Meskipun sudah dikatakan membaik, tetapi Makaila tetap harus menjalani konsultasi secara berkala. Hanya saja intensitasnya dikurangi daripada sebelumnya. Jika biasanya adalah seminggu sekali, maka sekarang sekitar dua atau tiga minggu sekali, sesuai dengan yang dijadwalkan oleh psikiater yang menangani Makaila. Saat ini, Makaila sendiri tengah digandeng oleh Edelia menyusuri lorong rumah sakit yang tidak terlalu ramai. Lorong tersebut akan membawa keduanya menuju ruangan praktek psikiater Makaila. Ini juga adalah salah satu perubahan yang dialami oleh Makaila.
Sebelumnya, selama dua tahun penuh Makaila tidak melangsungkan konsultasi di rumah sakit tetapi di rumah pribadi sang psikiater. Hal tersebut terjadi karena Makaila memang sebelumnya terlalu paranoid untuk berbaur dengan masyarakat luas. Jadi, Edelia meminta sebuah solusi pada psikiater Makaila dan mendapatkan saran berupa hal tersebut. Tentu saja, Edelia merasa sangat bersyukur karena psikiater yang menangani Makaila sangat baik dan bisa mengerti dengan apa yang dirasakan oleh Makaila. Psikiater itu sendiri, memang sudah dikenal oleh Makaila dan Edelia sejak lama, karena ia dulu pernah bertetangga dengan mereka.
Edelia menoleh melihat putrinya yang tampak tidak terlalu takut saat berpapasan dengan orang asing. Ia bahkan sudah menunjukkan senyum tipis pada para perawat atau dokter yang menyapanya. Tentu saja ini adalah kemajuan pesat bagi Makaila, dan Edelia merasa senang dengan perubahan baik Makaila ini. Edelia sendiri berharap jika putrinya bisa kembali hidup normal, seperti pada gadis pada umumnya. Edelia ingin Makaila menghabiskan waktunya di luar, mungkin jalan-jalan di mall, atau bahkan menonton film dengan kekasihnya. Edelia berharap, putrinya bisa bahagia.
Sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, Edelia dan Makaila sama sekali tidak menyadari jika beberapa pria berdecak kagum dengan kecantikan yang keduanya miliki. Meskipun sudah berumur empat puluh tahunan, Edelia tentu saja masih cantik. Bahkan terlihat terlalu muda untuk perempuan seusianya, sementara itu Makaila sendiri memiliki daya tarik sendiri sebagai daun muda. Sepertinya, kecantikan ibunya menurun padanya, hingga Makaila memesona dengan alami, meskipun tanpa polesan make up sedikit pun pada wajahnya yang ayu.
Keduanya tiba di ruang praktek psikiater, tepat waktu. Ternyata saat itu, sudah waktunya Makaila menjalani konseling. Edelia mendampingi Makaila masuk ke dalam ruangan, sementara suster yang bertugas kembali menutup pintu dan menunggu di meja administrasi. Edelia membawa Makaila untuk duduk berhadapan dengan seorang dokter yang kini tersenyum dengan ramahnya, membuat wajahnya yang sudah tampan, terlihat semakin sedap dipandang saja.
“Pagi, Makaila. Bagaimana kabarmu hari ini? Lama tidak bertemu, kamu terlihat semakin cantik saja,” puji sang dokter yang bernama Yafas.
“Pa-Pagi juga Yafas, kabarku baik. Terima kasih atas pujiannya,” jawab Makaila malu-malu. Dirinya dan Edelia memang tidak memanggil Yafas dengan gelarnya, karena Yafas sendiri memintanya.
Yafas mengangguk dan mengulas senyum yang tulus dan terasa sejuk untuk dipandang. Edelia pun berkata pada Yafas, “Silakan dimulai kunsultasinya.”
Setelah itu, Edelia menatap Makaila dan memasang senyum manis pada putrinya itu. “Lakukan seperti biasanya ya. Tidak perlu merasa cemas, dan tidak pelu menutupi apa pun. Katakan apa yang ingin kamu katakan, dan lakukan apa yang ingin kamu lakukan,” ucap Edelia.
Makaila mengangguk dan berkata, “Iya, Ma. Makaila mengerti.” Edelia pun menghadiahkan sebuah kecupan pada kening Makaila dan bangkit untuk ke luar dari ruang praktek Yafas yang tentunya akan menjadi ruang konseling bagi Makaila.
Setelah Edelia menutup pintu, Yafas pun memberikan isyarat pada Makaila untuk berpindah ke sofa nyaman yang memang disediakan untuk berbincang santai yang tak lain adalah sesi konseling. Sebelum memulai acara konseling tersebut, Yafas pun menyajikan s**u vanilla serta sepotong brownies yang menjadi camilan favorit Makaila. Sudah bertahun-tahun mengenal Makaila dan dua tahun menjadi psikiaternya, tentu saja membuat Yafas lebih dari cukup mengenal karaketr Makaila serta mengetahui apa saja yang Makaila sukai.
“Jadi, sebenarnya apa yang membuatmu terganggu akhir-akhir ini, Makaila?” tanya Yafas memulai konseling.
Makaila sendiri tidak merasa terkejut dengan apa yang ditanyakan oleh Yafas ini. Makaila sudah menebak, jika Yafas akan menyadari jika memang ada hal yang tengah mengganggu dirinya. “A-Aku takut,” jawab Makaila dengan suara bergetar yang membuat Yafas mengernyitkan keningnya. Sebagai seorang psikiater yang menangani Makaila, sejak Makaila trauma berat, hingga traumanya itu membaik seiring berjalannya waktu, Yafas sendiri sudah lama tidak mendengar Makaila berbicara dengan nada bergetar yang jelas dipenuhi oleh rasa takut ini.
Namun, Yafas tidak menunjukkan rasa terkejut dan rasa ingin tahu yang saat ini tengah menyelubungi hatinya. Yafas masih terlihat tenang saat bertanya, “Apa yang membuatmu takut?”
“Mimpi itu datang lagi, dan semakin parah,” jawab Makaila pelan.
Saat itulah Yafas merasa jika ada hal yang tidak beres. Sudah lama dirinya tidak mendengar jika Makaila tidak tidur dengan nyenyak. Padahal selama dua bulan ini, Makaila sudah tidak lagi menceritakan jika dirinya terganggu oleh mimpi buruk yang memang selalu datang setelah kejadian dua tahun yang lalu. Mimpi buruk yang tak lain adalah sebuah ingatan mengenai pembunuhan yang Makaila lihat, dan berujung dengan mimpi jika dirinya dikejar-kejar serta diancam untuk dibunuh. Tentu saja, bagi gadis semuda Makaila, mendapatkan mimpi berulang seperti itu setiap malam, terasa sangat berat dan menekan.
Namun, dua bulan yang lalu, Makaila memiliki kemajuan dengan tidak lagi mendapatkan mimpi buruk. Kabar yang cukup membahagiakan karena Makaila bisa tidur dengan nyenyak tanpa terganggu dengan mimpi yang selalu saja membangunkan dirinya. Hanya saja, kenapa saat ini mimpi buruk itu datang kembali? Pasti ada satu atau dua hal yang menjadi pemantiknya. Yafas pun menyunggingkan senyum tipis sebelum bertanya, “Tidak perlu terlalu cemas. Mari ita cari solusinya bersama. Sebelum itu, bolehkah aku tau, apa ada hal yang mengingatkanmu dengan kejadian dua tahun lalu? Atau mungkin, ada satu atau dua hal yang kamu lupakan mengenai kejadian itu, dan baru teringat akhir-akhir ini?”
Makaila jelas sangat ingin menjawab iya saat itu juga. Karena jelas, Makaila memang merasa sangat terancam dengan kehadiran Bara yang tak lain adalah pembunuh dari dua tahun yang lalu. Makaila pun menatap Yafas yang masih menunggu jawaban darinya. Makaila gugup dan memilih untuk meneguk s**u yang disajikan oleh Yafas. Gadis satu itu berpikir, jika ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk mengungkapkan identitas Bara dan membuatnya terlepas dari semua ancaman yang diberikan oleh pria satu itu. Makaila kembali menatap Yafas.
Yafas adalah pria dewasa, dan tubuhnya kekar. Rasanya, Yafas bisa melindungi dirinya sendiri jika Bara akan mencelakai dirinya. Yafas juga orang yang cerdas dan lebih dari cukup untuk mencari jalan ke luara dari masalah yang membelit ini. Ya, rasanya bukan pilihan buruk untuk meminta bantuan Yafas. Kedua tangan Makaila saling meremas dan berkata, “Ya-Yafas, aku ingin meminta bantuanmu.”
“Tentu saja. Katakan, apa yang kamu perlukan, dan katakan apa yang kamu cemaskan. Aku akan melakukan apa pun yang kamu minta,” jawab Yafas sama sekali tidak merasa ragu.
Semakin yakinlah Makaila jika dirinya memang perlu untuk mengatakan alasan yang membuatnya seperti ini. Makaila pun berkata, “Kalau begitu, sebelum aku meminta bantuanmu. Aku ingin menceritakan sesuatu lebih dulu.”
Yafas mengangguk dan berkata, “Maka ceritakanlah.”
“Jadi ….”
Ucapan Makaila terinterupsi dengan suara ketukan pintu. Yafas sendiri mengernyitkan keningnya. Jika tidak ada masalah mendesak, biasanya suster yang berada di meja administrasi pasti sebisa mungkin akan menjaga situasi tetap tenang ketika ada yang tengah berkonsultasi. Karena itulah, Yafas mempersilakan untuk sang pengetuk pintu membuka pintu. Munculan sang perawat yang kemudian berkata, “Maaf, Dok. Saya ingin menyampaikan pesan yang diberikan Nyonya Edelia.”
Yafas mengangguk dan mempersilakan perawatnya untuk melanjutkan perkataannya. “Nyonya Edelia mendapatkan panggilan dari kantornya, dan tidak bisa untuk menunggui Nona Makaila sampai selesai konseling. Karena itu, Nyonya Edelia mengirim orang yang dikenal Nona Makaila untuk menjemput Nona saat waktu konseling sudah selesai,” ucap sang perawat.
Makaila mengernyitkan keningnya saat mendengar perkataan sang perawat. Ia menerka-nerka, siapakah yang dikirim oleh mamanya untuk menjemputnya. Namun, saat Makaila melihat sosok di belakang sang perawat, Makaila tidak bisa menahan diri untuk menahan napasnya. “Bara,” bisik Makaila tidak percaya.