Sesuai janji, Audya akan bertemu dengan Liam di salah satu mol yang letaknya lumayan dengan rumah Audya. Memilih berangkat sendiri menggunakan angkutan umum dari pada menyetujui permintaan Liam yang katanya akan datang menjemput. Terlalu lama jika harus menunggu pria itu sampai di rumah. Ya, rumah mereka kan cukup jauh.
Tiba di bangunan besar itu, Audya langsung masuk dan menunggu kedatangan Liam yang katanya sebentar lagi akan sampai. Duduk di kursi yang terletak di sana sambil memainkan ponsel. Tersentak kaget saat mendapati tepukan di bahu kanannya. Menoleh dan ternyata pelaku merupakan yang ditunggunya alias Liam. Mereka sudah lumayan lama tidak bertemu dan sekedar berkirim pesan. Membuat Audya sedikit canggung. Hanya bisa tersenyum kecil menyapa temannya itu.
"Ayo masuk. Ke resto biasa saja ya." Audya mengangguk saja. Menurut akan ajakan Liam. Berjalan pelan di belakang Liam. Ya Tuhan, hubungannya dengan Liam merenggang tanpa sebab yang Audya tahu. Tiba-tiba menghilang dan menjadi seperti ini.
Liam menghentikan langkahnya. Membuat posisi mereka berdampingan. "Maaf ya, kita jadi seperti ini," sesal Liam. Audya lagi-lagi hanya tersenyum kecil dan mengangguk pelan.
Tiba di restoran langganan mereka jika berkunjung ke mol ini. Jam makan siang membuat restoran ini penuh sesak. Untung saja masih ada satu meja yang kosong. Mendudukkan diri dan mulai memesan. Audya menunggu dengan menopang kepalanya bosan. Makanan di restoran ini memang enak. Tapi ya itu, pelayanannya lumayan lama. Mungkin karena tidak pernah sepi.
"Dy, bagaimana magang lu?" tanya Liam. Saat ini hanya tentang magang saja yang ada di kepala Liam. Bingung juga harus mengobrol apa.
"Ya, berjalan dengan baik kok. Sangat baik malah," jawab Audya sambil tersenyum manis. Apalagi saat wajah Argantara terbayang di kepalanya. Menggeleng keras sambil terus menyadarkan diri. Argantara hanya sosok yang pantas di kagumi. Tidak untuk dimiliki. Apalagi oleh orang seperti dirinya. Tidak pantas sama sekali.
"Kenapa?" Audya membalas dengan gelengan. Tidak mungkin kan jika dia menjawab jujur. Ya kali. Malu lah.
Pesana tiba. Mulai memindahkan satu sendok demi satu sendok ke dalam perut. Huh, rasa kenyang langsung datang begitu menghabiskan satu piring berisi nasi dan potongan daging.
"Mau lagi? Pesan saja Dy," ujar Liam. Biasanya, Audya tanpa pikir panjang langsung menambah pesanan. Namun kali ini, gadis itu menggeleng.
"Sudah penuh perut gua," jawabnya sambil terkekeh.
Tidak bertemu hampir satu bulan saja sudah banyak perubahan yang terjadi pada Audya. Audya yang sekarang lebih kalem. Tidak seperti dulu yang mirip preman pasar.
"Enggak ketemu sebentar saja sudah banyak perubahan sama lu ya."
Audya mengernyit. Perubahan apalagi? Perasaan dia sama kok. Ya seperti ini saja. "Gua masih begini saja kok. Enggak ada perubahan sama sekali. Jangan aneh-aneh deh," kata Audya.
Menyelesaikan makan, keduanya memutuskan berkeliling mol terlebih dahulu. Iseng saja, masa iya langsung pulang.
"Kenapa sih, di luar kantor saja kepala gua masih terbayang wajah pak Argantara? Seakan pak Argantara itu lagi ada di depan gua. Memang aneh-aneh saja ini mata. Mengerjap beberapa kali berharap sosok mirip Argantara hilang dari pandangnya. Bukannya hilang, malah makin terlihat nyata di matanya. Kepala Audya harus segera dibersihkan sepertinya.
"Lah bang. Lu di sini juga?" Audya menoleh pada Liam yang menyapa seseorang dengan panggilan abang. Melotot saat menyadari bahwa yang Liam sapa adalah Argantara. Bos besarnya di tempat magang. Apa hubungan mereka memang sedekat itu? Sampai lo-gua segala.
"Iya, lagi nemenin Naura. Pengin nge mol katanya," jawabnya singkat.
"Teman Audya?" tanya Argantara pada Liam saat mendapati salah satu pegawainya di sini. Di samping Liam.
"Lah kok kenal Audya?" Liam mengernyit dan menjentikkan jarinya begitu mengingat sesuatu. "Audya magang di tempat lu kan ya. Gua kok lupa. Mana Naura?"
Audya seperti orang bodoh di antara dua pria itu. Dia hanya diam sedang keduanya tampak asyik mengobrol.
"Lagi ke belakang."
"Papa," teriak bocah perempuan sambil mendekat. Audya menoleh dan terkejut. Tadi Argantara yang ditemuinya secara tidak sengaja dan sekarang Naura. Dunia memang sesempit itu. Dan papa? Siapa yang Naura panggil papa?
Makin cengo saat Naura mendekat dan memeluk pinggang Argantara. Jangan bilang, Naura itu anak bosnya? Ya Tuhan, maafkan Audya karena sudah sedikit mencintai suami orang.
"Loh kakak. Wah, ada uncle Liam juga," pekik Naura senang. Bocah itu merasa jalan-jalannya akan makin menyenangkan dengan tambahan dua orang yang sangat dikenalnya. Satu omnya, dan satu gurunya.
Dengan segera Naura berpindah ke arah Audya. Menggandeng tangan kanan Audya yang menganggur.
"Kakak, ayo kita main," ajak Naura pada Audya tersenyum kikuk pada Argantara.
"Nau, kakaknya ada acara sendiri sama uncle. Naura kan ke sini bareng papa. Ayo main sama papa saja," bujukn Argantara pada putrinya. Yang ada di pikiran Argantara, arti tatapan Audya itu memohon agar dirinya cepat dibebaskan dari sang putri.
Naura mencebikkan bibirnya. Matanya berkaca siap meluncurkan air mata. Audya berjongkok menyamakan tingginya dengan bocah yang tingginya belum mencapai pinggang.
"Naura mau main apa?" tanyanya selembut mungkin. Menghadapi anak kecil, harus dengan kesabaran ekstra. Tidak bisa sedikit saja membentak. Yang ada malah makin berontak.
"Mau main yang capit boneka. Tapi mau sama kakak juga," jawab Naura manja.
Lagi-lagi Audya menatap Argantara. Yang dimaksud itu, Audya meminta izin. Diperbolehkan atau tidak. Bukan dirinya yang keberatan.
"Boleh pak?"
Argantara hanya mengangguk saja. Membiarkan sang putri untuk bermain dengan Audya. Liam yang melihat mengernyitkan keningnya. Sepertinya hubungan di antara dua orang dewasa itu bukan sekedar atasan dan bawahan. Secara kasat mata saja terlihat adanya sesuatu di antara keduanya. Yang Liam sendiri tidak tahu itu apa.
"Mm... Dy, gua kayanya harus balik deh. Enggak bisa lama-lama. Bang, gua duluan ya," pamit Liam. Masih ada kepentingan lain yang harus segera dikerjakan.
Mau tidak mau, Audya mengangguk. Mungkin memang ada keperluan yang tidak bisa di tinggal. Mengikuti ke mana Naura melangkah. Di belakangnya, Argantara mengekori.
"Kakak, ayo kita main itu. Papa, beli koinnya dong." Argantara menurut. Kapan lagi kan bisa melihat Argantara yang biasanya memerintah kini diperintah. Mana tanpa penolakan lagi. Memang papa yang sayang anak.
Memainkan beberapa permainan membuat keduanya lelah. Mendudukkan diri dan tidak lama, Argantara mengulurkan dua minuman yang langsung disambut keduanya.
"Terima kasih papa."
"Terima kasih pak."
Keduanya menjawab bersamaan.
Setelah setengah jam melanjutkan bermain, Naura mengeluh mengantuk dan meminta pulang. Mau tidak mau, Audya menerima tawaran Argantara yang menawarkan untuk mengantar.