Hari ini, Bagas dibuat frustasi oleh keadaan Dea yang sangat mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, pasalnya wanita itu terus sama muntah-muntah sedari pagi. Ditambah tubuhnya sangat lemas dan panas.
"Dea, kita ke dokter saja ya? Saya gak tahu apa-apa, saya takut bukannya tambah membaik tapi kamu malah tambah sakit," ajak Bagas.
Namun, pria itu tetap mendapatkan jawaban yang sama seperti beberapa menit yang lalu. Sebuah gelengan kepala dari Dea.
"Ta--"
Huekk.
Belum sempat Bagas menyelesaikan ucapannya, wanita itu kembali mengeluarkan isi perutnya di dalam wastafel dengan air yang mengalir. Walaupun tak ada apa pun yang keluar, hanya cairan bening saja.
Bagas yang tak tahu harus apa pun, hanya bisa mengusap tengkuk istrinya.
Tubuh Dea yang kian melemah pun membuat lututnya melemas, membuat tubuhnya merosot turun.
Dengan sigap Bagas menangkap tubuh sang istri dan menggendongnya ala bridal style menuju kamar mereka. Membaringkannya di atas kasur.
"Dea, jangan keras kepala. Kita ke dokter sekarang, ya? Kamu terus mual-mual, sementara dari pagi kamu belum makan apa-apa," ajak Bagas. Ia tak kunjung menyerah untuk mengajak wanita itu ke rumah sakit ataupun dokter.
Khawatir? Tentu saja. Bagas sangat mengkhawatirkan kondisi istri keduanya itu. Bagaimana pun, dua bulan terakhir ini, Dea yang selalu menemaninya.
Akhirnya karena tak kuat lagi dengan rasa lemas, dan perutnya yang serasa dikocok Dea pun menganggukkan kepalanya pasrah.
Tak membutuhkan waktu lama untuk Bagas menggendong tubuh ringkih istrinya dan membawanya masuk ke dalam mobil. Ia lalu menginjak pedal gas, membawa mobil tersebut menjauh dari pekarangan rumah mereka menuju rumah sakit terdekat.
Salah satu tangannya ia gunakan untuk mengelus surai lembut milik Dea. "Sabar, ya, Sayang."
Mobil Bagas pun berbelok masuk ke area parkiran rumah sakit, tampak banyak orang berlalu lalang. Ia pun memarkirkan mobilnya di salah satu tempat yang kosong.
"Kamu mau jalan atau aku gendong?" tanya Bagas.
"Aku bisa jalan kok, Gas." Dea menurunkan kakinya dan menjadikan pintu mobil sebagai pegangan untuk berdiri.
Bagas pun menangkap tangannya dan membantunya berdiri. Ia memapah wanita itu untuk berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Menuju ruangan dokter pribadi Bagas dan Calya.
"Sus, saya mau ketemu Dokter Vika. Beliau ada kan?" tanya Bagas sesampainya di depan ruangan dengan papan nama yang menggantung, bertuliskan "dr. Ravika."
"Ada, Pak. Kebetulan Dokter Vika-nya sedang tidak ada pasien. Bapak bisa langsung masuk saja," ucap perawat yang bertugas menemani Dokter Vika.
Ia membukakan pintu bercat putih tersebut lebar-lebar, mempersilakan Bagas dan Dea masuk ke dalam.
Objek pertama yang ditangkap oleh mata Bagas adalah seorang anaknya dengan rambut yang disanggul, dan jas berwarna putih yang pas ditubuhnya tengah duduk di sana.
"Selamat siang, Dok," sapa Bagas, membuat wanita tersebut menolehkan kepalanya.
"Eh, selamat siang juga, Pak Bagas. Silakan duduk dulu," ucap Dokter Vika saat melihat wajah Dea yang sangat pucat. "Ada apa, Pak?"
"Ini Istri kedua saya, Dea. Dia sedari pagi terus mual-mual dan badannya lemas juga sedikit hangat. Saya khawatir dia kenapa-napa, Dok," adu Bagas. Tangannya terus menggenggam jemari Dea, seolah jika lepas barang beberapa detik saja wanita itu akan hilang.
Kepala Dokter Vika pun naik-turun. Ia beranjak dari duduknya. "Silakan baring dulu, Bu. Biar saya bisa periksa."
Ia membantu Dea untuk naik ke atas ranjang bersprai putih tersebut. Stetoskop yang sedari tadi bertengger di lehernya pun ia pasang di telinganya. Bagian bell pada setoskop kini ia taruh di d**a Dea.
Cukup lama ia mengamati detak jantung Dea, kemudian ia meraih pergelangan tangan Dea dan mengecek denyut nadinya.
Tiba-tiba, seulas senyum ia sampirkan di wajah ayunya. Ia lalu melepaskan bagian eartips pada telinganya dan menenggerkannya kembali di lehernya.
"Jadi, istri saya kenapa, Dok?" tanya Bagas tak sabar.
"Selengkapnya kalian bisa cek di bagian spesialis kandungan. Namanya Dokter Ratna, dia rekan saya," pinta Dokter Vika.
Kening Bagas pun mengerut dan kedua alisnya saling bertautan. "Kenapa harus ke dokter kandungan? Memangnya ada masalah dengan rahim istri saya?"
"Ke sana aja, Pak. Nanti kalian bisa dapat jawabannya di sana," ucap Dokter Vika.
Dea pun dibantu turun dari kasur oleh Bagas, mereka berpamitan keluar dari ruangan Dokter Vika dan menuju dokter yang disebutkan olehnya.
Ruangan berpintu kayu tersebut pun Bagas ketuk sebanyak tiga kali.
"Masuk."
Sahutan dari dalam membuat Bagas membuka pintu tersebut, dan memapah Dea masuk ke dalam.
"Selama siang, Dok. Saya Bagas dan ini istri saya Dea. Kami ke sini karena mendapat rujukan dari Dokter Vika," ucap Bagas.
Wanita yang tampak lebih muda dari Dokter Vika itu pun tersenyum misterius, ia beranjak dari duduknya. "Silakan baring dulu, Bu. Biar saya periksa."
Dea menganggukkan kepalanya, ia lalu naik ke atas kasur tersebut dan berbaring di sana.
"Maaf saya buka sedikit, ya, Bu." Wanita itu menaikkan baju Dea sedikit ke atas, ia lalu mengambil botol ultrasonic gel yang berada tak jauh darinya.
Saat gel tersebut disapu ke atas perutnya yang masih rata, Dea merasakan dingin merasuki kulit perutnya.
Lalu, Dokter Ratna mengambil alat transducer dan meletakkannya di atas perut Dea. "Coba lihat layar di bawah sana."
Sontak Dea dan Bagas melirik monitor yang berada di bawah Dea. Monitor tersebut menampilkan gambar hitam putih, dengan sesuatu yang sangat kecil di dalam sana.
"I-iini... maksudnya apa, Dok?" tanya Bagas.
Ia berdiri mematung di sebelah Dea, menatap tak percaya layar di hadapannya itu.
"Selamat ya, Pak, Bu. Kalian sebentar lagi akan menjadi orang tua," ucap Dokter Ratna dengan senyum mengambang. "Lihat, bulatan kecil di sana itu adalah calon bayi kalian yang masih berusia empat minggu. Masih kecil dan butuh asupan yang banyak."
"Jadi, istri saya hamil, Dok?" tanya Bagas tak percaya.
Dokter Ratna menganggukkan kepalanya mantap sebagai jawaban. Ia pun membersihkan bekas gel pada perut Dea dan menurunkan kembali bajunya.
Ia mempersilakan kedua pasangan suami istri tersebut untuk kembali duduk di tempatnya.
"Sekali lagi selama, ya, Pak, Bu. Untuk masalah mual-mual yang tengah dialami oleh Ibu Dea, itu murni karena kehamilannya. Saya akan tuliskan resep untuk Ibu Dea, semoga bisa mengurangi mual-mualnya, ya."
Bagas pun memeluk tubuh Dea erat, tanpa sadar air matanya jatuh dari pelupuk matanya. Bukan air mata kesedihan, tetapi air mata kebahagiaan.
Hal yang selama lima tahun ia nantikan dari Calya, dengan mudahnya ia dapatkan dari istri keduanya, Dea. Tentu saja ia terharu, karena di dalam rahim Dea tengah hidup calon anaknya.
"Kandungannya di jaga baik-baik, ya, Bu. Karena ini masih trisemester pertama, jadi masih rentan. Pola makannya dijaga, karena sekarang sudah ada bayi di dalam kandungan Anda," pesan Dokter Ratna.
"Iya, Dok. Terima kasih, ya," ucap Dea senang.
"Oh iya, Dok. Saya mau tanya boleh?" celetuk Bagas.
"Boleh, Pak. Silakan bertanya apa saja." Senyumannya tak pudar dari wajahnya.
Awalnya Bagas terlihat ragu tuk bertanya, tetapi akhirnya pertanyaan itu pun keluar dari bibirnya. "Dok, kalau berhubungan saat hamil boleh kan?"
Kedua mata Dea sontak melotot dibuatnya, ia mencubit pinggang Bagas pelan. "Kak, jangan buat malu deh."
"Gak apa-apa, Bu. Ini sudah menjadi pertanyaan yang umum kok. Untuk berhubungan saat hamil itu boleh-boleh saja, apalagi saat sudah hamil tua. Bisa mempermudah jalan lahir. Tapi, untum trisemester awal ini mohon jangan terlalu sering dan kasar, ya. Jangan dikeluarin di dalam juga."
Bagas pun menyengir dan menganggukkan kepalanya.
***
Gimana nih? Seru gak? Kalau seru jangan lupa tap love, ya, biar kalian bisa terus baca!