Perang Dingin

1633 Kata
Audya sudah menyelesaikan pekerjaannya tepat satu jam sebelum waktu kerja selesai. Sesuai perintah Mayang, menuju ruangan Argantara dengan mencetak hasil laporan yang tadi dikerjakan. Memegang lembaran kertas yang berjumlah banyak. Jika saja mencetak di tempat percetakan, pasti uang yang harus dibayarkan lumayan mahal. Untungnya, di kantor ini semua tersedia. Ya memang perusahaan besar harus seperti ini kan. Tidak menyulitkan karyawannya. Masa untuk sekedar memfotokopi atau print harus keluar gedung? Yang benar saja. Lagi-lagi menulikan telinga dan menebalkan muka. Sekuat apa pun berusaha bodo amat dengan sekitar, ucapan mereka tetap menyakiti Audya. Mana ada orang yang biasa saja saat di bicarakan buruk oleh orang lain. Di depan wajahnya lagi. Kalau tidak suka, di belakang Audya saja. Setidaknya dia tidak perlu sakit hati. Untuk membungkam banyak mulut tidak mungkin Audya lakukan karena hanya memiliki dua tangan saja. Yang bisa dilakukan hanya menutup kedua telinganya. Ting Pintu lift terbuka setelah tiba di lantai sebelas. Suasana di lantai ini selalu sepi. Hanya ada beberapa orang saja yang berlalu lalang. Kebanyakan mereka sekretaris petinggi perusahaan. Berkali menunduk hormat begitu berpapasan dengan mereka yang bahkan tidak Nirina ketahui namanya. Berjalan lurus pada ruangan Argantara yang sebelumnya pernah didatangi. Tok tok Menyembulkan kepala dan melihat kepala Argantara yang mengangguk. Itu berarti menyuruh Audya masuk kan? Masuk dengan pelan sambil memeluk kertas tebal yang sudah di jepit menjadi satu. Membasahi tenggorokannya dan berdehem pelan. “Hm... Maaf pak jika saya mengganggu. Ini, tugas yang diberikan melalui mbak Mayang sudah selesai saya kerjakan. Dan maaf jika terlalu lama.” Tangannya menyodorkan ke atas meja Argantara. Entah apa yang sedang dilakukan pria itu, sampai tidak memedulikan Audya. Fokus pada lembaran di depannya. Membaca dan kadang mengernyitkan keningnya sendiri. Audya mati gaya. Dia harus bagaimana? Mengulang lagi ucapannya kali saja Argantara belum mendengar. Atau diam saja karena barangkali sebaliknya, Argantara akan terganggu akan ucapan Audya? Serba salah banget deh. Paling benar harusnya menyerahkan pada mbak Mayang saja. Biar wanita itu yang memberikan pada Argantara. Sayangnya, nasi sudah menjadi bubur. Sekedar mundur saja Audya sudah tidak bisa. “Mm... maaf pak. Apa saya sudah boleh keluar?” cicit Audya. Suaranya tiba-tiba saja mengecil. Berhadapan dengan Argantara selalu sukses membuat kinerja seluruh tubuhnya melemah. Ah, kecuali jantungnya. Malah makin memompa dengan cepat. Argantara mendongakkan kepalanya. Menatap Audya datar. “Ya, silakan keluar,” ucapnya tegas. Audya terburu keluar dari ruangan yang terasa seperti di kutub. Entah suhu berapa yang disetel. Mungkin paling rendah. Dingin sekali. Sebentar di dalam Audya sudah menggigil. Apa bos besarnya itu tidak masuk angin? “Wah, habis dari mana nih?” Audya menghela nafasnya lelah. Kenapa masih harus menghadapi tingkah mereka lagi? Padahal Audya sudah begitu lelah. Tidak bisakah mereka memberinya ketenangan barang sebentar? Jangan sampai sisi buruk Audya muncul. Audya yang pemarah. Bisa saja loh Audya membalas mereka. Berbalik memaki dan menyudutkan. Audya bukan tipe yang akan diam saja jika ditindas. Namun sekarang ini, posisinya bukan yang bisa melakukan perlawanan. Atau dirinya malah makin ditekan. Tersenyum paksa. “Habis dari mengantar laporan mbak.” Berlalu menuju tempat duduknya. Biar saja mereka makin menganggapnya buruk. Audya tidak peduli. Dia sudah baik saja ditatap sebelah mata. Ya sudah, mending tidak usah baik sama sekali. “Heh, lu itu cuman anak magang ya. Enggak usah sok banget. Mentang-mentang dekat sama mbak Mayang dan pak Argantara, jangan seenaknya. Lu bahkan enggak ada apa-apanya sama kita. Hormat dikit sama yang senior. Bocah kurang didikan ya kaya begitu. Kampungan,” sentak salah satu dari mereka. Kali ini seorang pria yang jika dilihat secara sekilas saja dandanannya mirip dengan perempuan. Jari-jari tangannya mengepal hebat. Audya bisa saja melawan. Tapi kembali lagi, masalah bukannya selesai malah makin membesar nantinya. Untuk sekarang, diam yang akan selalu Audya lakukan. Nanti juga mereka akan lelah sendiri dan berhenti sendiri juga. Tunggu saja. Mengabaikan merka dan mendudukkan diri di kursinya. Memberesi barang bawaan yang tidak seberapa itu. Menyimpannya dalam tas kecil yang dibawanya. Akhirnya, mereka berhenti berbicara juga. Perlahan dari mereka mulai meninggalkan ruang. Memang cara paling jitu menghadapi manusia-manusia macam mereka ya dengan diam. Jika dilawan ya malah makin menjadi. Nanti Audya makin disudutkan. Sebenarnya Audya bingung. Apa sih yang ditakutkan mereka dari anak magang macam Audya ini? Mereka takut jika posisinya terancam? Ya Tuhan, padahal Audya masih anak kuliahan. Jelas mengenai ilmu dan praktik kalah jauh dari mereka yang sudah bertahun kerja. Keberadaan Audya di sini hanya untuk melaksanakan tugas dari kampus saja. Selesai tiga bulan ya akan pergi. Kembali ke kehidupan sebenarnya. Berkutat dengan mata kuliah yang memusingkan. Dan jangankan tugas yang setiap harinya datang. Tidak memedulikan tugas sebelumnya sudah selesai atau belum. Memilih duduk sebentar. Membiarkan gedung ini agak lengang. Jam pulang kantor pasti sangat ramai. Lift saja sampai berdesakkan. Audya sedang tidak mau mendengar cibiran lagi. Huh, sudah dapat dipastikan, berita buruk tentangnya pasti sudah menyebar. Dari mulut ke mulut. Cara tercepat untuk menyebarkan gosip. Jangan lupa, setiap berpindah mulut, pasti diberi bumbu lagi alias ditambahi. Lima belas manit kemudian barulah Audya bangkit. Benar saja, kantor sudah agak sepi. Masih ada beberapa orang yang berlalu lalang. Sibuk dengan dunia mereka sendiri. Berjalan santai menuju halte depan kantor. Menunggunya beberapa saat dan untungnya yang ditunggu segera tiba. Memejamkan mata selama perjalanan. Badan Audya terasa remuk. Berkutat dengan laporan berjam-jam. Demi menyelesaikan laporan tepat waktu, Audya sampai hanya mengganjal perutnya dengan roti dan s**u. Memakannya dengan cepat dan kembali lagi menekuri layar komputer di depannya. Bersyukur bahwa hari ini tidak ada jadwal les. Jadi bisa langsung merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur. Memeluk guling kesayangannya. Ah, bayangan yang sangat indah. Sayangnya, bayangan itu sulit terlaksana. Nyatanya, sepulangnya dari kantor, tidak berarti tugasnya untuk hari ini selesai. Audya masih harus menjaga toko, mengerjakan tugas, dan melipat pakaian bersih yang sebelumnya sudah selesai dijemur. Mengingat rumah, membuat ingatannya tertuju pada Andira. Audya tentu saja masih sakit hati dengan segala ucapan adiknya semalam. Jikq tidak mengingat kedua orang tuanya, Audya akan membalas dan membalikkan keadaan menjadi menyudutkan Andira. Harusnya bocah itu sadar bahwa yang selama ini menyusahkan itu dia sendiri. Memang sekolah dengan beasiswa dan dia juga sering mendapatkan uang dari hasil menang lomba. Tapi, apa tidak sadar? Gaya hidupnya yang sok membuat dia sering meminta uang dan membuat ibunya makin banting tulang. Selama Audya berkuliah juga sangat jarang meminta uang pada orang tuanya kok. Audya tidak melakukan itu karena menghargai kedua orang tuanya. Mereka pasti akan bersedih jika melihat dua putrinya tidak akur dan terlibat perdebatan. Berjalan lunglai melewati gang yang menghubungkan jalan raya dan rumah. Suasana sudah mulai sepi. Sebentar lagi azan maghrib akan berkumandang. Pantas saja sepi. Mendongak menatap langit yang tadinya berwarna biru kini berubah menjadi jingga. Ah, senja. Senja dan Liam. Dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Liam begitu menyukai senja. Menurut laki-laki itu, senja begitu indah dan memanjakan mata. Namun tidak berlaku bagi Audya. Senja itu menyakitkan. Datang dengan keindahan namun hanya sesaat. Dan setelahnya hanya ada gelap yang tersisa. Bicara tentang Liam, belum kembali bertemu atau bahkan sekedar bertukar pesan. Apa Liam memang sengaja menjauhinya? Apa jangan-jangan karena sudah mengetahui tentang rasa yang dia punya? Tapi, dari mana? Seingat Audya, tidak pernah menceritakan pada siapa pun mengenai rasa yang hadir ini. Hanya dia dan Tuhan yang tabu. Dan juga Dina, jangan lupa. Mamanya tidka mungkin membocorkan pada Liam kan? Aduh, pikiran Audya terlalu jauh. Memarik nafas panjang sebelum memasuki rumah. Tersenyum hangat begitu melihat ayah dan ibunya yang menyambut di kursi ruang tamu. Menletakkan pantatnya di atas kursi. "Kamu mau minum kak? Atau makan?" tawar Dina yang kasihan melihat wajah lelah putrinya. Siapa yang tidak lelah, bekerja dari jam delapan sampai jam empat. Dilihat secara sekilas saja, wajah Audya yang terbalut senyum itu terlihat begitu lelah. Menggeleng masih dengan senyum. "Enggak usah Bu. Nanti kalau aku haus kan bisa ambil sendiri," kata Audya. Selelah apa pun dia, tidak mungkin untuk memerintah orang tuanya. Itu hal paling tabu menurut Audya. Kesannya tidak sopan dan kurang ajar. "Oh iya. Kak, itu ayahnya suruh makan yang banyak," adu Dina. Audya menatap sang ayah yang sekarang hanya bisa duduk di atas kursi roda. Sudah beberapa tahun stroke yang ayahnya derita makin parah. Awal stroke memang sudah lama. Tidak lama setelah putri sulung mereka kabur. Mata Audya berkaca dengan sendirinya. Dulu, tangan itu yang selalu mendekapnya. Menuntunnya berjalan dan juga mengajarinya naik sepeda. Sekarang, tubuh itu tidak sekekar dulu. Audya ingin menangis rasanya. "Ayah, ayah harus makan banyak. Mau kan biar ayah cepat sembuh?" Kepala ayahnya mengangguk. "Nah kan. Giliran anaknya yang ngomong baru dituruti," dengus Dina. "Kamu mandi sama makan dulu sana, terus barudeh istirahat. Sekarang ibu memutukan untuk menutup toko memdekati azan berkumandang." Kening Audya mengernyit. Dalam pikirnya hanya ada satu. Kenapa? "Ya kamu tahu sendiri kan kak. Sekarang sudah mulai sepi. Kalah saing sama ibu Tigor. Kalau memang ada yang mau beli, nanti bisa ketuk pintu saja. Dan semua masalah akan langsung pacaran. "Ya sudah. Auyda ke kamar dulu ya Bu," pamitnya pada kedua orang tuanya. Mengambil pakaian ganti untuk dirinya mandi. Ya, di rumah ini hanya ada satu kamar mandi yang letaknya di bagian belakanh. Jadi ya, harus bergantian agar tidak rusuh. Berpapasan dengan Andira yang baru saja keluar dari kamar mandi. Audya memilih untuk mengabaikannya saja. Sepertinya, perang dingin akan makin lama belajarnya. Selesai mandi dan makan, kembali masuk ke dalam kamarnya. Dan perlahan mulai menjemput mimpinya. Mimpi indah yang bahkan tidak ada apa-apanya menurut kehidupan nayata. *** Suasana di ruang makan membuat Audya merindu. Rindu akan hidupnya yang dulu. Yang belum embgenal apa itu cinta. "Aku berangkat dulu Bu, Yah." Selama perjalanan kembali ke kantor, saya mulai tergoda. Tidak, Audya! "Iya hati-hati. Yang hati-hatinya," pesan Dina yang diangguki Audya. Audya selalu berjati-hati kok. Hari ini, harus lebih baik dari pada hari kemarin. Baginya, itu merupakan harga mati. Hari ini, ya harus lebih baik dari pada hari kemarin. Hal besar yang cukup dilakukan satu orang saja. Mengangkat ponselnya yang menunjukkan bahwa dirinya memang benar-benar tidak bisa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN