan menonton mereka.
"Assalamu'alaikum!"
Ucapan yang datang dari arah pintu itu pun membuat fokus Bagas dan Dea terpecah. Mereka menatap seorang wanita yang baru saja datang. Tampilannya sangat modis, memakai gaun ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya.
"Waalaikumsalam, Calya," jawab Bagas dan Dea bersaman.
Mereka pun beranjak dari tempat mereka dan menghampiri Calya.
"Gimana, De? Kayaknya kalian tambah dekat deh. Kamu udah hamil atau belum?" tanya Calya tanpa basa-basi.
Hati Dea bagai tertusuk sebuah duri, membuat sebuah lubang yang dalam di sana. Lama tak berkunjung, sekalinya berkunjung Kakaknya itu malah menanyakan pasal kehamilannya.
"Alhamdulillah, aku udah positif hamil, Kak. Baru aja tadi ke dokter kandungan," ucap Calya tetap sabar. Seulas senyum palsu ia hiaskan di wajahnya.
Kedua mata Calya tampak berbinar. "Baguslah kalau kamu sudah hamil. Ingat, jangan capek-capek, dan jaga pola makan kamu! Aku tidak ingin calon anakku bermasalah."
Ingin rasanya Dea berkata bahwa anak yang ia kandung adalah anaknya dan Bagas. Bukan anak Bagas dan Calya. Tetapi, ia bisa apa? Perjanjian konyol yang ia tanda tangani dulu merantai langkahnya.
Tatapan Calya kini beralih menatap Bagas, suaminya. "Gas, tadi Mama kamu datang ke rumah. Dia ajak kita buat makan malam di rumahnya malam ini. Katanya ada makan malam keluarga,."
Kedua alis Bagas pun saling bertautan. "Kok Mama gak telepon aku aja? Kenapa harus datang ke rumah?"
Calya mengendikkan bahunya sebagai jawaban atas ucapan Bagas. "Gak tahu, mungkin Mama kamu ngira kamu ada di rumah kali. Intinya itu aja, jangan lupa."
Kepala Bagas mengangguk kecil. "Iya, saya nanti pasti datang kok. Tenang aja, Cal."
Melihat Dea yang terus berdiri sedari tadi, Calya pun menghampiri wanita itu dan membawanya duduk di sofa. "Kamu tuh jangan berdiri terus, duduk aja. Aku gak mau kamu kecapekan dan buat anak aku jadi kenapa-napa."
Seulas senyum timbul di wajah Dea. Ia merasa sangat terharu atas perhatian yang diberikan oleh Calya kepadanya. Pasalnya, selama Calya dan Dea tinggal bersama baik saat orang tua mereka masih hidup maupun saat mati. Calya tak pernah menyayanginya.
Bahkan, wanita itu selalu cuek dan tak acuh pada Dea kecil. Calya selalu beranggapan bahwa Dea lah yang merenggut segala kasih sayang kedua orang tua mereka.
Padahal nyatanya Dea mendapat sedikit lebih kasih sayang hanya karena wanita itu mengalami gagal jantung sejak lahir. Hal itu pun membuat kedua orang tua Dea dan Calya khawatir atas keadaan Dea.
"Makasih, ya, Kak. Kakak udah perhatian sama aku," ucap Dea tulus.
"Jangan percaya diri dulu, Dea. Aku tuh khawatirkan anak aku saja, kebetulan kamu yang mengandung dia makanya aku bertanya pada kamu. Dan ingat, perjanjiannya akan tetap berlaku. Kamu akan menyerahkan bayi itu dan Bagas kembali padaku saat bayi itu lahir," peringat Calya tanpa belas kasihan.
"Calya! Jaga mulut mulut kamu, ya!" tegur Bagas yang kelihatan emosi.
"Apa? Kamu kenapa marah sama aku?! Kamu cinta sama dia, Gas? Awas aja kalau kamu sampai cinta sama dia, aku gak bakal ampunin kamu."
Ia pun beranjak dari duduknya dan berjalan keluar dari rumah. Suara pertemuan hak sepatunya dan lantai keramik rumah Dea cukup nyaring. Membuat keheningan di ruangan itu pecah.
"Ingat, datang malam ini. Aku tidak mau dihina oleh Mama dan keluarga kamu lagi," ucap Calya sebelum benar-benar keluar dari rumah Dea.
Hati Dea sangat pedih. Bagai ada sebilah pisau yang menusuknya, dalam dan semakin dalam. Air matanya perlahan berjatuhan dari pelupuk matanya, mengalir dengan bebas di kedua pipi putih Dea.
Melihat sang istri menangis, Bagas pun sontak merengkuh tubuh mungil Dea ke dalam pelukannya. Ia mencium pelipis wanita itu sangat lama.
"Jangan nangis. Air mata kamu itu sangat berharga, Dea," ucap Bagas. "Malam ini kamu ikut aku."
"Kemana?"
"Ke rumah Mama, saya bakal kenalin kamu ke keluarga saya." Bagas melepaskan pelukan mereka, ia menghapus sisa-sisa cairan bening yang ada di pipi Dea.
Kedua mata Dea sontak melotot, jantungnya hampir saja copot saat ini juga karena ucapan Bagas yang sangat di luar dugaannya.
"Kamu gila, ya, Kak?!" pekik Dea. Ia saat ini menatap maya Bagas dalam, mencari kebohongan di dalam sana.
Tetapi nihil, tak ada kebohongan sekecil apapun di sana. Dea pun menghela napas panjang dibuatnya.
"Saya gak gila, Dea. Saya serius ingin mengenalkan kamu ke Mama dan keluarga saya," ucap Bagas mantap.
"Aku gak bisa, Gas. Mama kamu pasti akan marah dan jantungan seketika karena mengetahui anaknya menikah kembali. Apalagi menikah dengan adik istri pertamanya."
"De, saya gak mungkin mau mengenalkan kamu sebagai istri kedua saya. Saya mau mengenalkan kamu sebagai adik ipar saya. Bagaimana pun, saya masih mencintai Calya, dan saya tidak bisa melepaskan dia. kalau Mama sampai tahu tentang kehamilan kamu, dia pasti akan menyuruhku menceraikan Calya," ucap Bagas.
Malu dan sakit. Itulah yang dirasakan oleh Dea saat ini. Bagas baru saja mengangkatnya ke awan-awan, kemudian ia melemparnya jatuh ke permukaan bumi. Sakit tentunya.
"Bagaimana, De?" tanya Bagas sekali lagi.
Kepala Dea pun mengangguk perlahan. Membuat Bagas tersenyum merekah dibuatnya. Ia pun memeluk tubuh Dea kembali dengan erat.
"Aku pasti akan merindukan kamu, Kak. Merindukan segala kasih sayang yang selalu kamu berikan kepadaku. Tapi, apa daya? Wanita malang ini hanyalah seorang istri kedua yang dinikahi secara siri, dan dijadikan tempat peminjaman rahim," gumam Dea.
"Jangan berkata begitu, De. Kamu penting, kamu berharga bahkan lebih dari emas dan segalanya," ucap Bagas kesal.
Kepala Dea menggeleng kecil. "Aku hanya berusaha berkata sesuai realita yang ada. Aku tidak mau terjebak dalam ilusi yang membuat aku terlena, hingga saat itu tiba aku akan merasakan sakit yang sangat dalam."
Tanpa aba-aba apapun, Bagas melepaskan pelukan mereka dan mengecup bibir Dea. Bukan kecupan biasa yang singkat, melainkan kecupan yang kian menuntut.
Dea yang sejak hamil menjadi gampang terpancing gairahnya pun membalas ciuman yang berubah menjadi lumatan tersebut.
Hingga, Dea merasakan tubuhnya melayang. Rupanya Bagas mengangkat tubuhnya hingga terduduk di atas meja makan. Tangan nakal Bagas pun kini melepaskan satu persatu pakaian yang membaluti tubuh Dea dan tubuhnya.
Suara desahan pun dilontarkan oleh Dea terus menerus, pasalnya suaminya terus saja menggerayangi tubuhnya. Memberikan sensasi geli dan nikmat bersamaan.
"Ahh."
Suara desahan erotis yang keluar dari bibir Dea membuat gairah Bagas kian meningkat, dan membangunkan sesuatu di bawah. Sesuatu yang keras nan panjang.
Hingga, berakhir dengan pergulatan panas di siang hari yang terik itu. Dengan hati-hati, Bagas menyatukan dirinya pada Dea, mengikis jarak di antara mereka berdua. Tenggelam dalam nikmatnya surga dunia yang halal.
***