18

2121 Kata
Karena rasa kecewanya, Audya memilih diam. Mendiamkan ibunya yang terus saja mencari kesempatan untuk bisa berbicara bersama. Audya tahu kalau perbuatannya tidaklah baik. Tapi, apa boleh buat. Ibunya yang dengan mudah memberikan uang dalam jumlah cukup besar pada Andira membuat Audya kesal. Ya Tuhan, Audya mau mendapatkan uang saja harus bekerja dulu. Bukan Audya iri pada Andira ya. Hanya saja, ah. Kalian pasti juga tahu rasa kesalnya. Pergi dengan membuat kekacauan, sedang datang untuk minta uang. Dan setelahnya, kembali menghilang. Jika Audya bertemu dengan adiknya, siap-siap saja akan memberikan pelajaran pada bocah tidak tahu diri itu. Andira itu, dulu tidak seperti ini. Dia gadis baik dan cenderung pemalu. Namun sejak menginjak sekolah menengah atas, semuanya berubah. Bisa dibilang, Andira salah bergaul. Berteman dengan anak orang kaya membuatnya selalu ingin mengikuti gaya mereka. Mengadakan yang sebenarnya tidak ada. Merongrong pada ibunya dengan ancaman akan pergi dari rumah jika tidak dituruti. "Kak, maafkan ibu ya. Ibu janji tidak akan mengulangi lagi. Dan nanti, uang kamu akan ibu kembalikan, tapi maaf kalau tidak bisa langsung. Ibu perlu mengumpulkannya dulu atau kalau kamu mau, ibu akan mencicilnya setiap hari." Audya menghela nafasnya pelan. Tidak tega melihat ibunya yang sedari tadi memohon maafnya. "Bu, aku itu enggak minta uangnya balik. Cuman ya, ya Tuhan, aku enggak habis pikir kenapa ibu bisa semudah itu memberikan uang pada Andira dalam jumlah yang enggak sedikit. Ibu dapat sampai pinjam di lintah darat lagi." Benar, Audya bahkan tidak mengharapkan uangnya kembali. Dia memberikan seluruh gaji satu bulannya magang murni untuk meringankan beban ibunya. Bukan untuk menyelamatkan Andira ya. Lihat saja, Audya akan meminta gantinya pada Andira langsung. "Ibu enggak enak sama kamu. Gaji kamu langsung habis untuk membayar hutang ibu. Harusnya itu buat kamu. Bersenang-senang atau membeli kebutuhan untuk ke depannya." "Mana ada anak yang bisa senang-senang saat tahu orang tuanya punya sangkutan dengan rentenir? yang benar saja. Kalau aku melakukan hal itu, sepertinya di kemudian hari akan menjadi orang yang paling menyesal." Audya tidak setega itu. Membiarkan ibunya sedikit demi sedikit mengumpulkan uang untuk membayar hutang sedangkan tiap harinya, hutang itu makin berkembang. Makin banyak dan banyak. Perdebatan antara ibu dan anak itu selesai dengan Audya yang memilih berangkat bekerja. Makin lama di rumah, kepalanya makin pusing. Belum lagi jika si biang masalah pulang. Aduh. Apa Audya jahat jika mengharap Andira tidak kembali? Demi kebaikan dan kenyamanan penghuni rumah tentu saja. "Gua harus bagaimana kalau ketemu mbak Mayang dan pak Argantara? Jujur malu banget lah. Mereka lagi di rumah dan disuguhi tontonan keluarga," gumam Audya. Sedari tadi memikirkan bagaimana dia harus bersikap. Apa biasa saja atau lebih baik secara sementara menghindar dari dua orang itu? Tapi, mereka satu gedung. Apalagi mbak Mayang yang satu ruangan juga. Akan sangat mustahil untuk menyembunyikan diri. "Ah biar deh. Memang seperti itu yang terjadi kan. Ngapain malu. Kalau kenyataannya memang begitu," pasrah Audya. Mencoba bodo amat dan akan melupakan jika kemarin ada dua orang asing yang melihat drama keluarga yang sempat terjadi. Dilakonkan oleh Audya, ibunya, dan si lintah darat itu. Lagi pula, mereka juga bukan tipe orang yang kepo terhadap urusan orang lain. Buktinya kemarin langsung pamit pulang kan. Memasuki kantor, lagi dan lagi tatapan kartawan terutama berjenis kelamin perempuan seakan mengulitinya. Apa karena kemarin dirinya keluar bersama dua petinggi di perusahaan ini? Padahal mereka tidak tahu apa yang menjadikan Audya bisa bersama mereka. Hanya sekedar menjenguk ayahnya saja. Bukankah itu wajar? Huh, inginnya berteriak dan mengungkapkan faktanya. Sayangnya tidak bisa. Audya hanya bisa menelan dalam rasa kesalnya. "Habis apa lagi kemarin? Manjatnya sukses banget ya si mbak nya," sindir salah satu karyawan yang menempati ruangan yang sama. Dengan jarak lumayan jauh. Audya di sudut kanan, dan dia sebaliknya. Di sudut sebelah kiri. Melirik kursi mbak Mayang yang masih kosong. Pantas saja mereka berani dengan terang-terangan membicarakannya. Kalau saja ada mbak Mayang, mereka ini hanya akan diam sambil menunduk. Dasar bermuka dua. "Bisu ya lu? Bisanya cuman diam saja." Audya mendengus. Sepertinya memang dia perlu melawan. Makin didiamkan makin kurang ajar. "Memang kenapa? Mbak iri karena enggak bisa pergi sama mbak Mayang dan pak Argantara?" Audya menatap remeh wanita yang sekarang memelototkan matanya terkejut. Mungkin tidak menyangka si anak magang yang biasanya hanya diam kini berani melawan. Heh, dari dulu juga sebenarnya berani. Hanya saja menghormati mereka sebagai senior. Tapi mereka sepertinya memang berniat membuatnya kesal. "Heh, berani jawab lu bocah? Lu itu cuman magang di sini. Enggak usah banyak tingkah." Menunjuk marah ke arah Audya. Banyak yang mulai memusatkan perhatian pada keributan ini. Audya memutar bola matanya malas. "Lah, katanya di suruh jawab. Enggak jawab nanti dikira enggak bisa bicara. Bagaimana sih mbak? Konsisten dikit dong jadi orang," cibir Audya. Masih mau bermain dengan Audya? Jangan kira bahwa dia itu orang yang sabar menghadapi sesuatu. Ke depannya mungkin Audya akan selalu melawan. Selagi tidak kelewatan, akan memilih diam sih. Malas juga mengeluarkan tenaga untuk berdebat. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Menoleh pada pintu masuk dan ternyata Mayang. Lihat, dia langsung mendudukkan dirinya. Bersikap seolah tidak ada yang terjadi sebelumnya. Audya menghela nafas dan ikut mendudukkan diri. Perdebatan akan berhenti sementara karena kehadiran mbak Mayang. Saat mbak Mayang pergi, mungkin mereka akan memdatanginya. Memarahi dan menyudutkan. Audya tidak takut kok. Lagi pula dia tidak membuat kesalahan. Jadi, untuk apa takut? Berkutat dengan layar datar. Di bulan ke dua ini, Audya sudah diberi tugas rutin. Hal yang tentu saja membuatnya senang. Tidak perlu menunggu titah lagi. Memandangi layar komputer dalam jangka waktu yang lama membuat matanya mulai sakit. Berhenti sejenak. Menggerakkan badannya ke kanan dan ke kiri. Memutuskan berhenti sejenak dan berniat untuk menuju kamar mandi. Audya butuh mencuci muka. Untuk menghilangkan kantuk yang perlahan datang. Kembali mendudukkan diri setelah sudah lebih segar. Kembali berkutat dengan pekerjaan. Bekerja lelah juga ya. "Enggak boleh ngeluh," gumamnya pelan. Sudah mending dipercaya dengan diberikan pekerjaan. Itu berarti dia dianggap mampu kan. Audya akan menyelesaikan semuanya dan membuktikan bahwa mereka tidak salah sudah memberikan Audya pekerjaan seperti ini. Tidak terasa, lima menit lagi jam pulang kantor. Mulai berkemas. Memberesi barang bawaannya. Mematikan layar komputer. Sisa lima menit, Audya menyandarkan tubuh bagian atasnya di sandaran kursi. Audya sedikit bingung karena tidak ada yang mencibirnya lagi. Bukan ingin dicibir. Hanya saja, ya aneh saja. Tadi pagi masih semangat menyindirnya secara terang-terangan. Sekarang kok malah mereka terlihat acuh terhadapnya? Ya bagus saja sih. Setidaknya Audya bisa lebih tenang. Mungkin mereka sudah bertaubat. Bolehkah Audya menganggapnya seperti itu? Mengedikkan bahunya acuh dan melenggang ke luar kantor setelah sudah lumayan lengang. Hari ini, Audya berencan untuk langsung pulang dan istirahat sebentar. Ah, rasanya sudah lama sekali tidak tidur siang. Audya merindukkan masa-masa dirinya yang bebas. "Eh," pekik Audya terkejut saat mendapati Argantara di dalam lift yang akan dia naiki. Dengan pelan, memasukkan diri. Tidak ada alasan untuk dirinya tidak ikut turun. Yang ada malah dianggap tidak sopan. Menundukkan kepalanya sambil dua tangan saling meremas. Audya gugup. "Hm. Ayah kamu sudah sehat?" tanya Argantara tiba-tiba. Menyentakkan Audya dari lamunan. "Eh, iya Pak. Sudah mulai sehat lagi." Hening. "Oh iya Pak, lupakan saja yang bapak dengar kemarin," cicit Audya. Argantara berpikir. Mengangguk saat menemukan jawabannya. "Saya tidak bisa melupakan begitu saja. Ada putri yang begitu baik hati sampai merelakan gajinya untuk menutup hutang ibunya. Bukankah itu keren? Tidak semua loh seusia kamu seperti itu." Argantara berjalan terlebih dahulu. Tinggal Audya di dalam lift dengan hati yang hangat. Itu bentuk pujian? Audya mendapat pujian dari Argantara? Apa tidak salah? Ternyata Argantara menilai hal yang tidak pernah Audya pikirkan. Audya kira, bosnya akan menganggap bahwa keluarganya terlilit banyak hutang. Audya sudah salah menilai pria itu. Tiba di rumah setengah jam kemudian. Mengernyit mendapati wajah nelangsa ibunya. "Ada apa Bu?" tanyanya langsung. Hanya dengan melihat saja sudah dapat dipastikan bahwa ada sesuatu yang terjadi sebelum ini. Dina yang menyadari kedatangan Audya, perlahan mengganti raut wajahnya. Tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala. Sayangnya, Audya tidak bisa percaya begitu saja. "Andira pulang lagi?" tebaknya. Biang kesedihan di rumah ini kan andira. Jika benar karena Andira, awas saja. Dina yang tidak bisa mengelak, menganggukkan kepalanya pelan. Membuat Audya menghela nafas lelah. "Ada apa lagi dia ke sini? Mau minta uang lagi? Dan ibu kasih lagi? Dapat pinjam dari rentenir lagi?" tanya Audya beruntun. Audya tidak akan rela jika ibunya melakukan kebodohan seperti tempo hari. "Ibu enggak kasih dia uang. Dan dia, pergi lagi," bisik Dina. Menggeleng beberapa kali. Dia tidak mengulangi kesalahannya lagi kok. Audya mengangguk puas. "Biar saja dia pergi. Enggak usah dipikirkan ya Bu. Ya memang tidak bisa membiarkan begitu saja. Apalagi ibu, ibunya. Percaya bahwa suatu saat nanti, Andira akan berubah dan kembali menjadi Andira yang penurut," ucap Audya penuh harap. Jika Andira memang mau berubah dan tidak neko-neko lagi, Audya akan memaafkan adiknya. Jika tidak, ya sudah sana. Audya akan bodo amat pada apa pun yang menimpa dia. Tiba di kamar, merebahkan dirinya dan membuka ponsel. Bibirnya tersungging saat mendapati adanya pesan masuk dari pria yang masih menempati hatinya, atau mungkin sudah mulai tergeser. Liam. "Sabtu besok minta ketemu. Ya kaya waktu itu sih. Malasnya kalau nanti gua ditinggal lagi. Huh, memang ya, bukan prioritas itu menyakitkan." Memandangi langit-langit kamar. Rasanya sudah lama sekali tidak bertukar kabar apa lagi bertemu dengan Liam. Sahabat terbaiknya. Sahabat yang menjadi cintanya selama ini. Pertemuan terakhir mereka tidak berjalan dengan baik. Liam seakan menghindarinya. Yang biasanya rajin mengirim pesan tidak penting juga berhenti. Audya tentu saja merasa kehilangan. Untung rasa itu dengan cepat teralihkan karena pekerjaannya. "Dapat chat dari lu saja, gua langsung sebahagia ini," gumam Audya. Entah karena sudah lama tidak bertemu atau karena rasanya yang masih ada, Audya begitu bahagia dengan pesan yang masuk dari Liam. Audya sendiri tidak bisa menyelami perasaannya. Tidak bisa mengetahui dengan pasti rasa yang dulu dimiliki Liam seutuhnya. Posisi Liam seperti mulai tegeser. Namun entah oleh siapa. Audya tidak mungkin mulai menaruh rasa pada bos besarnya kan? Menggeleng keras. Tidak boleh. Pria sempurna macam Argantara mana mau menerima rasa cinta dari si upik abu macam Audya. Audya ini memang suka cari penyakit. Ponselnya kembali menyala. Dilihatnya dan terdapat nomor asing yang mengiriminya pesan. Rasa penasaran mendorong Audya untuk membukanya. Mengernyit saat mendapati pesan dengan bahasa baku yang menurutnya, tidak anak muda sekali. Apa nomor bapak-bapak yang salah kirim? Walaupun begitu, tetap membalas dengan bahasa yang sopan. Mencibir saat jawaban yang ditunggu tidak kunjung masuk. Meletakkan ponselnya dan kembali bersantai. Ingin sebentar saja memejamkan mata. Tapi jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Bisa-bisa kena marah tidur di waktu seperti ini. Akhirnya hanya bergulang guling kebosanan. Tidak disangka, Audya malah tertidur sendiri. Mengabaikan pesan yang baru saja masuk lagi. Di dalam kamar mewah, seorang pria terlihat uring-uringan. Merutuki perbuatannya yang tidak tahu malu ini. Bagaimana bisa, tadi dia meminta nomor salah satu pegawainya dan berakhir dengan mengirimkan pesan tidak penting. Itu bukan dirinya sekali. Ada apa sih dengan dia akhir-akhir ini? "Papa, papa, ayo kita jalan-jalan." Suara putrinya membuat dia sadar. Menghadap wajah cantik yang mirip dengan dirinya. "Memang mau ke mana?" tanyanya sambil memangku bocah berusia lima tahun itu. Mengusap rambutnya sayang. Ah, tidak terasa sudah sebesar ini. Sudah lama juga dua ditinggal oleh orang yang dia sayang. "Mau jalan-jalan ke mol. Papa, sebenarnya Nau pengin deh jalan-jalan sama kak Audy. Kayanya seru. Tapi kak Audy itu sibuj terus. Kata mbak juga kak Audya sibuk karena bekerja di kantor papa. Terus pulangnya baru ngajar Nau. Ah, papa kenapa jahat sih? Kenapa buat kak Audy jadi sibuk? Kalau enggak sibuk kan pasti bisa jalan-jalan bareng Nau." Bocah yang memanggil dirinya Nau itu mencebikkan bibirnya. Sedang pria dewasa yang diajaknya bicara hanya bisa mengernyitkan keningnya. Kenapa jadi dia yang kena marah? Perasaan tadi tujuan putrinya ke mari untuk meminta jalan-jalan. Kok ujungnya malah menyalahkan dirinya sih? Memang ya, anak kecil itu tidak bisa diebak. Menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Memang kak Audy itu siapa?" tanya Argantara. Sepertinya baru pertama kali mendengarnya. "Ih, papa enggak tahu? kak Audy itu guru aku di rumah. Dia cantik tahu Pa. Nanti kalau Nau sudah besar, mau jadi seperti kak Audy." Menceritakan dengan semangat sosok Audy. "Dan tadi, kata Nau, kak Audy kerja di kantor juga? Kantor papa?" tanya Argantara. Kepalanya kok langsung tertuju pada satu nama ya. Namanya juga mirip. Audya. Apa jangan-jangan mereka sosok yang sama? Tapi, apa mungkin sih? "Iya. Terus, kata kak Audy. Kak Audy itu masih sekolah. Iya kan ya namanya sekolah. Ah, pokoknya itu deh." Argantara makin yakin dengan sosok Audy dan audya yang sama. Jadi, Audya sepulang dari kantor langsung ke rumah ini? Mengajar Naura? Luar biasa. "Jalan-jalannya jadi?" tanya Argantara. "Ah enggak deh. Nau sudah malas. Mau tidur sama papa ya," pintanya. Argantara mengangguk. Naura memang persis seperti ibunya. Mudah berganti pilihan. Sekarang A, bisa jadi beberapa menit kemudian B. Ah, Argantara jadi rindu pada wanita yang telah menghadirkan Naura. Andai saja masih berada di alam yang sama. Sayangnya, tidak. Tuhan lebih sayang dia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN