Meremas tangannya yang ada di atas pangkuan gugup. Audya sekarang duduk di samping kemudi mobil milik Argantara. Kedatangan Argantara yang tiba-tiba dan menawarkan diri untuk ikut mengantat Audya dan juga Mayang. Ya, Mayang juga turut serta. Audya tidak bisa menolak niat baik mereka untuk ikut menjenguk. Hanya bisa pasrah nanti dirinya akan menjadi bahan gunjingan lagi. Huh, hidup Audya sepertinya tidak akan pernah tentram. Mayang yang harusnya duduk di kursi depan samping Argantara malah memilih duduk di kursi tengah. Terpaksa Audya duduk di depan. Kurang ajar sekali jika membiarkan Argantara duduk sendiri di depan. Seperti sopir. Memang ini bukan kali pertama dalam posisi berdampingan. Tapi ya tetap saja rasanya canggung. Mayang juga tidak ada niat memecahkan kecanggungan. Wanita itu malah sibuk dengan ponselnya sendiri. Mempertahankan pandangannya pada jendela di samping kirinya. Setidaknya pemandangan kemacetan di sampingnya lebih baik dari pada melihat keindahan ciptaan Tuhan dalam bentuk sosok Argantara. Takut jika iman Audya lemah dan menyentuhnya. Menggelengkan kepalanya dan menepuk pelan keningnya. Pikiran Audya tidak pernah waras jika berdekatan dengan bosnya. Pesona yang luar biasa membuat dirinya berkali-kali mentadarkan diri.
"Dy, sudah sampai loh. Melamun saja." Tersentak kaget saat merasakan tangan di pundaknya. Menoleh dan bernafas lega saat tangan Mayang yang tersampir. Menatap keluar, ternyata sudah tiba di pelataran rumah sakit. Meringis menyadari bahwa dirinya ternyata melamun. Menuruni mobil dan berjalan menuju bagian administrasi. Diikuti Argantara dan Mayang di belakangnya.
"Pak Argantara sama mbak Mayang kalau mau ke ruangan dulu, ayo. Saya antar," tawar Audya. Tidak enak membiarkan mereka menunggu dirinya menyelesaikan p********n yang pasti memakan waktu lumayan lama. Apalagi ayahnya merupakan pengguna kartu kesehatan.
Mayang mengangguk. "Boleh deh. Bagaimana Pak?" Argantara yang ditanya juga mengangguk. Audya mengurungkan niatnya untuk menyelesaikan administrasi. Mengantar keduanya pada ruangan di mana ayahnya berada. Menyusuri lorong demi lorong yang ramai di jam istirahat seperti ini.
"Jadi, saat saya bertemu kamu di rumah sakit, itu sedang menunggu ayah kamu?" tanya Argantara. Baru mengingat bahwa kemarin sempat bertemu dengan Audya di rumah sakit. Saat itu Argantara berpikir bahwa Audya tengah menjenguk teman atau kerabat.
"Iya Pak. Maaf ya Pak saat itu meninggalkan bapak begitu saja. Saya baru tahu bahwa ayah masuk rumah sakit, jadi panik," sesal Audya. Ingat benar bahwa saat itu dengan kurang ajarnya malah meninggalkan Argantara begitu saja.
Argantara mengangguk mengerti. Tidak terlalu penting juga. Menanyakan juga karena penasaran saja.
Membuka tirai yang menutupi brangkar ayahnya pelan. Untungnya masih belum pulang. Ibunya tengah mengemasi barang bawaan mereka yang tidak seberapa.
"Assalamualaikum ibu, ayah," sapa Audya. Mencium punggung kedua orang tuanya bergantian. Diikuti dengan Mayang dan Argantara yang melakukan hal yang sama. Wajah Dina kentara menyampaikan tanya.
"Kenalkan Bu. Ini mbak Mayang, ketua divisi di tempat aku magang. Baik banget Bu sama aku. Dan ini pak Argantara. Pemilik perusahaan tempat aku magang," kata Audya. Ibunya pasti bertanya-tanya siapa gerangan yang datang bersama putrinya. Audya inisiatif mengenalkan tanpa perlu ditanya terlebih dahulu.
"Jadi atasannya Audya? Aduh, terima kasjh ya bapak, ibu, sudah mau ke sini. Aduh, Dy, kamu pinjam kursi satu lagi sana." Kursi yang tersedia hanya satu. Dina tidak mau membuat tamunya kelelahan karena berdiri. Audya menurut, hendak keluar namun urung karena suara yang menghentikannya.
"Mm... tidak usah Audya. Tidak perlu repot-repot," cegah Argantara. Audya bimbang. Menuruti Argantara atau ibunya. Tapi akan sangat tidak sopan jika membiarkan Argantara hanya berdiri. Ya Tuhan, Argantara itu bos besarnya.
"Benar, tidak usah," tegas Argantara yang sudah tidak bisa dibantah. Audya kembali masuk.
"Jadi pulang hari ini kan Bu?" tanya Audya yang diangguki Dina. Audya bernafas lega. Terlalu lama di rumah sakit juga akan membuat ayahnya jenuh. Tentu saja yang menungguinya juga.
"Ya sudah, Audya mau selesaikan administrasinya dulu," pamit Audya. Dina menggeleng pelan.
"Sudah ibu bayar kok. Sekarang tinggal pulang saja. Lagi pula, itu uang kamu. Kamu pakai saja untuk hal lain yang kamu perlukan." Bahu Audya terkulai. Kenapa sih keduluan. Audya takut jika ibunya meminjam untuk membayar biaya perawatan beberapa hari di rumah sakit. Memang menggunakan kartu kesehatan. Tapi tentu saja tidak semuanya tercover.
Mengobrol santai sambil menunggui Audya yang menggantikan tugas untuk mengemasi barang bawaan yang ada.
"Audya kalau di kantor bagaimana? Pasti bandel ya," tanya Dina disertai gurauan.
Audya melirik ibunya kesal. "Bu, memangnya aku masih anak-anak apa. Harus bandel banget lagi," cebik Audya. Ya kali dia disamakan dengan bocah.
Mayang tertawa pelan. "Audya nurut kok Bu. Saking nurutnya, kalau dimintai mengerjakan sesuatu langsung dikerjakan. Ya bagus sih. Sampai pernah diminta untuk memfotokopi laporan juga mau. Sampai ke lantai atas lagi," jawab Mayang. Dia ingat pernah melihat Audya yang dengan baik hatinya menuruti permintaan seniornya. Giliran sudah selesai dikerjakan, malah makian yang dia dapat.
"Bagus deh. Kamu harus nurut ya. Kamu kan cuman magang. Nanti kalau enggak nurut, takut nilai kamu yang jadi ancaman."
Ya benar sih, tapi kok seperti ada yang aneh. Mayang mengedikkan bahunya acuh.
"Sudah? Ayo," ajak Argantara. Bantu membawakan tas besar yang berisi keperluan ayah Audya. Meletakkan kembali di lantai saat menyadari bahwa ayah Audya harus berpindah ke kursi roda. Membopong tubuh renta itu dan memindahkannya ke atas kursi roda. Audya tersenyum kecil. Ini, kali pertamanya melihat seorang pria menggotong ayahnya. Ya Tuhan, kenapa orang itu harus Argantara? Audya takut makin jatuh pada pesona pria matang itu. Sebenarnya tidak ada yang salah. Memang tidak ada yang bisa menghentikan perasaan seseorang pada orang lain kan? Yang ditakutkan, dirinya berambisi untuk memiliki di saat semua kenyataan yang ada sangat tidak memungkinkan. Intinya, Audya harus sering-sering menyadarkan diri saja jika dia dan Argantara itu berbeda. Sangat berbeda.
Audya duduk di kursi tengah sendirian. Mayang di depan, dan kedua orang tuanya di belakang. Di dalam mobil hanya ada hening. Obrolan atau sekedar musik tidak terdengar sama sekali. Audya menjadi penunjuk arah bagi Argantara. Menunjukkan harus ke mana lagi selanjutnya untuk tiba di kediaman yang selama ini dihuni. Untung saja gang bisa masuk. Berhenti di depan halaman rumah Audya yang masih cukup menampung satu mobil. Argantara dengan cekatan membantu mengeluarkan barang bawaan dan juga kursi roda. Membopong lagi ayah Audya dan meletakkannya oada kursi roda.
"Mari masuk dulu. Maaf ya, rumahnya seperti ini." Dina mempersilakan atasan anaknya untuk masuk. Keduanya menurut. Berjalan di belakang Audya memasuki rumah berlantai satu dengan bangunan sederhana.
"Silakan duduk mbak, pak. Maaf ya, berantakkan," ringis Audya. Beberapa hari hanya kembali ke rumah di pagi hari untuk membersihkan diri. Tidak sempat untuk membereskan rumah. Dina pasti juga lelah seharian menunggu di rumah sakit. Jadi saat pulang ya tinggal tidurnya saja.
Audya masuk ke dapur dan membuatkan teh hangat yang akan disajikan. Memang apa yang diharapkan dari bertamu ke rumahnya? Diberikan jus jeruk atau minuman lainnya? Huh, mana ada.
"Dina, maaf sekali. Apa uang yang tadi pagi dipinjam bisa dikembalikan? Saya membutuhkan uang itu. Karena baru satu hari, tidak perlu dikembalikan dengan bunganya tidak apa-apa." Audya menoleh terkejut mendengar suara salah satu tetangganya yang biasa meminjamkan uang dengan bunga setiap harinya. Dengan istilah lain rentenir atau lintah darat.
Ibunya dengan segera keluar dari kamar dan menghampiri. Terlihat berbisik seperti mengusirnya.
"Bu?" panggil Audya. Semiskin mereka, Audya sangat tidak menyukai jika sudah berhubungan dengan lintah darat. Mereka menjerat dengan keji pada orang yang tengah kesulitan. Audya tahu, ibunya pasti bingung untuk membayar biaya perawatan ayahnya. Tapi, kenapa harus rentenir? Sudah banyak kasus yang awalnya meminjam beberapa ratus ribu, akhirnya sampai mengambil rumah. Ya karena setiap harinya, uang hutang itu beranak. Dari ratusan, bisa sampai jutaan. Audya takut jika seperti itu.
"Kamu masuk saja ya kak. Temani tamu kamu. Ibu ada keperluan sebentar."
"Berapa hutang ibu saya?" Bukannya masuk, Audya malah kekeh di luar. Yang menjadi hutang ibunya, juga menjadi hutangnya juga. Audya sebagai anak tidak bisa menutup mata begitu saja akan hal itu.
"Kak, masuk saja ya. Ini biar ibu selesaikan," ujar Dina tegas. Yang memilih hutang dirinya dan yang harus menyelesaikan dirinya pula. Tidak mau memberatkan putrinya. Apalagi yang masih mahasiswa. Bukankah terlalu jahat jika seperti itu?
Audya menggeleng. "Enggak. Berapa hutang ibu saya?" Niat Audya kan memang akan menutup biaya administrasi ayahnya. Eh sudah keduluan.
Wanita setengah baya itu melirik takut pada Dina. Tapi dari pada makin lama, menyebutkan nominal yang membuat mata Audya membola. "Hutang ibu kamu ke saya tadi pagi dan kemarin itu lima juta. Karena baru pinjam, jadi tidak perlu diberi bunga. Cukup kembalikan dua juta saja."
Sebanyak itu? Setahunya, p********n untuk rumah sakit dengan pasien seperti ayahnya alias memiliki kartu kesehatan, tidak semahal itu. Lalu, buat apa saja? Audya menoleh menuntut kejelasan. Sepertinya ada yang ibunya sembunyikan.
"Sebentar." Membuka tasnya dan mengambil amplop gaji yang baru diberikan Mayang tadi. Audya bahkan belum mengetahui berapa jumlah uang di dalamnya. Menarik lembaran uang yang ada dan menghitungnya.
Pas. Lima juta. "Ini ada lima juta. Lunas ya Bu. Nanti kalau ibu saya mau pinjam lagi, tidak usah di beri." Menyerahkan lima puluh lembar uang seratus ribuan.
"Iya neng. Terima kasih ya. Lagi butuh banget uang ini. Saya permisi," pamitnya. Audya mengangguk kecil dan memasuki rumah meninggalkan ibunya. Audya masih tidak habis pikir. Kenapa ibunya bisa terlilit hutang sebanyak itu. Lima juta bukan nominal yang kecil loh. Gaji satu bulannya magang sudah ludes tak bersisa. Audya tidak masalah. Tapi dia kan juga perlu tahu. Untuk apa saja?
"Maaf ya Pak, mbak, harus dengar yang sebenarnya enggak perlu di dengar. Ayo silakan di minum. Seadanya ya," ringis Audya. Merasa malu karena dua atasannya harus menyaksikan secara langsung drama keluarga.
"Santai saja. Kami langsung pulang saja ya. Ada rapat setelah ini," pamit Mayang yang sudah menghabiskan teh hangatnya setengah gelas.
"Sebentar mbak, tadi tas aku di mana ya?" Audya mencari-cari keberadaan tasnya yang entah di mana. Audya lupa meletakkannya di mana.
"Kamu enggak usah kembali ke kantor saja. Nanti mbak izinkan. Iya kan pak?" Argantara mengangguk singkat. Audya hanya bisa menurut. Jika sudah titahnya seperti itu, dia bisa apa? Mungkin memang dia harus mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. Dan juga, menyelesaikan urusan dengan sang ibu.
Mengantar sampai depan pintu. Mengangguk sopan saat Argantara membunyikan klakson sebelum makin jauh meninggalkan rumah Audya.
Tanpa berlama, menghampiri ibunya yang tengah berada di dapur. "Bu, kenapa bisa hutang ke rentenir? Aku kan sudah pernah bilang. Jangan sampai terlibat sama yang namanya lintah darat. Bisa membelit ibu nantinya. Ibu sendiri tahu kan. Bunganya sangat besar. Rumah tetangga kita juga dulu ada yang terambil karena hutang yang tidak seberapa awalnya. Perlahan membesar sampai menjadi puluhan juta. Aku enggak mau seperti itu Bu. Dan, kenapa sampai lima juta? Memang biaya rawat inap ayah semahal itu?"
Dina menunduk. Dia tahu dan sadar bahwa memang salah. Tapi dia juga dalam kondisi terjepit. Tidak ada pilihan lain. Jaman sekarang, mana ada orang yang cuma-cuma meminjamkan uang tanpa jamunan dan bunga? "Maaf kan ibu. Ibu bingung harus mendapatkan uang dari mana," sesalnya.
"Lima juta untuk apa saja Bu? Tadi Bu Diah bilang hutang hari ini dan kemarin. Kalau hari ini, oke aku masih bisa terima. Mungkin untuk biaya ayah. Yang kemarin untuk apa?" cecar Audya. Menyadari adanya ke tidak beresan di sini. Pasti ada yang ibunya sembunyikan.
"Bu?" Audya makin yakin jika ibunya memang menyembunyikan sesuatu. Keterdiaman wanita itu menjadi penguat tuduhan.
Terlihat menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Dina melakukannya beberapa kali. "Sebenarnya, kemarin adik kamu sempat pulang," lirih Dina saat menyadari pasti sebentar lagi putrinya akan makin marah.
"Dan dia minta uang ke ibu? Iya?" sahut Audya langsung. Bahunya melemah begitu melihat anggukkan kepala ibunya.
"Ya Tuhan. Anak itu kenapa selalu menyusahkan saja sih? Dia minta berapa? Dan ibu turuti keinginan dia?"
Sekali lagi, Dina mengangguk lemah. Audya menggeleng tak habis pikir.
"Dia minta tiga juta lima ratus. Katanya ada acara sekolah. Andira juga berjanji akan segera pulang jika diberikan uangnya. Ibu mau agar dia cepat pulang. Ibu memberikannya empat juta. Dengan harapan Andira menepati ucapannya sendiri."
Jadi, Audya menghabiskan hampir seluruh gajinya untuk kesenangan Andira? Bekerja satu bulan penuh demi Andira begitu? Tidak sudi. Audya meninggalkan ibunya sendiri. Kecewanya sungguh besar. Hanya demi Andira, ibunya sampai rela berhutang? Entah ibunya yang terlalu baik, atau Andira yang kurang ajar. Audya tidak bisa menemukan jawabannya.
Menutup pintu dan memejamkan matanya. Sepertinya Audya membutuhakan ketenangan sendiri. Meredakan hatinya yang sudah mendidih. Audya takut jika ibunya malah akan menjadi sasaran kecewanya. Audya tidak bisa menyaring kalimat yang keluar dari mulut jika dia marah soalnya.
"Maafkan ibu. Ibu hanya ingin membahagiakan putri ibu yang lain, tapi ternyata membuat kamu kecewa seperti ini kak. Ibu mengaku salah," dumam Dina yang hanya bisa menatap pintu kamar Audya yang tertutup dengan nanar. Dina salah karena terlalu memanjakan Andira selama ini. Jadi membuat putri bungsunya seperti ini.