04 : Reuni, Katanya ...

1782 Kata
“Ras, bisa bantu Abang nggak?” Raras mengalihkan pandangan dari Mackbook-nya, mengerutkan kening menatap Radhi. “Bantu apa, Bang?” “Ajak Al dan El nongkrong di cafe, nanti Abang yang bayar. Syaratnya Nakia harus ikut juga.” “Jadi, sebenarnya Abang mau ketemu sama si kembar atau ketemu sama Mbak Kia?” Radhi berdehem pelan. “Nakia, tapi kalau Abang terang-terangan minta ngobrol berduaan dia pasti nolak. Makanya Al dan El dijadikan alasan, perantaranya lewat kamu.” “Kasihannya Abang ...” Raras tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala. “Ya udah, Raras coba chat Al dulu, ya. Semoga aja si kembar nggak ada kegiatan besok.” “Makasih banyak, Dek,” ucap Radhi tersenyum. Tangannya terangkat mengacak-acak rambut Raras, sementara si empu rambut langsung memasang ekspresi cemberut. Raden Ajeng Kaniraras Widyawira adalah adik Radhi satu-satunya. Bulan lalu usianya genap 19 tahun. Raras sedang mengenyam pendidikan di salah satu universitas yang ada di kota mereka, mengambil jurusan bisnis dan manajemen, semester tiga. Kebanyakan keluarga pebisnis pasti mengandalkan anak laki-laki sebagai pewaris. Namun, keluarga Wira berbeda. Baik ayah maupun bunda tidak pernah menuntut Radhi untuk hidup sesuai aturan mereka. Saat Radhi memutuskan menjadi dokter, kedua orang tuanya justru mendukung penuh mimpi Radhi. Tidak ada pertentangan sama sekali. Raras pun sama. Dia memilih manajemen bisnis sesuai minat dan kemauan, tanpa ada unsur paksaan. Terlepas dari siapa pun yang akan jadi penerus kelak, ayah mereka hanya ingin mereka hidup tanpa penyesalan. Asalkan mau bertanggungjawab terhadap apa yang mereka pilih, juga tidak menyalahi norma dan aturan, maka itu sudah cukup. Kedua orang tua Radhi adalah korban perjodohan. Mereka termasuk salah satu dari sekian banyak pasangan nikah paksa yang berakhir saling mencintai. Itu takdir yang bagus, tetapi tidak untuk diulangi untuk yang kedua kali. Maksudnya, baik Radhi maupun Raras tidak akan pernah dijodohkan sekalipun mereka memiliki kandidat menantu idaman. Keberuntungan tidak datang dua kali. Nasib setiap orang berbeda-beda. Happy ending di orang tua Radhi, belum tentu happy ending di kehidupan Radhi dan Raras. Makanya ada istilah lebih baik mencegah sebelum hal itu terjadi. “Mbak Kia makin cantik ya, Bang? Pasti di Aussie mantannya banyak.” “Kata siapa? Jangan sok menduga-duga, Ras. Dia di sana kuliah, bukan untuk tebar pesona.” “Dih, nge-gas. Santai aja kali. Kalo jutek gitu jadi keliatan banget kayak orang yang move on.” Sontak Radhi menjitak kening Raras. “Maksud Abang nggak boleh sembarangan menyimpulkan. Kalau Nakia dengar, dia pasti marah. Kesannya jadi kayak playgirl.” Kemudian Radhi memilih rebahan di sofa, sementara Raras anteng di kursi belajarnya. “Optimis aja dia belajar giat, nggak sempat mikir soal cinta-cintaan. Sama kayak Abang.” “Itu mah Abang cuma berusaha ngeyakinin diri sendiri, alias denial. Faktanya bisa jadi yang Raras bilang tadi bener. Di IG Mbak Kia aja ada foto dia bareng beberapa cowok. Mana ganteng-ganteng lagi. Spek Hero Fiennes-Tiffin sama Dylan Sprouse.” “Siapa, tuh? Masih gantengan Abang, kan?” “Pede banget! Mending Abang cari foto mereka, terus bandingin sama muka Abang di depan kaca.” Raras memeletkan lidah, lalu mengubah posisi duduk jadi membelakangi Radhi. Hilang sudah minat belajarnya gara-gara diganggu, padahal biasanya Radhi tidak pernah seperti ini. Efek satu tempat kerja dengan mantan, segalanya jadi tidak sama seperti sebelumnya lagi. “Gimana? Udah ada balasan dari Al, nggak?” “Belum. Kayaknya Al lagi main game.” “Kok tau? Kamu pacaran sama Al? Lebih baik jangan, Ras. Nggak boleh, apalagi dia dua tahun di bawah kamu.” “Astaga!” Raras menepuk keningnya pelan, menoleh dengan cepat. “Abang ngomong apa, sih? Kenapa tiba-tiba bilang kami pacaran? Di mana letak pacarannya kalau ketemuan aja jarang?” “Nggak, ya? Syukurlah.” Diam-diam Radhi menghela napas lega, setelah itu dia bangkit sambil berusaha menampilkan gestur tenang—menyugar rambutnya. “Kalo gitu lanjut aja belajarnya. Nanti beritahu Abang apa jawaban Al.” Raras merotasikan mata. Saat Radhi bersiap akan menepuk puncak kepalanya, dengan tangkas Raras menepis pergelangan Radhi. “Cepetan keluar! Mandi. Abang bau.” “Bau-bau gini masih banyak yang suka. Tinggal Abang senyumin dikit, yang liat langsung klepek-klepek.” “Huekkk!” Raras menirukan suara orang muntah, kepalanya langsung geleng-geleng. “Dasar bujang lapuk gagal move on!” Radhi yang bersiap meninggalkan kamar jadi mengurungkan langkah. Dia berbalik, kemudian memiting leher Raras dengan tangan kanan. Tidak terlalu kuat, tetapi cukup membuat gadis itu menjerit. “AYAH, TOLONG! BANG RADHI JAHILIN AKU!” Tawa puas Radhi terdengar menggema di kamar adiknya. Di balik sosok yang ramah di tempat kerja, nyatanya Radhi seperti kakak pada umumnya. Suka iseng pada adiknya. *** Harusnya Nakia curiga saat Al dan El tiba-tiba memintanya ikut serta nongkrong di cafe bersama mereka. Tidak ada sejarah si kembar setelah beranjak remaja mau ke mana-mana dibuntuti sang kakak. Alasannya malu, terlebih takut bertemu teman sekolah dan mereka akan disangka pacaran. Al dan El anti kehilangan gebetan, sekalipun kenyataannya status Nakia adalah kakak kandung mereka. Singkatnya kecurigaan Nakia berdasar. Setibanya di cafe yang dimaksud, Radhi, Raras, serta James sudah menunggu di salah satu meja. Mereka menyapa Nakia, lalu ber-tos ria dengan si kembar. Sebuah perkumpulan yang tidak terduga, di mana Radhi paling dewasa di antaranya. Pria itu tersenyum tipis saat bersitatap dengan Nakia, kemudian membuka percakapan setelah masing-masing dari mereka sudah mendapat tempat duduk. “Kita kumpul-kumpul sekarang dalam rangka merayakan hari ulang tahun Raras, sekaligus menyambut kepulangan Mbak Kia.” Raras merotasikan mata, meskipun begitu dia tidak meralat. Terserah abangnya saja, yang penting abangnya senang dan perut Raras kenyang. “Eh? Bukannya udah, Bang?” James menatap kebingungan. Pasalnya bulan lalu acara ulang tahun itu berlangsung meriah, meskipun yang diundang hanya keluarga, kerabat, dan teman terdekat Raras. “Memang udah, tapi Mbak Kia ‘kan waktu itu nggak ada.” “Berarti sekarang nggak perlu kasih kado lagi?” “Nggak perlu. Kak James cuma perlu pilih menu apa yang mau dipesan. Banyak juga nggak pa-pa, dompet Bang Radhi ‘kan tebel,” kata Raras. Al dan El mulai memahami situasi. Setelah saling melempar tatapan penuh siasat, Al menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. “Gimana kalau Bang Radhi sama Mbak Kia pindah ke meja lain aja? Di sini khusus buat anak muda, orang dewasa dilarang nimbrung takutnya nggak nyambung sama obrolan kita.” “Jangan asal nyimpulin, Al. Mbak cuma beberapa tahun di atas kalian,” sela Nakia sewot. Pertama-tama, dia tidak mau hanya berduaan dengan Radhi. Kedua, dewasa yang Al maksud kesannya seperti tua. Kalau Radhi yang dibilang demikian, maka cocok-cocok saja. Nakia tidak, dia bahkan baru 25 tahun. “Udahlah, Mbak. Mending kalian reunian. Apa nggak ada gitu yang mau diomongin? Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar, lho.” Sialan! Nakia ingin melempar tisu beserta tempat-tempatnya ke wajah El. “Apa boleh buat kalau kalian maunya begitu. Yuk, ke meja pojok sana, Ki,” ajak Radhi tanpa beban. Karena yang lain menunggu jawaban dengan wajah penuh harap, Nakia langsung mengembuskan napas berat kemudian mengangguk dengan enggan. “Iya, Do—Bang,” ujarnya. *** Sepanjang jalan Nakia menggigit bibir bawah, bagaimana tidak, Al dan El memilih kabur bersama Raras dan James. Entah ke mana perginya mereka, Nakia tidak tahu. Intinya dia ditinggal berduaan dengan Radhi, parahnya lagi pria itu yang mengantar Nakia pulang. Sejak beberapa menit lalu hanya keheningan yang melingkupi mereka, karena Radhi tidak punya inisiatif memulai pembicaraan, maka Nakia yang lebih dulu mengambil tindakan. “Minggu depan ibu sama tante ada janji ke salon bareng. Saya diajak juga.” “Terus kamu setuju?” tanya Radhi melirik sekilas. “Ki, tolong ngomongnya jangan pakai saya. Kayak kita yang biasa aja. Kakunya cukup di tempat kerja.” “Biasa tuh yang gimana, Bang?” Radhi menoleh lagi, kali ini menatap tepat di mata Nakia. “Mau diingatkan?” “Nggak, nggak perlu. Aku nggak lupa, kok,” kekehnya. Tadi Nakia cuma bercanda, eh ternyata Radhi menjawab dengan serius. Memang seharusnya masa lalu itu ditinggalkan, bukan dibawa-bawa. Apalagi mereka sudah berdamai—menurut Nakia. “Jadi, di Australia kamu kuliah sambil kerja atau gimana?” “Enggak, kuliah dulu baru kerja. Awalnya ‘kan cuma magang biasa, tapi nggak nyangka setelah selesai Ners langsung diterima di sana.” “Lingkungan kerjanya enak?” “Enak, lumayan bikin betah meskipun ada beberapa hal yang nggak cocok sama aku. Abang tau? Meskipun udah lama di sana, tapi aku belum sepenuhnya terbiasa. Bukannya nggak mau mencoba terbiasa, tapi memang nggak pengin aja.” “Apa contohnya? Coba kutebak, alkohol dan ... semacamnya?” “Big no!” Sontak kening Radhi mengerut. “Itu berarti kamu udah terbiasa sama alkohol?” “No comment.” Radhi menurunkan kecepatan laju mobil, kemudian berhenti saat lampu merah. Sambil menunggu berubah jadi hijau, dia tenggelam dalam pikirannya sendiri memikirkan percakapan mereka tadi. Tidak mungkin, kan? Radhi tahu Nakia punya rasa penasaran yang tinggi, tetapi dia pasti punya batasan. Tidak mudah juga terjerumus oleh pergaulan. “Ceritain soal Abang dong, jangan cuma bisa tanya-tanyain aku aja.” “Apa yang harus kuceritakan? Tidak ada yang menarik.” “Masa? Waktu kuliah gimana? Pasti ada satu atau dua kenangan menyenangkan.” “Satu-satunya kenangan menyenangkan di kepalaku cuma masa-masa kita pacaran dulu.” Nakia nyaris tersedak ludah mendengarnya. Tidak ada angin, tidak ada hujan, Radhi membawa petir yang menyambar langsung tenggorokan Nakia. Memang ya, di saat diri sendiri menghindari, yang lain malah mengungkit tanpa beban. “Masa? Sama mantan-mantan lain juga pasti ada. Secara ... Abang ‘kan ganteng, style-nya keren lagi.” Untuk ke sekian kali Radhi menatap Nakia, lebih intens dan lebih lama. Satu-satunya yang memutus kontak itu hanya deru klakson dari mobil yang ada di belakang mereka. Radhi memilih kembali melajukan mobil daripada menjawab kata-kata Nakia. Dia enggan diketahui gagal move on, sikap profesional di tempat kerja akan hancur begitu saja kalau Radhi sampai memperlihatkan sisi menyedihkannya di depan Nakia. Sepuluh menit kemudian mobil Radhi berhenti di depan rumah Nakia. Satpam yang berjaga sudah siaga membuka pagar, tetapi Radhi enggan masuk saat Nakia memintanya masuk. Untuk saat ini cukup sampai di sini. Di lain waktu Radhi pastikan akan lebih dari ini. Misalnya dia bertamu dan menyapa langsung orang tua Nakia. “Makasih banyak, Abang. Hati-hati nyetirnya, jangan ngebut.” “Sama-sama. Iya, Ki.” Setelah melepas sabuk pengaman, Nakia nyaris membuka pintu mobil, tetapi gerakannya terhenti oleh pertanyaan Radhi, “Gimana soal gandengan yang kamu bicarakan dulu?” “Apanya?” Nakia balik bertanya, melirik lewat bahunya. “Udah lupa, ya? Nggak pa-pa, lanjut aja.” Sambil mengerutkan kening, Nakia menuruti kata-kata Radhi. Dia keluar, kemudian melambaikan tangan. Saat berada di halaman rumah, mendadak Nakia menghentikan langkah. Oh iya! Dulu dia pernah bilang, beda negara harus beda gandengan. Makanya LDR tidak bisa dijadikan pilihan ... ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN