Sakit

1500 Kata
Audya sakit. Semalam, gadis itu tiba-tiba saja demam. Baru ketahuan saat keesokan harinya Dina membangunkan. Karena tidak biasanya Audya bangun siang. Apalagi di hari kerja seperti ini. Dina yang baru masuk kamar dikejutkan dengan gumaman Audya yang masih memejamkan mata. Mendekat dan meletakkan tangan pada kening. Panas. Kembali keluar dan mengambil kain dan air untuk mengompres. “Kamu itu kayanya kelelahan kak. Hari ini istirahat dulu ya. Enggak usah berangkat,” ucap Dina sambil menyuapi Audya makan. Tidak bisa berbuat banyak selain mengiyakan. Memaksakan ke kantor juga yang ada malah makin sakit. Menggerakkan tubuhnya sedikit saja Audya tidak bisa. Semua berat rasanya. “Bu, tolong ambilkan ponsel aku. Mau kabari mbak Mayang kalau Audya enggak berangkat,” pinta Audya. Tidak mungkin tidak berangkat seenaknya. Setidaknya mengirimkan pesan untuk memberitahu bahwa dirinya absen hari ini. Untung saja saat itu sempat menyimpan nomor Mayang. Karena ya hanya satu nomor yang Audya simpan di antara banyaknya orang di kantor. Itu juga karena mbak Mayang yang memberikan. Sepertinya akan aneh jika meminta nomor ponsel pada mereka jika tidak akrab sama sekali. Huh, malah sekarang hampir yang menempati ruang sama dengannya membenci. Tidak semuanya. Tapi hampir seluruhnya. Bisa dibayangkan kan betapa tersiksanya Audya. Mengetikkan pesan pada Mayang. Meminta izin tidak masuk hari ini dikarenakan sakit. Tanpa menunggu balasan, langsung meletakkan ponselnya lagi. Tidak kuat berlama menatap layar datar berukuran hampir enam inci tersebut. “Aku sudah selesai Bu. Ibu keluar saja enggak papa. Barangkali ayah nunggu,” usir Audya halus. Audya sadar diri. Di sini, bukan hanya dirinya yang membutuhkan Dina. Masih ada adik dan juga ayahnya. Sekedar minum obat sendiri mah Audya juga bisa. Dina keluar dari kamar setelah memastikan semuanya baik-baik saja. Berulang kali menengok ke belakang. Melihat kamar putrinya yang sengaja tidak ditutup. Takut jika Audya membutuhkan bantuan dirinya tidak ada di sana. “Hari ini, jangan pikirkan apa pun. Yang penting sehat dulu. Tidur seharian juga palingan bakal sembuh besok,” gumam Audya dan mulai menyamankan posisinya. Bersiap untuk tidur lagi. Obatnya orang sakit sepertinya ini kan sebenarnya harus cukup istirahat. Tidak memforsir tenaganya. Entah berapa jam tidur. Bangun karena kandung kemihnya terasa penuh. Bangkit dan berjalan pelan menuju kamar mandi. Lumayan juga berjalan dari kamar ke kamar mandi. Apalagi dengan kondisi tubuh yang lemas. Bersyukur tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Melihat jam ternyata sudah hampir jam dua belas siang. Cukup lama Audya tidur ternyata. Pantas saja perutnya sudah terasa lapar lagi. Mencari keberadaan ibunya yang ternyata tengah berada di toko. Telinganya menangkap bentakan seseorang. Segera mungkin menghampiri. Dan betapa sakit hati Audya saat melihat sang ibu hanya bisa menunduk sambil berkali-kali menggumamkan maaf pada salah satu tetangganya. “Maaf ibu, ini ada apa ya?” sela Audya. Bagaimanapun juga, Audya seorang anak yang tidak akan terima jika ibunya dimarahi seperti ini. Memang apa kesalahan sang ibu sampai harus menerima caci dan maki? Walau salah juga tidak pantas orang memperlakukan orang lain seperti ini. “Nih. Bilang sama ibu kamu. Kalau barang yang sudah kadaluwarsa ya jangan dijual. Untung belum saya makan. Kalau sudah dan terjadi sesuatu yang buruk setelahnya, memang mau tanggung jawab?!” Audya menerima bungkus mi instan dan membaca tanggal yang tertera. Memang sudah melebihi tanggal hari ini. Tapi Audya yakin, ibunya tidak mungkin seperti itu. Menyetok barang juga tidak terlalu banyak. Paling satu dus. Masa iya sampai kadaluwarsa? Memejamkan matanya dan menghela nafas panjang. “Saya minta maaf Bu. Ibu mau diganti yang lain atau uangnya dikembalikan?” tanya Audya pelan. Kepalanya yang tadi sudah mending kembali sakit. Ada-ada saja. “Enggak usah. Saya enggak semiskin itu ya. Benar kata yang lain, mending beli di toko sebelah saja. Di sini mah barang lama semua!” Pembeli yang merupakan wanita setengah baya itu pergi dengan mulut yang terus merutuk. “Sudah Bu. Ibu kenapa masih jual barang kadaluwarsa?” Audya juga butuh penjelasan dari sisi ibunya. Mendengar cerita hanya dari satu sisi tidaklah adil. Dina menggelengkan kepalanya. “Enggak mungkin ibu seperti itu. Lihat, ini yang satu dus saja tanggal kadaluwarsanya masih jauh. Ibu enggak tahu Bu Erna dapat mi instan itu dari mana. Barang yang dijual di toko ini memang terkesan barang lama. Tapi ibu enggak sejahat itu buat menipu mereka.” Audya percaya pada ibunya. Tidak mungkin wanita selembut dan sebaik ibunya tega berbuat curang dan merugikan orang lain. Bolehkan Audya berpikir jika tadi hanya akal-akalan tetangganya? Tapi untuk apa? Dan tadi bukankah sempat menyinggung mengenai toko sebelah? Toko baru yang tempatnya tidak jauh dari sini. Yang sekarang sangat ramai. Pelanggan setia ibunya juga perlahan berpindah. Apa ada hubungannya? “Ibu sudah menjelaskan sama Bu Erna?” Harusnya memberikan faktanya kan. Bukan hanya diam dan meminta maaf? Jika memang benar ya bela diri saja. Mengangguk lemah. “Sudah. Ibu sudah memberitahukannya. Menunjukkan satu dus yang memang belinya bareng. Tapi tetap enggak percaya. Ibu sudah berniat menggantinya juga dengan yang ada. Bu Erna menolak mentah-mentah. Ibu enggak tahu sebenarnya apa sih yang terjadi. Waktu ibu kekeh kalau ibu enggak bersalah, Bu Erna malah mengancam akan melaporkan ibu. Jadi ya, ibu enggak bisa apa-apa selain meminta maaf saja. Seakan mengakui bahwa ibu bersalah. Huh, Tuhan begitu baik pada kita. Ayo, kamu masuk saja. Istirahat lagi. Oh iya, makan dulu ayo.” Dina mengajak Audya dengan senyum yang Audya tahu tidak sampai mata. Ibunya pasti sedih karena mendapat tuduhan seperti itu. Tapi ibunya bukan pada posisi yang bisa melawan. Sedikit cerita mengenai tetangga sekitar rumahnya. Entah dengan alasan apa, banyak yang membenci keluarganya. Audya juga tidak tahu. Perasaan keluarganya tidak membuat kesalahan besar sampai pantas untuk dibenci. Apalagi saat tahu bahwa Audya melanjutkan sekolahnya. Banyak yang mencibir bahwa dirinya tidak pantas. Hanya akan menambah beban keluarga. Mau apa pun Audya, bukankah tidak ada urusannya dengan mereka? Memang mereka siapa? Mereka bahkan tidak memberinya makan. Hanya kebetulan orang yang tinggal dalam satu wilayah saja. Tapi lagaknya paling benar. Dan memang apa salahnya sih melanjutkan pendidikan? Itu hak Audya kan. Tinggal di kota, tapi pikiran masih tertinggal jauh. "Sudah. Ayo ibu masuk saja. Andai saja aku sudah bekerja Bu. Enggak perlu lagi ibu buka toko kaya begini," gumam Audya. Huh, lagi-lagi pengandaian. Andai ini, andai itu. Ya, manusia hanya bisa mengandai. "Jangan berbicara seperti itu. Ibu malah bangga karena anak ibu bisa kuliah dengan beasiswa prestasi. Kamu pintar, sudah seharusnya melanjutkan pendidikan kamu. Kamu harus mengejar semua cita-cita kamu. Kalau kamu mau dendam sama mereka yang sudah meremehkan kamu, cukup bungkam mereka dengan kesuksesan kamu. Baru mereka akan diam." Audya mengangguk. Kenyataannya memang seperti itu. Audya akan makin bekerja keras, berjuang, dan mengejar semua mimpinya. Membuktikan pada semua orang yang mmenganggapnya rendah. Akhirnya, toko tutup lebih awal. Demi Tuhan, Audya sudah menandai wajah wanita tadi. Wanita yang berani membentak dan memarahi ibunya. Siapa sih anak yang diam saja saat melihat ibunya diperlakukan demikian? Jika ada, Audya bukan salah satunya. Kalau saja Audya tidak peduli pada usia, sudah diberinya pelajaran tadi si ibu. Sepertinya satu tamparan cukup. Tapi Audya masih memiliki sopan santun. Tidak mau juga menambah makian mereka terhadap ibunya. Nanti dibilang kurang didikanlah. Hidup Audya memang terlalu banyak drama. Di kantor, di rumah, dan jangab lupa di kampus juga. Drama percintaan satu pihak di mana Audya menjadi pihak yang mencintai tanpa dicintai balik. Nikmat sekali cobaan yang Tuhan berikan. Selesai makan siang, Audya yang belum sepenuhnya sehat memilih untuk memejamkan mata. Akan memaksimalkan libur satu harinya sebelum besok mulai kesibukan lagi. Semoga besok memang sudah mendingan dan bisa kembali masuk. Izin terlalu lama membuat Audya sungkan. Yang ada dirinya makin menjadi bahan pembicaraan. Saat ada Audya di sana saja berani terang-terangan membicarakan, apalagi saat tidak ada. Makin bebas. Menjelang malam, Audya sudah segar. Menyempatkan membersihkan diri. Audya bukan tipe perempuan yang akan mandi sekali dalam sehari. Rasanya menjijikan. Sebisa mungkin dua kali mandi. Pagi dan sore. Lagi pula apa susahnya sih ya untuk mandi? Tidak membutuhkan banyak waktu juga. Paling lama sepuluh menit juga selesai. Memang kelewat malas saja. "Sudah mendingan kak?" tanya Dina. Melihat wajah putrinya yang tampak lebih segar. Mengangguk menjawab dengan mulut penuh dengan makanan. Untuk menu makan malam, Dina menghidangkan beberapa potong tempe dan tahu goreng. Begini saja sudah sangat cukup. Malah menjadi menu favorit Audya. Berbeda dengan adiknya yang sok itu. "Lagi-lagi tempe tahu. Enggak bosan apa? Emang enggak ada lauk lain lagi ya? Apa kek. Susah banget deh," gerutu Andira. Merasa kesal dengan lauk yang selalu sama setiap harinya. Andira bosan walau hanya melihatnya saja. "Tinggal makan saja sih. Apa susahnya. Kalau enggak mau ya sudah enggak usah makan. Hidup kok dibuat ribet sendiri," cibir Audya. Kadang heran dengan adiknya yang makin hari makin kurang ajar. Dulu, adiknya itu anak yang manis dan penurut. Kenapa sekarang berubah seperti ini? Sepertinya lingkaran pertemanan paling banyak mempengaruhi. Andira melirik Audya tajam. Meninggalkan meja makan dengan membanting sendoknya keras. Gadis dalam kategori usia remaja itu tidak memedulikan panggilan sang ibu yang memintanya segera kembali dan menyantap makan bersama. "Maaf ya kalau lauknya seperti ini terus," gumam Dina kentara akan rasa bersalah. Audya menarik nafasnya. Tidak ada yang salah pada diri Dina. Memang takdirnya sudah seperti ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN