Keirian Yang Bersarang

1182 Kata
“Ayo, Dea. Jangan lama-lama, kita sudah hampir terlambat,” seru Bagas yang kini tengah berada di depan pintu menunggu Dea. Lengkap dengan kemeja putih dan celana jeans berwarna hitam miliknya. Tak lama kemudian, Dea pun tampak keluar dengan sedikit berlari. Penampilan Dea yang sangat cantik malam ini membuat Bagas tercengang kagum. Bagaimana tidak, Dea saat ini tengah memakai gaun selutut berwarna peach dan menampilkan lekuk tubuhnya. “Hey, ayo! Katanya tadi buru-buru, udah mau terlambat,” ajak Dea. Bagas berdiri mematung dibuatnya, hingga ia tersadar dan tersentak kecil saat Dea menepuk pundaknya. “Eh, iya. Ayo kita ke mobil.” Tangannya Bagas mengambil jemari Dea, mengaitkan jemari mereka satu sama lain. Ia membawa istrinya menuju mobil dan membukakan pintu mobil untuk Dea. Dea pun masuk dengan hati-hati, lalu menutup kembali pintu mobilnya dengan sedikit keras. Bagas lalu beralih masuk ke jok kemudi dan menyalakan mesin mobil, menginjak pedal rem hingga mobil tersebut melaju meninggalkan pelantara rumah mereka. “Kita jemput Calya dulu, ya, di rumah,” ucap Bagas sambil sesekali melirik Dea dengan ekor matanya. “Iya, Kak. Kan gak lucu juga kalau kita datangnya terpisah sama Kak Calya. Bisa-bisa Mama Kakak curiga kan.” Dea kembali memaksakan seulas senyum di bibir tipisnya. Membuat Bagas menjadi gemas dan tangannya tanpa sadar terulur untuk mengacak-acak rambut sang istri. Membuat bibir Dea mengerucut beberapa centimeter ke depan. “Kak Bagas ih! Aku kan udah capek-capek rapihkan rambut aku, kamu malah dengan gampangnya acak-acakin!” ujar Dea sebal. Tangannya kini sudah berada di atas kepala, memperbaiki tata letak rambutnya yang berantakan. “Lagian, kamu lucu sih kalau gitu. Jangan mancing makanya,” ucap Bagas gemas. Ia kemudian menginjak pedal rem dan memarkirkan mobilnya tepat di depan rumahnya dan Calya. Membunyikan klakson beberapa kali, cukup membuat pagar besi tersebut terbuka menampilkan sosok Calya dengan mengenakan pakaian seksi tentunya. Ia pun berjalan menghampiri pintu bagian depan, membukanya dan sedikit terkejut dengan kehadiran Dea. “Dia ikut juga?” Kedua alisnya yang telah digambar hingga tebal itu saling bertautan. “Iya, tapi tenang aja. Nanti Dea di sana saya kenalin sebagai adik kamu, bukan istri saya,” ucap Bagas tenang. “Masuk cepat!” “Aku gak mau duduk di belakang! Tempatku kan harusnya di depan, karena aku istri sah kamu dan istri pertama kamu. Lagian kalau Mama liat aku di belakang, apa yang akan dia pikir?” tolak Calya, ia tampak angkuh dengan mengangkat wajahnya. Merasa dirinya lebih rendah daripada Calya, Dea pun memilih keluar dari mobil. “Biar aku aja yang duduk di belakang, Kak.” Tangannya menggenggam erat handle pintu, menguatkan hatinya dan berusaha membisikkan kenyataan. Bahwasanya tempatnya memang layak di belakang. “Baguslah kalau sadar diri,” ucap Calya sesaat sebelum menutup pintu bagian depan dengan sedikit keras. Dea pun ikut masuk, dan menutup kembali pintu tersebut. Bagas yang bisa menangkap ekspresi sedih di balik senyuman Dea pun menjadi iba. Ia ingin memeluk wanita itu saat ini juga dan membisikkan kata-kata penguat, tetapi tak bisa. Ia tak ingin menyakiti hati Calya. “Kita jalan sekarang, ya,” ucap Bagas. Ia lalu kembali menyalakan mesin mobil dan mulai menginjak pedal rem. Membawa mobil itu membelah jalanan kota Jakarta yang cukup ramai malam itu. Hanya ada keheningan seraya ditemani suara klakson dari mobil-mobil yang melintas di dalam mobil Bagas. Tak ada yang berniat atau berani memecahkan keheningan tersebut, membuat suasana canggung yang sangat tak disukai oleh Dea. Rumah kedua orang tua Bagas terletak di sebuah perumahan mewah. Membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk sampai ke sana. Kadang, rumah itu hanya sebagai pajangan saja karena kedua orang tua Bagas sangat sering berpergian untuk perjalanan bisnis. Hingga, setelah kurang lebih satu jam terjebak dalam kemacetan panjang, mobil mereka kini memasuki pelataran rumah yang cukup mewah. Bahkan membuat Dea tercengang. Desain rumahnya sangat terlihat berkelas, dengan sentuhan gaya Eropa yang kental. Bagas pun keluar dari mobil, diikuti oleh kedua istrinya. Awalnya, Bagas berniat membukakan pintu untuk Dea, tetapi wanita itu sudah terlebih dahulu keluar mendahuluinya sebelum tangannya sempat mendarat di gagang pintu. “Kemarikan tanganmu!” pinta Calya, ia manarik tangan suaminya dan memeluknya erat. Layaknya pasangan romantis yang dimabuk cinta. Dea pun hanya bisa pasrah dan mengikutinya dari belakang. Statusnya yang disembunyikan membuatnya kian merasa iri dengan sang Kakak, ia jua ingin memeluk lengan besar Bagas dan berjalan masuk ke dalam bersama-sama. “UNCLE BAGAS!” Baru saja mereka bertiga masuk, Bagas sudah disambut oleh teriakan keponakannya perempuannya yang berusia tiga tahun. Gadis kecil berpipi gembul itu pun berlari menghampiri Bagas. Dengan sigap Bagas mengangkat tubuh mungilnya dan menggendongnya. “Halo, Ayi. Tambah gembul ya kamu, perasaan terakhir ketemu gak segembul ini pipinya,” ucap Bagas seraya terus menghujami wajah Ayi dengan ciuman-ciuman singkat. “Iya dong, Uncle. Kata Bunda kalau Ayi gembul artinya Ayi sehat.” Deretan gigi putih dan bersih miliknya ia pamerkan kepada Bagas. Membuat pria itu bertambah gemas. “Ayi, kebiasaan deh. Uncle Bagasnya kan baru aja sampai, jangan langsung minta gendong dong, Nak.” Seorang wanita yang tampak lebih tua dari Bagas berjalan menghampiri mereka. Dea seketika terpukau dengan penampilan wanita itu yang layaknya Miss Universe. Bagas pun mengalihkan pandangannya dan seketika menurunkan Ayi kembali. “Kakak kapan datang dari Belanda? Lumayan lama ya kita gak ketemu.” Ia memeluk Kakaknya dengan erat, saling melepaskan rasa rindu yang bersarang di d**a. “Iya nih, Kakak Ipar kamu itu baru bisa ambil cuti sekarang. Soalnya lagi sibuk-sibuknya kan.” Wanita itu kemudian menghampiri Calya dan saling bercipika-cipiki. Hingga ia berhenti seraya menatap Dea bingung. “Dia siapa, Gas?” “Oh, dia Dea, Kak. Adiknya Calya, kebetulan lagi nginap di rumah jadi kita ajak aja sekalian di sini, kan dia keluarga kita juga,” dusta Bagas. Wanita itu pun hanya beroh ria seraya membulatkan mulutnya, ia pun menghampiri Dea dan mengulurkan tangannya. “Calista, Kakaknya Bagas. Salam kenal, ya, Cantik.” Dengan segan Dea membalas jabatan tangan Calista. “Salam kenal juga, Kak. Aku Dea, adiknya Kak Calya.” “Cantik ya, mirip Calya banget ini mah.” Suara langkah kaki kembali terdengar, membuat mereka menoleh ke arah datangnya suara. Tampak seorang wanita paruh baya menghirup mereka dengan tatapan tajam. “Mama,” gumam Bagas yang sedikit takut. Kepalanya masih belum bisa melupakan saat di mana ia membentak wanita yang telah melahirkannya itu. “Kalian sudah datang juga ternyata.” Tatapan Ibu Bagas beralih ke arah Dea, membuat wanita itu menyunggingkan senyum segan dan menundukkan kepalanya. “Ini Dea kan? Adiknya Calya yang cantik itu.” Tak bisa ditebak, respon Ibu Bagas kepada Dea sangat baik, ia bahkan memeluk tubuh Dea dan mengelus surai lembut wanita itu. “Gimana kabar kamu? Tambah cantik ya sekarang.” “Alhamdulillah, baik Tante. Tante gimana kabarnya?” tanya Dea yang berusaha menetralkan ekspresi terkejutnya. “Gak usah panggil Tante ah, panggil Mama aja kayak Bagas dan yang lain. Kamu kan udah Tante anggap sebagai anak Tante juga. Coba Tante punya anak laki-laki lagi, pasti udah Tante nikahin sama kamu,” gurau Ibu Bagas. Membuat mereka tertawa bersama. Akhirnya, Mama Bagas pun mengajak Dea untuk duduk di sofa bersama yang lainnya. Saling bercengkrama dengan kedua orang tua Bagas. Tak ada yang tahu bahwa Calya menyimpan iri kepada Dea. Ia merasa hatinya saat ini sangat dongkol dibuatnya, Dea bagai pemeran utama di rumah ini. Sementara dia, tak dipedulikan sama sekali oleh Mertuanya. “Harusnya kan aku yang digituin sama Mama! Aku memantunya yang sah, bukan Dea!” batin Calya kesal. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN