03 : Kesenjangan Perasaan

1839 Kata
Ambulans datang. Seorang paramedis memberitahu Nakia saat mendorong brankar ke area utama UGD, “Ada anak laki-laki berlari di depan mobil. Ibunya berhasil menahannya, tapi anak itu jatuh dan wajahnya membentur trotoar. Matanya pasti memar.” Nakia kemudian menoleh saat seorang wanita muda berlari ke dalam sambil menyeret seorang anak kecil serta menggendong bayi. Dia terlihat gugup dan cemas di saat yang bersamaan. “Saya tidak percaya dia melakukan itu.” Menempelkan tangannya ke dadaa, napas wanita itu terengah. “Satu menit saya berada di bank untuk mengambil uang, di menit berikutnya dia tertawa dan berlari keluar dari pintu seolah semua itu hanya permainan. Saya sempat menghentikannya sebelum dia berlari ke jalan raya, lalu tiba-tiba ada truk yang ...” Wanita itu memejamkan mata erat-erat, dan Nakia turut mengernyit seolah membayangkan hal yang sama dengan si ibu. Jika dia tidak berhasil menahan anak itu, yang terjadi selanjutnya adalah— “Jangan memikirkan mengenai apa yang mungkin terjadi,” kata Nakia. Sambil menggandeng lengan wanita itu, dia langsung menuntun ke arah ruang resus. “Saya yakin dia akan baik-baik saja. Saya hanya akan mencatat beberapa detail, lalu kita meminta dokter untuk memeriksanya.” Mata wanita itu berkaca-kaca. “Rasanya terlalu berat, Suster.” Dia menarik napas sejenak, lalu mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. “Anak itu benar-benar nakal. Dia selalu terjebak dalam masalah padahal saya sudah terjaga semalaman karena bayi ini. Hanya butuh waktu lima detik kurang pengawasan dan anak itu pasti terlibat masalah lagi.” “Beberapa anak kecil memang begitu,” jawab Nakia membenarkan, nada suaranya bersimpati. Dia kemudian menempatkan anak kecil itu di brankar dan mendengarkan selagi paramedis memberikan sisa detailnya. Si ibu bergegas mendekati brankar, lalu memeluk anaknya dengan sebelah tangan. Air matanya mengalir, suaranya terdengar bergetar. “Berapa kali Mama harus bilang padamu untuk jangan lari dari Mama?” Wajah anak itu mulai sendu dan dia langsung menangis tersedu-sedu. Nakia berterimakasih kepada paramedis, lalu cepat-cepat ke brankar untuk mencoba membantu. “Oke.” Suara Nakia terdengar tenang dan tegas, kemudian dia tersenyum pada anak kecil itu. “Apa yang sudah kamu lakukan, Anak Nakal? Kamu membuat mamamu ketakutan setengah mati.” Nakia mengisi detail anak itu di kartu, kemudian melakukan pemeriksaan dasar. “Dia sedang tidak sakit ‘kan, Bu? Badannya tidak panas atau apa pun?” “Tolong panggil saya Clara, dan tidak, dia tidak sakit.” Kening Clara langsung berkerut samar. “Kenapa Anda bertanya, Sus?” “Karena kalau ada anak kecil yang terjatuh, kami harus yakin tidak ada penyakit lain,” ujar Nakia menjelaskan. “Terkadang infeksi telinga bisa membuatnya kehilangan keseimbangan.” “Dia hanya tersandung karena melarikan diri dari saya,” kata Clara kaku, dan Nakia mengangguk. “Apa Anda yakin dia tidak pingsan?” Clara menggeleng. “Tidak. Dia langsung berteriak, jadi saya tahu dia sadar.” “Oke, hm, saya harus meminta dokter untuk memeriksanya,” terang Nakia sambil menulis sesuatu di buku catatannya. Dia lalu mendongak dan mendapati Clara memejamkan mata sambil menarik napas pelan. “Anda baik-baik saja?” “Tidak juga, tapi saya rasa tidak ada satu pun orang yang memiliki tiga anak di bawah umur lima tahun yang mendapat waktu tidur cukup. Saya baik-baik saja, sungguh. Hanya lelah dan tidak fit. Saya terengah-engah saat mengejar Devon padahal itu hanya beberapa meter.” Nakia tersenyum. “Anda tidak mungkin tidak sehat jika mengejar ketiga anak ini setiap hari.” “Ya, begitulah ...” Clara berlari kecil menghampiri anak perempuannya yang menarik-narik lemari perlengkapan ruang resus. “Jangan, Ella! Duduk dan diam di samping Mama saja.” Mendesah pelan, dia menatap Nakia dengan sorot meminta maaf. “Sulit sekali mengendalikan mereka, Suster. Tidak heran dadaa saya selalu sakit.” “Dadaa Anda sakit?” Kening Nakia mengerut, tetapi belum sempat bertanya lebih lanjut, Radhi memasuki ruangan dengan bahu tegap dan kepercayaan diri tak tergoyahkan. Nakia tersenyum tipis sebagai bentuk sapaan. Entah kenapa dia merasa bangga saat melihat pria itu. Radhi tampak luar biasa dengan jas dokternya. Berada di ruangan yang sama sebagai rekan kerja membuat Nakia menyadari satu hal, dia dan Radhi lebih cocok berteman daripada menjalin hubungan. Dulu mungkin ada perasaan spesial, sekarang yang tersisa hanya kekaguman biasa. Kekaguman antar atasan dan bawahan, senior dan junior, adek dan kakak, seperti itu lebih tepatnya. “Anita bilang kau membutuhkan dokter di sini?” “Ya,” jawab Nakia semangat, lalu melambaikan tangan ke arah brankar. “Ini Devon. Dia jatuh dan kepalanya terbentur trotoar. Dia tidak pingsan dan GCS—tingkat kesadaran—nya 15.” Radhi berjalan mendekati brankar, tersenyum pada anak itu. “Halo, Devon. Matamu mengesankan sekali.” “Jangan bilang begitu, Dokter. Dia nanti mengulanginya lagi,” ringis Clara. “Dia anak laki-laki. Dia pasti mengulanginya lagi, hanya saja lain kali mungkin dengan tinju seseorang dan bukannya trotoar.” Senyum Radhi mengembang lebar, lalu menoleh kembali ke arah Devon. “Aku cuma ingin memegang kepalamu. Tidak apa-apa, kan?” Nakia memperhatikan Radhi dengan kagum. Dulu dia tidak pernah membayangkan Radhi akan jadi dokter yang baik, sekarang dengan mata dan kepalanya sendiri dia melihat Radhi menjadi sosok dokter yang baik. Dia pandai menghadapi anak-anak. Nakia mengawasi selagi Radhi memeriksa Devon, mengobrol ringan dengan anak itu mengenai hal yang tidak diduganya diketahui oleh pria itu, seperti Tayo the Little Bus dan PAW Patrol. Tayo the Little Bus? Apa yang diketahui Raden Radhian Sadawira tentang Tayo the Little Bus? Meraih ophthalmoscope dan memeriksa mata Devon, satu tangan Radhi yang besar memegangi kepala anak itu kemudian memiringkannya. “Kelihatannya baik.” Radhi menelusuri lengkungan mata yang bertulang dengan jari, memeriksa segalanya tetap di tempat, lalu berbalik pada Clara. “Saya rasa dia tidak menimbulkan luka serius pada diri sendiri. Memarnya perlahan-lahan akan membaik. Jelas kepalanya terbentur, jadi Anda harus mengawasinya selama 24 jam. Apabila ada sakit atau pusing-pusing—apa saja yang membuat Anda cemas—bawa dia kembali ke sini atau telepon dokter Anda. Suster Nakia akan memberi Anda formulir yang menjelaskan segalanya.” “Ya Tuhan, syukurlah ...” Sedikit rasa lega langsung menghinggapi Clara. “Baik, Dokter, terima kasih banyak.” Setelah bicara beberapa saat, Radhi kemudian meninggalkan ruangan. Nakia meraih formulir terkait luka kepala, menelitinya sekali lagi sebelum menyerahkannya pada Clara. *** “Ehm, Ki, mau ke kantin bareng?” “Oh, hai! Boleh, Yu.” Nakia tersenyum, segera dia menyejajari langkah Wahyu dan membuat jarak sekadarnya. Pria di sampingnya ini rekan sesama perawat, salah satu dari beberapa yang gencar mengakrabkan diri dengan Nakia. Nakia sendiri tidak keberatan. Sejujurnya saat di Australia, Nakia memiliki lebih banyak teman cowok daripada cewek. Mungkin karena kepribadiannya, dia jadi gampang dekat dengan siapa pun—khususnya lawan jenis. Soal pasangan, mungkin ada beberapa yang menarik untuk dikencani. Dia tidak pernah menahan diri. Kalau suka langsung didekati, tidak suka tinggal tolak saja. Just a simple. Nakia tipe yang bebas, tetapi tidak lupa batasan. Dia selalu berpegang teguh pada pesan ibunya, jangan coba-coba kalau tidak ingin terjerumus. “Sejujurnya gue masih canggung. Eh, tapi, boleh nggak sih gue ngomong kayak gini ke lo? Lo ‘kan anaknya western banget.” “Western? Gimana, tuh?” tanya Nakia terkekeh. Sebenarnya dia penasaran, seperti apa sih pandangan orang-orang terhadapnya? Dari pertama masuk sampai sekarang, Nakia merasa orang-orang masih sungkan. Padahal Nakia tidak merasa ada bagian dirinya yang seperti orang luar negeri. Justru wajahnya sangat Asia sekali. Cara ngomongnya juga menyesuaikan tempat. “Yang menurut lo enak aja, Yu. Gue bisa imbangin, kok.” “Ah, tau gitu dari tadi gue nggak nahan diri. Pasti geli banget ya, Ki, denger gue yang sok mau keren di depan lo.” “Nggak juga, cuma lebih ke ... lucu aja. Pada kenapa, sih? Lo bukan orang pertama yang kayak gini ke gue.” “Biasalah, coba-coba berhadiah. Lo cewek, kita-kita cowok. Siapa tau ‘kan ada yang hoki di antara kami semua, bisa deket sama lo di luar urusan pekerjaan.” “Astaga! Tapi coba aja, siapa tau berhasil.” Melihat Nakia menaik-turunkan alisnya, Wahyu tertawa lepas bahkan sampai memegangi perutnya. “Sumpah, Ki, sejauh ini lo masih nggak ada cela. Ceria, ramah, cantik, enak diajak ngobrol, kurang apa lagi, sih?” “Kurang lama kenalnya. Awas nanti kalo tau sisi jelekk gue bakal langsung ilfeel.” “Yang gimana, tuh?” “Cari tau sendiri coba ...” Mereka kemudian memasuki lift. Tidak hanya ada Nakia dan Wahyu di dalamnya, dokter dan perawat lain juga ada yang lebih dulu di sana, salah satunya Radhi. Selama menunggu lift sampai di lantai tujuan, Nakia terus mengobrol dengan Wahyu dan obrolan mereka terdengar seru. Radhi yang berdiri di sudut depan diam-diam mendengarkan sambil sesekali mendengkus pelan. Sebagai sesama pria, Radhi langsung merasa adanya persaingan meskipun secara tidak langsung menghadapi mereka. Wait, what? Persaingan? Punya hak apa Radhi berpikiran seperti itu? Dia hanya mantan yang letaknya di masa lalu. Hanya karena Radhi belum bisa melupakan Nakia, bukan berarti dia berhak atas Nakia sekarang. Entah apa pun status perempuan itu, Nakia bebas bicara, tertawa, dan dekat dengan pria mana pun. Radhi tidak memiliki wewenang untuk melarang karena dia bukan siapa-siapanya Nakia. Pedih memang, tetapi itu faktanya. “Lo kalo weekend biasanya ke mana, Ki?” “Hm, kalo nggak nemenin ibu nyalon, ya ke cafe bareng adek gue. Itu juga kalo mereka mau diajak. Biasanya lebih sering pergi sendiri.” “Wah, boleh, tuh!” “Boleh apa?” “Boleh gue yang nemenin lo.” Nakia tertawa. “Gue sih fine-fine aja asal nggak ganggu kesibukan lo.” “Eh, serius?” Radhi berdehem, bertepatan dengan itu lift berdenting dan tidak lama kemudian pintunya terbuka. Radhi lebih dulu keluar, tetapi dia memutuskan menunggu Nakia dan Wahyu. Tujuan mereka sama, karena dua orang itu tidak menekan tombol angka tadi. “Kalian ke kantin, kan?” “Hah? Oh, iya, Dok,” jawab Wahyu kebingungan. “Aku boleh gabung?” Yang Radhi tanya itu Wahyu, tetapi tatapannya tertuju pada Nakia. “Kebetulan aku sendirian, Benjamin masih ada pasien.” “Boleh-boleh aja, sih, tapi Kia—” “Boleh. Justru makin banyak orang jadi makin seru. Ya nggak, Dok?” “Tepat sekali.” Senyum Radhi merekah, dia langsung mengambil posisi di sebelah Nakia. “Ngomong-ngomong obrolan kalian tadi seru sekali. Boleh aku ikut juga nongkrong di cafe-nya?” “Maksudnya, Dok?” “Makin banyak orang jadi makin seru. Iya ‘kan, Ki?” Mendengar Radhi mengulang kalimatnya, Nakia langsung terkikik geli sementara Wahyu mengerutkan kening heran. “Ingatan Dokter bagus.” “Itu pujian, kan? Kuanggap pujian karena memang itu kenyataannya. Jangankan kejadian barusan, yang tujuh tahun silam saja aku tidak lupa. Apa ya sebutannya? Photographic memory ... mungkin?” “Heiii, Dokter jangan bercanda.” Kekehan Radhi menjawab segalanya, tetapi sedetik kemudian ekspresinya langsung berubah serius. “Tapi yang terakhir kubilang itu serius, Nakia ...” Di saat Wahyu masih berusaha mengerti situasi, Nakia yang sadar pun buru-buru meluruskan obrolan yang mulai membelot jauh. “Kalian mau makan apa? Biar saya pesan.” Kemudian Nakia berjalan cepat, hingga dua pria di sampingnya tadi tertinggal berlangkah-langkah di belakang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN