Siapa?

1674 Kata
Pagi harinya, Audya memilih berangkat lebih pagi. Tidak mau menambah keributan yang semalam sudah tercipta. Audya juga terlalu patah hati mengingat perkataan adiknya semalam. Jika melihat wajah sang adik tidak tahu masih bisa biasa saja atau tidak. Huh, menjadi tipe orang yang tidak mudah melupakan apa yang sudah dialaminya membuat Audya sulit juga untuk memaafkan dan mengikhlaskan. Di kepalanya, jika dia sudah terluka oleh orang lain, maka lebih baik dirinya menghindar saja daripada makin sakit hati. “Kamu enggak sarapan dulu kak?” tegur Dina yang melihat Audya sudah siap dengan pakaian kerjanya padahal hari masih terlalu pagi. Menghela nafas saat melihat anggukkan kepala sang putri. Pasti masih berhubungan dengan kejadian semalam. Dina sudah berbicara dengan si bungsu. Menasihati bahwa ucapannya sudah sangat keterlaluan. Namun memang Andira begitu keras kepala. Mengelak dan menganggap bahwa dirinya memang benar. Tersenyum tipis untuk menunjukkan pada ibunya bahwa Audya baik-baik saja. “Aku berangkat dulu ya Bu. Assalamualaikum.” Meninggalkan rumah tanpa menoleh lagi ke belakang. Audya terlalu fokus dengan sakit hatinya sampai tidak menyadari bahwa ibunya juga terluka karena perbuatannya. Dina takut jika salah satu dati dua putrinya akan pergi lagi seperti bertahun silam. Kehilangan anak pertamanya membuat pikiran Dina selalu diliputi perasaan takut akan ditinggalkan. “Waalaikumsalam,” jawab Dina lirih. Menatap kosong ke arah pintu di mana Audya sudah tidak terlihat lagi sekarang. Dina membebaskan anak-anaknya untuk bisa melakukan apa pun. Asal dalam hal yang positif. Seperti pilihan Audya yang memilih melanjutkan pendidikannya. Dina tidak masalah. Malah dirinya bangga. Memiliki putri yang berjuang sendiri untuk pendidikannya. Bahkan tidak mengusik keuangan sehari-hari sedikit pun. Dina juga sadar diri. Sebagai orang tua, dia tidak bisa untuk menenangkan anaknya. Menyekolahkan sampai jenjang sekolah menengah atas saja sudah ngap-ngapan. Tapi jika Audya bertekad kuat melanjutkan, Dina hanya bisa mendukung penuh. Hanya doa yang bida dia berikan. Berjalan lemah sepanjang langkah sampai menuju halte terdekat. Mendudukkan diri sambil menatap sembarang arah. Menghela nafas saat pikirannya sudah mulai kusut lagi. “Sudah Au, lupakan semuanya. Enggak penting apa yang Andira ucapkan. Dia tidak tahu apa-apa mengenai hidup lu. Dia hanya orang yang kebetulan menjabat sebagai adik. Dia enggak punya kontribusi buat hidup lu. Sekarang fokuskan semuanya pada ibu, ayah, dan pekerjaan. Hasilkan uang sebanyak mungkin. Tampar mereka dengan pencapaian lu. Buktikan pada semua orang yang memandang sebelah mata bahwa lu bisa. Enggak salah lu melanjutkan kuliah,” tekat Audya kuat. Mulai sekarang, akan makin berjuang sekuat tenaga untuk membuktikan bahwa dirinya memang mampu. Dan mereka yang meremehkan menarik ucapan mereka kembali. Huh, lihat saja. Tiba di kantor, jelas saja masih sepi. Sangat sepi. Audya datang terlampau pagi. Cleaning service juga baru saja membersihkan ruang. Memilih menuju kantin. Semoga saja sudah ada makanan yang tersedia. Perutnya sudah kelaparan. Tidak akan fokus mengerjakan sesuatu jika dirinya dalam keadaan lapar. Bersyukur saat mencium bau makanan. “Ibu, ada makanan?” tanya Audya langsung. Wajah wanita setengah baya itu kaget. Sedang masak tiba-tiba ada yang mengajaknya bicara. “Ibu kaget loh neng. Aduh, jantung ibu rasanya kaya mau copot ini,” ucapnya sambil mengelus bagian jantungnya yang dag dig dug. Audya meringis melihatnya. Padahal tidak bermaksud sama sekali untuk mengejutkan. “Maaf Bu. He he,” sesal Audya. “Belum sarapan to? Ini sudah ada nasi goreng dan telur dadar. Mau?” tawar si ibu sambil memperlihatkan nasi goreng yang masih mengepulkan asap. Perut Audya makin meronta. Menyengir lebar sambil mengangguk. “Belum Bu. Mau nasi goreng sama telur dadarnya ya Bu. Terus teh manis hangat juga,” jawab Audya yang dengan segera disiapkan. Tidak sampai lima menit menunggu, pesanannya sudah siap. Membawa nampan berisi sepiring nasi goreng dan satu gelas besar berisi teh hangat. Mendudukkan diri di kursi. Audya memilih sudut ruang. Untung saja ini masih pagi, jadi belum ada karyawan lain yang duduk di sini. Mereka mungkin masih bersiap di rumah. Bernafas lega begitu suap demi suap berpindah dari piring ke dalam perutnya. Huh, jika lebih lama menahan lapar, yakin pasti akan jatuh pingsan. Meneguk minumnya hingga tandas. Selesai makan, karyawan mulai berdatangan. Sesegera mungkin menyingkir dari posisi dan kembali ke ruangan. Audya tidak percaya diri jika sendiri di keramaian. Apalagi kemarin dirinya sempat menjadi bagian dari tanya kebanyakan karyawan yang ada. Gara-gara Mayang yang memanggilnya. Andai saja kemarin tidak bertemu. Mungkin hidup Audya lebih baik dari ini. Tidak perlu mendapat tatapan sinis dan meremehkan dari banyak orang. Inginnya mencolok mata mereka satu persatu. Dan berteriak di telinga mereka bahwa Audya terganggu. “Ada si penjilat tuh. Pintar banget mainnya. Pertama pepet mbak Mayang, terus jalan selanjutnya akan mudah.” Tidak, Audya memilih tidak mengambil pusing cibiran yang tentu saja dimaksudkan untuknya. Selain tidak ada gunanya, Audya juga tidak memiliki kekuatan di sini. Jika dirinya melawan, yang ada malah makin dikucilkan. Lagi-lagi statusnya di permasalahkan. Audya hanya ingin menjalankan magang tiga bulannya secara damai saja kok. Kenapa sulit sekali sih? Perasaan dirinya tidak berbuat sesuatu yang memancing amarah mereka. Dan, siapa pula yang menjilat mbak Mayang? Audya tidak seburuk itu. Menulikan telinga sampai duduk di kursinya. Menyalakan komputer di hadapannya dan membiarkan layar pada halaman awal. Merebahkan kepalanya di atas pangkuan tangan. Menghela nafas panjang. Sepertinya sisa waktu magangnya akan sangat melelahkan. Bukan hanya berkutat dengan pekerjaan yang diberikan, tapi juga dengan mulut karyawan-karyawan yang menganggap dirinya sebelah mata. Jam delapan tepat. Itu artinya kantor sudah benar-benar masuk. Audya tidak tahu harus apa. Belum ada tugas yang menghampiri. Akhirnya hanya diam di kursinya. “Audya, tolong ikut saya sebentar.” Mendongak mencari sumber suara itu berasal. Mendapati wajah Mayang yang tidak jauh darinya. Berdiri dan mengangguk. Mengikuti wanita itu dari belakang. Dalam hati merutuki. Setelah ini pasti akan lebih parah lagi. Lihat saja wajah-wajah mereka. Sudah kecut. Mengiringi kepergian Audya dengan tatapan marah. “Ada apa ya mbak?” tanya Audya. Dia juga penasaran kali. Ada apa gerangan sampai mbak Mayang meminta dirinya untuk mengikuti wanita itu. “Oh, jadi seperti ini. Sebentar lagi saya ada keperluan keluar kantor. Atas izin pak Argantara, saya akan menyerahkan tugas yang sebenarnya untuk saya pada kamu. Hanya laporan-laporan saja. Seperti kemarin.” Audya mengangguk. Kalau hanya laporan seperti kemarin, kenapa sampai meminta Audya untuk keluar? Ini kan makin membuat penilaian pada Audya buruk. “Ini, nanti tolong diselesaikan hari ini juga. Bisa langsung berikan pada pak Argantara dalam bentuk hard file.” Lagi-lagi Audya mengangguk. Memang hanya itu yang bisa dia lakukan. “Ya sudah. Saya tinggal dulu ya. Enggak usah dengarkan orang lain. Mereka hanya iri karena tidak bisa sebaik kamu yang padahal masih berstatus magang. Nanti akan saya usahakan agar setelah lulus, kamu bisa bekerja di sini. Semangat ya.” Mayang memberikan senyum sebagai penyemangat. Mayang jelas tahu bahwa karyawan banyak yang tidak menyukai Audya karena dianggap terlalu dekat dengan dirinya. Padahal Mayang melakukan itu juga tidak tanpa alasan. Mayang menyukai kinerja Audya. Selalu totalitas dalam mengerjakan tugas yang dia beri. Hasilnya juga membuat dirinya puas. Tingkat ketelitian yang dimiliki begitu luar biasa. Jarang ada mahasiswa semester enam yang begitu menguasai pekerjaan kantoran. Mengabaikan tatapan penasaran yang ditujukan padanya. Audya akan sebisa mungkin tidak memedulikan semua yang ada di sini. Tujuannya hanya bekerja semaksimal mungkin agar mbak Mayang memenuhi ucapannya. Betapa senang Audya bisa bertemu dengan sosok baik hati seperti Mayang. Mereka tidak saling mengenal sebelumnya. Namun dengan baik hatinya akan mengusahakan agar Audya nantinya dapat bekerja di tempat ini. Nasib baik memang. Siapa sih yang tidak mau bekerja di Gantara corp. Perusahaan yang tengah berkembang pesat. Audya juga sangat ingin bisa menjadi bagian dari perusahaan ini nantinya. “Kakak,” panggil suara kecil yang entah ditujukan pada siapa. Audya yang merasa bukan dirinya yang dipanggil terus melangkahkan kakinya. Sebentar lagi sampai pada kubikelnya. “Kakak!” ulang suara itu. Mau tidak mau, Audya menengok. Mendapati wajah kesal murid privatnya. Naura. Menengok ke belakang. Tidak ada orang lain lagi. Apa yang dipanggil Naura adalah Audya? Menunjuk dirinya sendiri dengan wajah cengo. “Iya kakak. Kakak kerja di sini juga?” tanya Naura. Mendekat ke arah tempat Audya berdiri. Audya makin jadi pusat perhatian. Ya Tuhan, kenapa sih orang-orang suka sekali menempatkan Audya pada posisi sulit seperti ini. Rasanya ingin tenggelam saja di rawa-rawa. Audya menekuk lututnya. Menyamakan tinggi dengan Naura. “Iya kakak kerja di sini. Naura kenapa bisa di sini?” Mengernyit heran. Kenapa bocah ini bisa sampai di kantor ini? Apa orang tuanya juga bekerja di sini? “Papa kan kerja di sini kak,” jawab Naura. Audya mengangguk mengerti. Pantas saja. Tidak lama kemudian, datang wanita dengan seragam khas baby sitter. Mendekat dan berdiri di belakang Naura. Membujuk nona mudanya untuk ikut. Tidak mengganggu Audya yang baru akan mulai bekerja. “Enggak mau. Mau sama kakak saja. Mbak saja sana yang pergi. Naura masih mau di sini,” tolak Naura. Menggeleng keras. “Ayo ke ruang papa non saja. Nanti kalau ganggu kakak kerja, kakaknya bisa dimarahi papa. Ayo, non enggak mau kalau kakak dimarahi kan?” Naura menggeleng. Akhirnya menurut untuk meninggalkan ruangan ini. Menunu ruangan di mana papanya berada. Audya bahkan tidak tahu siapa papa dari muridnya. Yang dia tahu hanya, papa Naura merupakan orang sibuk yang keberadaannya sangat jarang di rumah. Mungkin gadis kecil itu datang karena saking kangennya. “Papa... nanti jangan marahi kakak lagi. Nau kan pengin main sama kakak. Tapi kata mbak nanti kalau Nau main sama kakak, kakaknya dimarahi papa. Papa kok jahat sih. Kakak kan baik,” sembur Naura saat baru saja memasuki ruangan papanya. Baginya, Audya itu baik, tidak ada yang boleh memarahinya bahkan sang papa sekalipun. “Dia, kenapa?” tanya pria dewasa yang kena omel putri kecil pada sang pengasuh. “Non Naura tadi enggak mau ke sini pak. Maunya sama kakak yang jadi guru lesnya. Ternyata dia juga bekerja di kantor ini. Tapi yang saya lihat, sedang hendak mengerjakan sesuatu. Saya ajak non Naura ke sini enggak mau sama sekali. Waktu saya bilang kalau kakaknya bisa dimarahi tuan kalau tidak mengerjakan tugasnya, non Naura langsung mau ke sini dan marah-marah sama tuan. Maafkan saya tuan,” ucap baby sitter Naura menunduk. Merasa bersalah karena sudah menyebabkan nona mudanya memarahi tuan besar. “Memang, kakak yang dia maksud siapa?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN