05 : Si Penggoda

1750 Kata
“Hm, i miss you so bad ...” Nakia menoleh saat merasakan sentuhan ringan di bahunya. Sontak dia tersenyum, kemudian menjauhkan ponsel dari kuping agar si penelepon tidak mendengar percakapannya dengan pria yang berdiri di depannya saat ini. “Maaf, tunggu sebentar ya, Dok. Saya selesaikan ini dulu.” “Tidak apa-apa. Saya akan duduk di sana,” tunjuknya ke arah kursi dekat kaca. Nakia mengangguk sekali, tatapannya mengikuti kepergian Zachary. Untuk sesaat dia termangu, pasalnya pria itu ... tidak bercela. Ya, Nakia tahu ini adalah pertemuan kedua mereka, tetapi dia tidak bisa menahan diri untuk tidak terpesona. Itu hal yang wajar, kan? Maksudnya mengagumi sesuatu yang memanjakan mata. Tidak hanya dokter anak yang luar biasa, kabarnya Zachary masih single. 35 tahun belum ada pasangan? Sungguh fakta yang mengejutkan! Di satu sisi dewi batin Nakia berteriak kesenangan, di sisi lain dia dibuat bertanya-tanya; apa itu normal untuk ukuran orang Indonesia? Ada dua jawaban yang bisa dijadikan pegangan. Pertama, menyembunyikan hubungan se-privat mungkin sampai pada batas waktu yang ditentukan. Kedua, tidak berminat pada lawan jenis. Nakia tidak akan kaget kalau jawaban kedua adalah faktanya. Dia tinggal lama di luar negeri, banyak pasangan sesama jenis yang berseliweran di sekitarnya. Bahkan teman Nakia sendiri termasuk kaum itu, tetapi dia bukan pendukung. Berteman bukan berarti setuju, bukan juga open minded. Nakia hanya tidak peduli dengan orientasi seksual mereka. Bukan ranahnya mengurusi kehidupan orang lain. “Sya? Meishya? Are you still there?” Nakia langsung tersadar. Buru-buru dia mendekatkan ponsel ke telinga, lalu menjawab, “Yes! Yes, of course!” Di Aussie Nakia dipanggil Meishya atau Sya, dan entah kenapa Nakia menyukainya. Nama Nakia jadi terdengar seksi saat mereka mengucapkannya. Mungkin karena aksennya. “I will call you later, ok? Bye, Chris! Love you ...” “Can’t wait! Bye, Sya. Love you too ...” Panggilan berakhir, Nakia menyimpan ponsel dalam kantong seragamnya lalu bergegas menyusul Zachary. Pria itu menyesap kopi sambil menikmati pemandangan di bawah sana. Jujur saja Nakia jarang menunjukkan ketertarikan pada lawan jenis, karena biasanya mereka yang memulai lebih dulu. Terkecuali untuk yang satu ini. “Lama ya, Dok? Maafkan saya.” “Tidak sama sekali,” geleng Zachary setelah menoleh, dia lalu menyodorkan gelas kopi yang sengaja dipesan untuk Nakia. Seperti janjinya terakhir kali, Zachary akan mentraktir perempuan di depannya ini. “Mungkin tidak sedingin tadi. Esnya sudah mencair.” “Nggak pa-pa, makasih banyak,” ucapnya tersenyum. “Sama-sama, ... Nakia. Boleh saya memanggilmu begitu? Seperti yang lainnya?” “Tentu saja boleh, itu memang nama saya.” “Good! Ah, saya benci canggung di awal-awal perkenalan. Bisakah kita bicara santai seperti teman lama?” “Terserah Dokter, saya akan mengimbangi.” Sudut bibir Zachary mengembang dan lesung di kedua pipinya muncul. Ya Tuhan! Andai sebuah senyuman bisa membunuh seseorang, pasti Nakia sudah terkapar mati sekarang. Daya pikat Zachary tidak hanya terletak di wajah dan tubuh, tetapi senyumannya juga. Itu sungguh kombinasi yang membunuh. “Bagaimana suasana UGD rumah sakit ini? Sudah bisa beradaptasi?” “Seperti yang Dokter tau, super sibuk dan menegangkan. Mungkin karena di Aussie nggak jauh berbeda, problem saya cuma di orang-orangnya saja.” “Seburuk itu?” “Bukan, lebih tepatnya ... bikin nggak nyaman. Sedikit.” “Apa saya termasuk salah satunya?” “Kalo saya bilang iya, apa Dokter akan marah?” “Tidak. Saya terima kejujuran dalam bentuk apa pun, hanya saja ... jawabanmu agak mengagetkan.” Sontak Nakia tertawa, tawa lepas tentunya. Ternyata Zachary tipe yang serius dan tidak bisa menangkap tanda-tanda bercanda dari lawan bicaranya. “Dokter jangan khawatir, yang saya bilang nggak benar, kok. Mana bisa dianggap nggak nyaman, sementara saya bisa seleluasa ini di depan Dokter.” “Oh, syukurlah. Saya nyaris menyesal karena lancang mengajakmu mengobrol berduaan sambil minum kopi.” “Justru saya berterimakasih, jam istirahat saya jadi menyenangkan berkat Dokter Zachary.” “Zach saja,” ralatnya. “Sama-sama, ... Nakia.” Tidak terasa belasan menit sudah berlalu. Segelas frappe yang Nakia sesap sudah tandas, begitu juga kopi Zachary. Keduanya memutuskan kembali ke unit masing-masing karena jam istirahat nyaris berakhir. “Kalau tidak keberatan, boleh saya minta nomor w******p-mu, Nakia?” Nakia kaget mendengarnya. Tanpa pikir panjang dia mengangguk, sambil menggigit bibir bawah karena berusaha menyembunyikan senyum. Sat-set sekali dokter di sampingnya ini, tetapi Nakia tidak mau besar kepala. Siapa tahu tujuan Zachary hanya ingin berteman dan mempermudah jalur komunikasi di antara mereka. “Kosong delapan ...” Dan seterusnya Nakia sebutkan sampai selesai. Bertepatan dengan itu denting lift berbunyi, Zachary tiba lebih dulu di lantai tujuannya, otomatis pertemuan singkat mereka selesai untuk hari ini. “Senang menghabiskan waktu denganmu. Lain kali kita harus bertemu lagi, Nakia.” “Pasti. Karena saya perempuan, tentunya menunggu ajakan selanjutnya dari Dokter Zach.” Zachary tertawa, matanya sampai membentuk bulan sabit. Uh, Nakia senang bisa membuat pria itu terhibur. “Karena kita sudah berteman, saya pastikan nanti akan menghubungimu.” Dia menggoyangkan ponsel, setelahnya beranjak keluar. Nakia kira hanya dia yang berada di dalam lift, tetapi tidak lama kemudian pintu kembali terbuka, dua orang masuk beriringan. Radhi dan ... Khamini. Sepertinya baru dari poli spesialis anak. Saat mata keduanya bertemu, Nakia tersenyum sebagai bentuk sapaan. Balasan Radhi hanya berupa anggukan, lalu dia kembali fokus pada Khamini. Sepertinya mereka terlibat pembicaraan yang menyenangkan. “Kau bilang suka memasak? Kebetulan aku suka makan.” “Lebih spesifik lagi, Dokter Radhi suka makanan apa? Siapa tau nanti saya bisa buatin,” kata Khamini malu-malu. “Rawon. Rawon salah satu makanan favoritku.” “Aduh, saya belum pernah buat. Agak ribet Soalnya, tapi bukan pakai bumbu instan, ya.” “Tidak apa-apa. Akan kumakan apa pun buatanmu. Anggap saja simulasi sebelum jadi istri.” “Dokter Radhiiiii, jangan bercanda sama saya ...” Khamini merengek, pipinya langsung bersemu. Di belakang mereka, rahang Nakia nyaris jatuh ke lantai gara-gara melongo. Apa ini Radhi yang dia kenal dulu? Pantas saja disebut penggoda, karena cara bicaranya pada Khamini ... terdengar seperti gombalan. Jujur ini fakta yang mengejutkan. Mau tidak percaya, tetapi Nakia menyaksikan dengan mata, telinga, dan kepalanya. Mau percaya, tetapi rasanya sulit diterima. Ah, pusing! Intinya Nakia benar-benar kaget sekarang. *** Nakia memijit tengkuknya yang terasa penat. Shift hari ini telah berakhir, bersama Anita dia menyusuri lobby menuju tempat parkir. Minggu depan dia full jaga malam, jadi untuk sekarang Nakia harus puas-puas tidur siang setelah pulang bekerja. “Grup chat kita heboh. Udah liat, Ki?” tanya Anita. “Belum, lagi males aktifin data. Memangnya ada apa?” “Katanya kau lagi PDKT sama Dokter Zachary.” Kepala Nakia menoleh sembilan puluh derajat, keningnya mengerut dalam. “Asumsi dari mana, tuh? Nggak berdasar banget.” “Khamini liat kalian ngobrol tadi siang.” Ah, dasar Khamini! Harusnya dia cukup menye-menye saja, jangan jadi penggosip juga. Syukur-syukur kalau benar, ‘kan nyatanya tidak. Berita ini kalau sampai ke telinga Zachary, dia pasti merasa risih. “Saranku mending jangan percaya, tapi kau ikut doain aja semoga bener.” Anita tertawa mendengarnya. “Lagian Dokter Zach tuh nggak tersentuh banget. Ice prince sebutannya. Sekalipun murah senyum, nggak sembarang orang bisa ngobrol sama dia. Makanya kasusmu itu langka, tapi kalau diliat-liat lagi ya wajar juga. Kau ‘kan cantik. Kata anak cowok sih angin segar UGD.” “Jangan lebay! Aku cuma berlian baru di antara berlian-berlian berkilauan macam kalian.” Nakia mengibaskan tangan, sedetik kemudian dia tersenyum semringah saat disapa seseorang. Anita paham kenapa dalam waktu singkat Nakia jadi populer. Dia ceria dan gampang akrab dengan orang baru, selain cantik, kepribadiannya juga baik. Cowok mana sih yang tidak tergenjutsu pesona Nakia? Social butterfly istilahnya. “Baru datang, Ry?” tanya Nakia pada pria yang menyapanya tadi. “Wih, abis potong rambut, ya? Keliatan seger, ganteng lagi. Ya nggak, Ta?” “Hah? O-oh, iya,” ujar Anita mengangguki. Henry nyengir sambil menyugar rambutnya. “Iya, nih. Lo peka banget, Ki. Nita aja tadinya nggak sadar.” “Gue ‘kan suka mengamati. Eh, lo shift sore ‘kan? Selamat kerja deh kalo gitu.” “Perlu gue anter, nggak? Kebetulan masih ada lima belas menit lagi.” “Nggak usah, gue bawa mobil. Nita juga bawa motor.” “Iya, Ry. Mending langsung temui Bu Yani, peraturannya ‘kan harus tiba sepuluh menit lebih awal dari jadwal.” “Okelah. Gue ke dalam dulu. Kalian hati-hati pulangnya.” Setelah Henry pergi, Nakia menuju tempat mobilnya terparkir sementara Anita ke arah parkiran motor. Karena jalan pulang mereka berlawanan, Nakia mempersilakan Anita pergi duluan saat dia masih sibuk memasang sabuk pengaman. Rambut yang tadi tersanggul rapi langsung Nakia urai, satu kancing seragam juga dia lepaskan. Jam kerja sudah berakhir, Nakia tidak harus menjaga penampilannya lagi. Saat sibuk memoles lip tint di depan cermin, ketukan di kaca mobil membuat Nakia menoleh. Wajah pelakunya belum terlihat, karena mata Nakia hanya menangkap sebatas perut sampai dadaa. Keningnya otomatis mengerut, dari postur tubuh dan pakaian yang dikenakan, tentu saja dia seorang pria. Segera Nakia menurunkan kaca, lalu melongokan kepala. “Dokter Radhi? Ada apa?” tanyanya heran. “Ki, sorry. Kau pulang sendiri?” “Ya, kenapa?” “Ery butuh tumpangan. Kalian searah. Kalau tidak keberatan, apa dia bisa ikut mobilmu?” Ery itu rekan kerja Nakia, sama seperti Henry, Wahyu, Khamini dan Anita. BTW, kenapa Radhi yang repot-repot bicara pada Nakia? Kenapa tidak Ery-nya saja? “Bisa. Kebetulan saya sendiri. Di mana Ery-nya?” “Sebentar, kupanggil dulu.” Radhi menoleh, lalu memberi isyarat agar Ery mendekat. Dua menit kemudian perempuan itu sudah berdiri di dekat mobil Nakia, tidak langsung masuk karena memilih bicara sebentar dengan Radhi. “Makasih banyak, Dok. Maaf jadi ngerepotin.” “Bukan ke aku, tapi ke Nakia bilangnya.” “Tapi ‘kan Dokter juga—” “Tidak apa-apa, aku senang bisa jadi perantara. Di keluarga kami hukumnya wajib membantu perempuan cantik, anak-anak, dan orang tua.” “Oh. Saya termasuk di kategori mana, Dok?” Angin berembus pelan, tangan Radhi kemudian terangkat menyelipkan anak rambut Ery ke belakang telinganya. “Kenapa bertanya? Harusnya kau sudah tau apa jawabannya.” “Apa? Saya takut salah.” “Perempuan cantik.” “Dokter bisa aja,” lirih Ery salah tingkah. Nakia refleks berhenti menonton sinetron receh di depannya. Tadi Khamini, sekarang Ery. Radhi benar-benar ... Dalam hati Nakia bergumam, di balik sisi Raden Radhian Sadawira yang keren, ternyata tersimpan sosok yang bermulut manis. Pantas saja dia termasuk dokter idola, ternyata keahlian lainnya selain menolong pasien adalah membuat hati perempuan meleleh bagaikan mentega yang terkena wajan panas. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN